VIVANEWS.COM, KAMIS,
15 SEPTEMBER 2011, 01:36 WIB
Renne R.A Kawilarang, Harwanto Bimo Pratomo,
Antique

Proses gugatan hukum kasus Rawagede di
pengadilan Den Haag, Belanda (Radio Nederland Wereldomroep)
BERITA TERKAIT
VIVAnews - Hakim pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, pada
sidang Rabu sore 14 September 2011 waktu setempat akhirnya mengabulkan gugatan
atas pembantaian di Rawagede. Menariknya, pihak tergugat adalah Pemerintah
Kerajaan Belanda, yang dituntut di meja hijau oleh warga di wilayah bekas
jajahannya, Indonesia.
Setelah butuh lebih dari dua bulan mempelajari
pledoi dari pihak penggugat dan tergugat, majelis hakim menyatakan Pemerintah Kerajaan
Belanda harus memberi ganti rugi terhadap tujuh janda korban pembantaian massal
pasukan Belanda di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat pada 1947 atau semasa
berkecamuknya perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Pengadilan memutuskan bahwa negara
(Belanda) telah berbuat salah dengan adanya eksekusi itu dan negara wajib
membayar ganti rugi sesuai ketentuan hukum," kata hakim Daphne Schreuder,
seperti dikutip stasiun beritaBBC.
Menurut keputusan hakim, seperti yang juga
dipantau kantor berita Associated Press,
Pemerintah Belanda "tak beralasan" berargumen bahwa para janda korban
Pembantaian Rawagede tidak berhak menerima ganti rugi karena kasus ini sudah
kadaluarsa. Hakim menyatakan hak ganti rugi ini hanya berlaku bagi keluarga
langsung korban pembantaian.
Putusan hakim ini memberi jalan bagi tuntutan
agar Belanda memberi ganti rugi, yang nilainya belum ditentukan, untuk para
keluarga korban Pembantaian Rawagede. Namun, menurut Radio
Netherlands Worldwide, majelis hakim menolak
gugatan lain yang diajukan pihak penggugat, yaitu agar Pemerintah Kerajaan
Belanda dikenakan dakwaan kriminal atas kekejaman itu.
Belum ada penjelasan langkah selanjutnya dari
Pemerintah Belanda sebagai pihak tergugat. Bila pemerintah mengajukan banding,
kasus ini belum selesai dan butuh waktu lagi.
Menurut Radio Netherlands
Siaran Indonesia (Ranesi), kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan
massal di desa Rawagede - yang sekarang bernama Balongsari. Gugatan didaftarkan
di Pengadilan Distrik di Den Haag pada 9 Desember 2009, tepat 62 tahun
peringatan pembantaian Rawagede, yang kini bernama Desa Balongsari, Rawamerta,
Karawang.
Desa itu terletak di antara Karawang dan Bekasi.
Pembantaian Rawagede diyakini sebagai aksi kriminal paling kejam, paling
brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945
sampai 1949.
Paling
brutal
Tragedi berdarah ini
terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara
Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede,
lalu mengeksekusi warga lelaki di desa itu karena menolak memberi informasi
keberadaan Kapten Kustario.
Saksi mata menuturkan,
para lelaki itu dijejerkan dan ditembak mati. Indonesia menyatakan, 431
laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya
“hanya” 150.
Pada 1947 Belanda
memutuskan untuk tidak menyeret para serdadunya yang melakukan eksekusi massa
itu ke pengadilan.
Pada 2009 keluarga korban
di Rawagede menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti
rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. "Waktu itu,
beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke
Belanda untuk proses ini," demikian menurut laporan Ranesi.
Saih bin Sakam meninggal pada usia 88 tahun. Ia
mencoba menemui Ratu Beatrix selama kunjungannya di Belanda, yang sayangnya
tidak berhasil. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke
pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Menurut pengacara Kerajaan Belanda, GJH
Houtzagers, klaim Rawagede ini sudah terlambat dan kadaluarsa. Masalah ini,
menurut dia, harusnya sudah selesai pada 1966 dengan persetujuan finansial
antara Belanda dan Indonesia. Kedua pihak juga bersepakat tak akan
mengungkit-ungkit lagi semua pelanggaran pada masa konflik bersenjata.
Mewakili pihak penggugat, Liesbeth Zegveld,
menolak klaim tergugat. Dia mengingatkan dalam berbagai kasus serupa yang
dilakukan oleh Jerman pada masa Perang Dunia II, Belanda tidak pernah
mengemukakan alasan kadaluarsa.
Zegveld menilai para janda yang suaminya
dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan
perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia
kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak
tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga
harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio
Netherlands beberapa waktu lalu.
Westerling
Menurut Zegveld, jika kasus
Rawagede menang di pengadilan maka bisa berdampak positif bagi korban aksi
militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.
Jeffry Pondaag dari Komite
Utang Kehormatan Belanda mengatakan perkara ini bukan hanya di Rawagede saja.
"Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus
Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya,” kata
Pondaag beberapa waktu lalu.
Guru Besar Ilmu Hukum
Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menanggapi positif
dikabulkannya tuntutan para keluarga korban tragedi Rawagede kepada pemerintah
Belanda.
Menurut
dia, terdapat dua hal yang menjadi catatan positif jika berkaca dari kejadian
ini. Pertama, gugatan ganti rugi yang notabene-nya ialah sisi perdata dapat
dimenangkan tanpa melalui gugatan pidana terlebih dahulu.
Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.
"Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka," tuturnya.
Preseden dari kejadian ini, lanjut Hikmahanto, adalah dapat menjadi contoh bila ada keluarga-keluarga korban Belanda lainnya. "Mereka bisa mengajukan tuntutan ke pemerintah Belanda," kata dia.(np)
Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.
"Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka," tuturnya.
Preseden dari kejadian ini, lanjut Hikmahanto, adalah dapat menjadi contoh bila ada keluarga-keluarga korban Belanda lainnya. "Mereka bisa mengajukan tuntutan ke pemerintah Belanda," kata dia.(np)
• VIVAnews
No comments:
Post a Comment