Monday 30 May 2016

SELAMAT JALAN BUNG MUNADJI WIDJOJO

SELAMAT JALAN BUNG MUNADJI WIDJOJO

Betapa sedihnya ketika kami mendengar berita meninggalnya Bung Munadji Widjojo pada tanggal 26 Mei 2016 di Achen, Jerman. Demikianlah satu demi satu kawan OTP (Orang Terhalang Pulang) meninggalkan kita semuanya sebelum masalah Kebenaran terungkap  dan Keadilan ditegakkan bagi semua OTP dan korban pelanggaran HAM lainnya. 

Bung Munadji Widjojo adalah sahabat yang berhati murah memberikan solidaritasnya kepada perjuangan LPK65. Terima kasih banyak sahabat.

Kepada seluruh keluarga besar almarhum kami ucapkan duka cita yang dalam, semoga sabar dan tabah menghadapi situasi tersebut.

Selamat jalan Bung Munadji Widjojo, selamat beristirahat di kedamaian abadi. Kami panjatkan doa kepada Yang Murbeng Dumadi agar mendapat limpahan kasih-sayangNya.

Negeri Belanda, 30 Mei 2016
A/n Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) dan seluruh anggota serta pendukungnya:
MD Kartaprawira (Ketum), S. Pronowardojo (Sekretaris I)


Thursday 19 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (2)
(Terkait keterlibatan negara dalam Pelanggaran HAM berat 1965)
Oleh: MD Kartaprawira*

Bahwasanya pada seantero tahun 1965-66 setelah peristiwa G30S di banyak daerah Indonesia terjadi tragedi dahsyat – pembantaian  massal, penganiayaan, dan berbagai tindak kekerasan lainnya, sudah diketahui umum. Tapi setelah 50 tahun kemudian baru timbul kesadaran serius akan perlunya penuntasan tragedi tersebut, yaitu ketika Presiden Joko Widodo  berjanji  akan menuntaskan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi). Tugas besar Jokowi untuk pembangunan Indonesia Hebat,  dibarengi dengan tugas membangun kerukunan, damai dan sejahtera  kehidupan rakyatnya adalah cita-cita perjuangan yang luar biasa hebatnya. Bukankah Indonesia Hebat dibangun semata-mata untuk Rakyat? Maka dari itu masalah penuntasan tragedi kemanusiaan 1965 melalui jalur non-yudisial (Rekonsiliasi) harus dilaksanakan secara jujur, adil dan transparan. Biarlah rakyat tahu yang benar adalah benar dan yang zalim adalah zalim. Biarlah rakyat tahu bahwa  penyelenggara negara tidak bisa bertindak mengatas namakan negara dengan menyalah-gunakan kekuasaan (abuse of power).  

Simposium Nasional Tragedi 1965 yang diadakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta telah membuka pintu untuk menjajaki  penyelesaian kasus tersebut, yang dihadiri oleh berbagai pihak yang bersangkutan (Wakil institusi-institusi negara, para korban dan organisasinya, LSM dan lain-lainnya). Mayoritas dari peserta simposium dengan berbagai nuansa persyaratan menyetujui dilakukannya jalur Rekonsiliasi.    Tapi sampai saat ini bagaimana wujud blue print Rekonsiliasi belum jelas, misalnya: Siapa yang akan diajukan sebagai pelaku dan siapa korban, atas dasar sistem individual atau kolegial? Apa bentuk dan isi  payung hukumnya, UU KKR(baru), PERPU, PERPRES? Bagaimana struktur Komisi Rekonsiliasi dan siapa saja yang duduk di dalamnya?
Kiranya pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa diambil pengalamannya dengan penyesuaian kondisi Indonesia.  Skemanya demikian:  Dalam prosedur rekonsiliasi dimulai dengan Pengungkapan Kebenaran (diungkap fakta-fakta kejahatan yang telah terjadi), kemudian Permintaan maaf pelaku kepada korban setelah kebenaran diakui pelaku, dan akhirnya Penegakan Keadilan (pemulihan hak-hak para korban, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan lain-lainnya).

Perlu mendapat perhatian atas persyaratan yang tidak boleh tidak-ada (conditio sine qua non) dalam proses Rekonsiliasi, yaitu pernyataan maaf pelaku kepada korban. Sebab hal tersebut  merupakan konsekwensi terungkapnya kebenaran (incl. pengakuan pelaku) dan tujuan rekonsiliasi – perdamaian dan kerukunan nasional.  Maka tanpa permintaan maaf pelaku berarti belum ada Rekonsiliasi: belum ada perdamaian, permusuhan masih  terpendam dalam jiwa yang pada suatu waktu bisa keluar lagi.  
Tapi Jika pelaku tidak mau meminta maaf,  akibatnya pelaku harus diajukan ke pengadilan, artinya kasus tersebut diselesaikan lewat jalur yudisial. Maka permintaan maaf pelaku tidak diperlukan, dan  tidak diatur dalam KUHP. Ketika hakim sebelum menjatuhkan vonis, terlebih dahulu pelaku diberi kesempatan untuk mengucapkan kata terakhir. Di sinilah pelaku kadang-kadang berinisiatif mengucapkan permintaan maaf kepada korban dan/atau familinya, dengan maksud agar mendapat keringanan hukuman oleh hakim.

Menko Luhut Binsar Panjaitan semula menyatakan  bahwa Pemerintah tidak akan minta maaf. Tapi setelah ada perintah dari presiden Jokowi kepadanya untuk mencari kuburan massal, maka dia merubah pernyataannya bahwa akan meminta maaf kalau kuburan massal bisa dibuktikan. Maka jalan rekonsiliasi agak melebar. Sesungguhnya tidak hanya kuburan massal saja yang bisa menjadi bukti bahwa Negara (cq. Penyelenggara negara di masa lalu) telah terlibat dalam Pelanggaran HAM berat. Misalnya ribuan tapol yang diasingkan ke pulau Buru sebagai pekerja-budak yang dirampas hak-hak asasinya, hidup menderita dan sengsara belasan tahun adalah bukti tak terbantahkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Bahkan untuk pembuktiannya tidak memerlukan peralatan ekspertisi dengan technologi tinggi. Misalnya, mereka dari berbagai rumah tahanan yang tersebar di berbagai daerah diangkut oleh ABRI dengan kapal ke pulau Buru. Di sana mereka dijaga, diawasi dengan ketat kehidupannya dan mendapat siksaan dari ABRI. Kepulangannya kembali ke daerah asalnya pun dilakukan oleh ABRI. Ketika dibebaskan transportasinya diurus ABRI. Di tempat kepulangannya kembali mereka dipaksa  mengucapkan sumpah/janji di hadapan ABRI. Mereka setiap waktu tertentu diharuskan lapor ke instansi ABRI (mis. KODIM). Jadi ABRI tidak bisa mengingkari kenyataan sebagai pelaku/pelaku-peserta pelanggaran HAM berat tersebut.

Dari fakta adanya kuburan massal ditambah fakta pembuangan para tapol ke pulau Buru sudah cukup sebagai bukti yang tak terbantahkan. Maka sudah sepatutnya negara minta maaf (plus penyesalan) kepada para korban, demi  rekonsiliasi nasional. Pencarian (perintah presiden Jokowi) dan pembungkaran (perintah Luhut Panjaitan) kuburan massal adalah salah satu cara untuk mendapatkan bukti-bukti untuk mengungkap kebenaran, yang diperlukan dalam proses Rekonsiliasi. Dari pembongkaran kuburan tersebut dengan bantuan laboratorium forensik Kepolisian atau Kejaksaan akan diketahui berapa orang yang dibunuh, korbannya orang komunis/PKI atau kyai/santri, kapan terjadi pembunuhan dan lain-lainnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka proses Rekonsiliasi, bukan yudisial (Pengadilan).

Maka sangat mengherankan mengapa  Menhan letjen (purn.)  Ryamizard Ryacudu menentang kebijakan presiden Jokowi. Apa dia tidak setuju Rekonsiliasi, tapi menginginkan jalur yudisial/Penadilan? Atau tidak setuju penutasan kasus kejahatan kemanusiaan 1965, dibiarkan saja sampai akhir jaman?  Bahwasanya ABRI adalah benteng pertahanan negara Indonesia dan rakyatnya, perlu mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Tetapi tanpa berjiwa ksatria akan dipertanyakan kebenaran benteng  tersebut.  

Di samping itu perlu dipahami bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo memilih jalur non-yudisial (rekonsiliasi) adalah suatu kebijakan kompromis. Sebab impunitas yang sudah berjalan 50 tahun hanya dilemari-eskan saja, pelaku tidak dikenakan tanggung jawab hukum. Meskipun demikian tetap saja hal tersebut mendapat perlawanan sengit dari pihak lain. Bagi pihak lain inilah seharusnya diterapkan alternatif lain, yaitu jalur yudisial (Pengadilan), seperti yang terjadi di Argentina, dimana diktator pelanggar HAM jenderal Videla dan semua kliknya (militer dan sipil) diadili.  

Setelah adanya Simposium tanggal 18-19 April 2016 situasi di tanah air sangat memanas. Bahkan panasnya  sudah menyulut di kalangan pemerintahan. Maka presiden Joko Widodo perlu menggunakan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sistem presidensial, yang harus tegas mengambil tanggung-jawab dengan kebijakan yang pro rakyat, yaitu melaksanakan Rekonsiliasi Nasional menuju Indonesia yang damai, aman dan sejahtera.

Nederland, 18 April 2016.
*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)
(mdkartaprawira@gmail.com)




Monday 16 May 2016

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1) (Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945)

NEGARA HARUS MINTA MAAF (1)
(Tidak menerapkan hukum sesuai Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945) 

Oleh: MD Kartaprawira*
Tahun-tahun terakhir ini masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 sangat hangat jadi obyek perdebatan dalam diskusi, seminar dan semacamnya, terutama setelah presiden Joko Widodo dengan jelas memberi pernyataan akan menyelesaikan kasus tersebut melalui jalur non-yudisial – Rekonsiliasi. Bersamaan dengan itu di dalam masyarakat  timbul berbagai pendapat mengenai persyaratan yang perlu   dipenuhi agar supaya rekonsiliasi tercapai sukses dengan adil dan manusiawi. Salah satunya adalah persyaratan bahwa negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, di samping keharusan adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.
Tumpah tindih telah terjadi atas penerapan kata „Permintaan Maaf“ negara dalam hubungannya dengan peristiwa tragedi pelanggaran HAM berat 1965-66: pembunuhan besar-besaran dan tindak kekerasan lainnya setelah peristiwa G30S. Menurut hemat kami ada dua macam permintaan maaf oleh negara yang harus dibedakan satu sama lain dan kedua-duanya harus dilaksanakan, yaitu:
1.  „Permintaan Maaf“ negara karena negara tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya untuk penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 (Negara Indonesia adalah negara hukum).
 2. „Permintaan Maaf“ negara dalam kaitannya dengan dugaan keterlibatan negara (cq.penyelenggara negara/Jendral Suharto dkk.)  dalam kasus Pelanggaran HAM berat 1965.

Seperti telah kita ketahui, sesudah terjadinya peristiwa G30S pada tahun sekitar 1965-66 diberbagai daerah Indonesia terjadi banyak pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain tindak melawan hukum, sehingga mengorbankan ribuan-jutaan manusia yang tak dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum. Maka akibatnya timbul kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.       
Indikasi pokok suatu Negara Hukum ialah diberlakukannya tatanan hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka di dalam negara timbul tatatertib, suasana aman dan tenteram. Sehingga tercermin adagium: „Hukum adalah panglima“, „Meskipun langit  besok runtuh, hukum harus ditegakkan“, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu tugas dan kewajiban negara  adalah menjamin sebaik-baiknya agar hukum diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara jujur dan konsekwen. Tapi kenyataannya dalam tahun-tahun terjadinya tragedi dan sesudahnya, negara tidak hadir menerapkan hukum (terutama selama 32 tahun kekuasaan rejim Suharto) untuk menangani tragedi luar biasa tersebut. Padahal peraturan perundang-undangan Indonesia sudah lebih dari cukup untuk  diterapkan atas kasus tersebut.

Tetapi sampai 50 tahun kasus pembantaian, pembuangan ke kamp-kamp tahanan, kerja-paksa, dan tindak-tindak kekerasan lainnya tak pernah ditangani  sampai di meja hijau. Sehingga dari titik pandang „formal-yuridis“ tidak bisa dikatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan akhirnya terjadi kenyataan absurd: membunuh, menganiaya, memperkosa dan lain-lain tindak kekerasan semacamnya di kala itu dianggap dan terus dianggap sah-sah saja.

Mengapa demikian?  Jawabannya jelas: sebab tugas yudicatif negara secara sadar dan sengaja disalah-gunakan untuk kepentingan kekuasaan rejim orba. Dengan tidak menerapkan hukum kala itu rejim bisa dengan bebas dan leluasa bertindak untuk mendapatkan apa yang dikehendaki (= sukses kudeta dan sukses mempertahan kekuasaan dikmilfas 32 tahun, yang kemudian dilanjutkan kader-kadernya).          

Padahal di dalam negara hukum seharusnya ketika di sesuatu daerah terjadi tindak kriminal/pelanggaran HAM,  negara (cq. penyelenggara negara) secara otomatis [K1] dan secepat mungkin berkewajiban turun tangan melakukan kebijakan-kebijakan untuk mencegah, mengatasi maraknya tindak kekerasan dan kemudian menuntaskan kasusnya sampai di sidang pengadilan. Tapi sekali lagi, fakta-nyatanya rejim orde baru selama masa kekuasaannya 32 tahun  kasus tersebut didiamkan saja. Bahkan situasi tersebut dilanjutkan oleh penyelenggara-penyelenggara negara di era „reformasi“ , hingga kasus tersebut terbengkelai selama 50 tahun.

Dengan tidak diberlakukannya hukum atas peristiwa tersebut di atas, adalah suatu hal yang tidak aneh apabila Negara harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya, (tidak tergantung siapa pun korbannya: komunis atau non-komunis, apapun agamanya, sukunya, etnisnya, dan lain-lainnya).
Dengan demikian terbukti Negara telah gagal mewujudkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara – suatu kesalahan konstitusional memalukan yang harus diakui oleh negara.
Maka tidak pandang siapapun presidennya saat ini di Indonesia, dialah (sebagai penyelenggara negara) yang harus „atas nama negara“ menyatakan permintaan maaf kepada para korban dan keluarganya.   Sedang penolakan negara „minta maaf” hanya menunjukkan betapa rendahnya tatanan norma dan nilai/moral yang diberlakukan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

Karena permintaan maaf negara tersebut di atas (terkait pengingkaran Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) adalah tidak tergantung adanya Pengadilan ad hoc atau pun Rekonsiliasi, maka menurut hemat kami, seyogyanya permintaan maaf negara disampaikan terpisah sebelum dilaksanakan proses Pengadilan ad hoc atau pun proses Rekonsiliasi.

Semoga Bp. Joko Widodo dan Bp. Agus Widjojo memahami.

Nederland 15-05-2016

*Ketua Umum Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),
(mdkartaprawira@gmail.com) 



 [K1]

Sunday 15 May 2016

Kita Bukan Bangsa Pendendam!

Kita Bukan Bangsa Pendendam!
Oleh: Letjend (Purn.) Saurip Kadi*
Kita sudah jauh melangkah berdemokrasi. Koq masih sibuk bahaya latent KGB (Komunis Gaya Baru?-red). Memang Undang-undang Dasar (UUD) hasil amandemen, belum menjabarkan nilai-nilai luhur Founding Father kita secara benar dan menyeluruh. Sehingga pengelolaan kekuasaan di era reformasi lebih parah dari jaman Orde Baru.
Dulu monopoli dan oligharkhi kekuasaan ada di tangan HMS (Haji Muhammad Soeharto ?-red). Tentara berubah jadi alat kekuasaan. Rakyat di belah-belah, yang berpolitik ikut partai Prde Baru dengan 3 nama yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan)-Golkar (Golongan Karya)-PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Yang tdk berpolitik diawasi oleh TNI (AD khususnya) dengan KOTER (Komando Teritorial) dan Intel TNI nya dengan (memberi-red) stempel EKKA (Ekstrim Kanan) -EKKI (Ekstrim Kiri)- EKLA (Ekstrim Lain), yang terdiri dari kaum intelektual yang kritis dan disuruh keluar negeri seperti Arief Budiman, George J Aditjondro dan lainnya.
Yang pasti Presiden Soeharto lengser dengan warisan yang sangat membebani generasi penerus. Hutang luar negeri begitu besar. Hutan sudah gundul. Lingkungan hidup yang sudah rusak, sumber daya alam dikuasai segelintir orang saja.
Di era reformasi monopoli dan oligharkhi kekuasaan, juga terjadi dan justru lebih parah, bukan oleh presiden tapi oleh pemegang kapital. Karena waktu itu kepemimpinan nasionnal lemah, maka dalam sistem yang semrawut muncul mafia dimana-mana.
Jujur kita harus berani bilang, aparat bisa dibeli oleh konglo hitam dengan jaringan mafianya. Idem juga hukum.
Presiden Joko Widodo saat ini sedang mensiasati agar dirinya tidak menjadi boneka. Dengan "diam", tapi tidak mau bergabung dengan mafia, kini antar mafia saling cakar dan menelanjangi diri. Setelah kasus papa minta saham, kini kasus reklamasi teluk Jakarta.
Lantas mengapa kita harus sibuk dengan bahaya laten KGB (Komunis Gaya Baru).
Bukankah yang harus jadi musuh bersama dan apalagi harus distempel BAHAYA LATENT semestinya terhadap pihak yang sudah merusak negara.
Mari jujur bertanya,-- perbuatan anak-anak PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mana yang bisa kita jadikan alasan mereka dijadikan ancaman? Apakah keamburadulan, keterpurukan, dan hutang negeri yang begitu besar yang bikin mereka harus diwaspadai sampai ditakuti? Siapa yg merampok kekayaan negeri ini, apakah mereka anak-anak PKI atau orang lain?
Dosa apa yang mereka tanggung? Apalagi sebagai anak keluarga PKI saat Orde Baru mereka sudah didholimi negara, yang dilakukan oleh saya dan kawan-kawan di TNI.
Jangankan jadi anggota TNI atau POLRI dan PNS,--jadi buruh pabrik milik swasta saja mereka tidak bisa. Peluang yang paling mungkin adalah jadi tukang tambal ban, buruh harian dan maaf-maaf,--jadi pelacur bagi yang perempuan. Ini fakta bukan opini.
Saat mereka menjadi militan untuk survive, belakangan bisa jadi anggota DPR/D, DPD dan bahkan menteri. Lantas kita teriak awas bahaya laten KGB ! Sungguh lucu kalian semua kawan!
Lucu karena komunisme sudah rontok. Ideologi sudah tamat. Takut kok sama roh gentayangan komunisme dan PKI yang sudah lama terkubur. Mengapa ada pihak yang ketakutan secara berlebihan?
Semestinya segenap aparatur negara termasuk juga TNI dan Polri harus segera switching of mind set, tak peduli pangkat dan jabatan dirinya adalah ‘Pelayan’ alias jongos. Gaji yang mereka terima adalah uang pajak rakyat. Tempat kan Rakyat sebagai majikan.
Berlakulah sopan dan jangan kurang ajar terhadap majika. Bagi TNI kembalilah ke khitoh. Rasakan denyut nadi rakyat. Karena legitimasi hanya lahir tergantung bagaiamana to win the heart of the people. Kenapa kalian harus ikut menyakiti hati rakyat, ikut gusur menggusur orang-orang tak bersalah. Mereka lahir dari keluarga miskin bukan karena pilihan. Mereka rakyat Indonesia. Jangan hinakan mereka.
Perubahan tata kelola dunia yang menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial ternyata membawa malapetaka bagi peradaban manusia tak terkecuali bagi pemegang kapital papan atas di tingkat dunia.
Sepuluh Globarl Concern kalau saja disikapi denga baik, niscaya membawa berkah bagi segenap anak bangsa tanpa kecuali. Maka sangat tepat kalau Presiden joko Widodo merespon upaya mengakhiri dendam masa lalu. Dengan rakyat bersatu, apa yang tidak bisa kita laksanakan. Semua kita punya. SDM lebih dari cukup.
Kerusakan sosial juga hanya di kota-kota besar saja. Saudara-saudara kita yang di daerah, sangat paham untuk tidak "memanen karena tidak ikut menanam". Mereka satu antara kata dan perbuatan. Mereka pekerja tangguh. Habis subuh mereka bergegas ke sawah atau ke laut. Bukan seperti sebagian elit kita yang sudah tidak bisa membedakan halal dan haram.
*Penulis adalah Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat ABRI (2000 dan anggota DPR-RI-Fraksi ABRI (1995-1997)
Sumber: https://www.facebook.com/groups/225178074340988/permalink/466961500162643/

Tuesday 10 May 2016

Upaya Mengakhiri Kesenyapan 1965



 Upaya Mengakhiri Kesenyapan 1965 
Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Koran Tempo edisi Senin, 9 Mei 2016

Sinyal positif bahwa negara hadir di tengah para korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu terjadi ketika pemerintah Jokowi-JK bekerja sama dengan komunitas korban, penyintas, dan gerakan masyarakat sipil menyelenggarakan "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan" pada 18-19 April lalu di Jakarta. Peristiwa ini menjadi langkah awal untuk mengakhiri kesenyapan dan mendengarkan banyak aspirasi untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965.
Presiden Jokowi menyadari bahwa dalam kesenyapan tersebut ada tragedi kemanusiaan yang diabaikan, bahkan sengaja dilupakan. Presiden ingin semua luka bangsa di masa lalu yang terkait dengan pelanggaran HAM harus diselesaikan dan dicari jalan keluarnya. Komitmen pemerintah ini juga ditunjukkan dengan perintah Presiden kepada Menko Polhukam untuk membongkar makam para korban sebagai bukti keseriusan jalan mengungkap kesenyapan.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi memberi budaya baru yang mengubah cara "politik kekuasaan" dengan "politik kemanusiaan" dalam menangani para korban pelanggaran HAM masa lalu. Cara berpikir dan budaya baru ini dibutuhkan untuk melihat dan memulihkan luka-luka bangsa agar generasi masa depan tidak menanggung beban sejarah yang berkelanjutan.
Di sinilah dibutuhkan komunikasi politik dan dukungan seluruh kekuatan sosial-politik yang ada, termasuk TNI dan Polri, pada proses rekonsiliasi bangsa itu. Ini bertujuan agar tidak disalahtafsirkan atau dipolitisasi untuk kepentingan politik pragmatis.
Untuk mengawali proses penyelesaian kasus HAM di masa lalu, pemerintah berjanji menyelesaikan tujuh kasus, seperti peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari-Lampung 1989; penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; serta Wasior-Wamena 2001-2003.
Dari tujuh kasus tersebut, penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965 adalah yang paling krusial. Kasus 1965 menjadi penting karena korbannya yang masif, luasnya pelanggaran HAM, serta proses diskriminasi dan stigmatisasi atas para korban dan keluarga yang masih berlangsung hingga kini.
Mekanisme penyelesaian kasus HAM di masa lalu harus memenuhi empat prinsip, yakni pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan untuk tidak terulang. Tapi prinsip-prinsip ini juga harus dilihat secara dinamis dan realistis dalam ruang politik yang nyata di sebuah negara.
Presiden Jokowi menyadari tidak mungkin menjalankan mekanisme tunggal dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu karena sangat dipengaruhi oleh waktu, kasus, wilayah, sosial-budaya, dan suasana psikologis para korban. Sebenarnya, Presiden Jokowi telah meletakkan fondasi pertama bagi "Jalan Indonesia" untuk penyelesaian kasus HAM di masa lalu dengan memulai mengadakan Simposium 1965 untuk mendengarkan aspirasi dan mekanisme penyelesaian dari perspektif semua pihak, terutama korban.
Dari simposium ini, pemerintah dapat memberikan rekomendasi yang tepat tentang mekanisme apa saja yang menjadi aspirasi para korban, baik di jalur yudisial maupun non-yudisial. Dalam konteks ini, pemerintah tidak mau terjebak dalam dikotomi yudisial dan non-yudisial. Pemerintah melihat keduanya bisa menjadi jalur penyelesaian atas tragedi kemanusiaan tersebut.
Dari Simposium 1965 ini pemerintah melihat bahwa rekonsiliasi juga ditafsirkan secara beragam. Tidak perlu terburu-buru mengambil formulasi, perlu dialog yang komprehensif dengan semua pemangku kepentingan, terutama perspektif korban.
Dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah (2015-2019) dinyatakan perlunya dibentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu, yang langsung di bawah Presiden. Komite ini diharapkan dapat mengklarifikasi berbagai laporan yang sudah dihasilkan oleh badan resmi, korban, maupun organisasi non-pemerintah. Komite juga harus mendengarkan testimoni dan meminta klarifikasi yang komprehensif. Komite diharapkan dapat menguangkan hasil kerjanya dalam laporan utuh atas temuan yang diperoleh dan membuat program pemulihan korban pelanggaran HAM.
Pada akhirnya, kerja komite ini diharapkan bisa membuat pemerintah rendah hati dan jujur mengakui telah terjadi pelanggaran HAM dalam tragedi kemanusiaan 1965. Ini sekaligus untuk memenuhi harapan bahwa penyelesaian kasus ini menjadi proses penyembuhan bagi korban dan bangsa.
Simposium 1965 dan rekomendasi yang dihasilkan adalah babak baru dalam penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965. Dalam simposium ini pemerintah juga telah mendengarkan berbagai aspirasi tentang mekanisme penyelesaian yang adil untuk korban. Tentu saja, ini baru langkah awal mengakhiri kesenyapan 50 tahun. Masih butuh banyak dialog dan pertemuan dengan para korban untuk menggapai keadilan dan rekonsiliasi. Masyarakat pun harus realistis bahwa penyelesaian kasus ini juga membutuhkan kesepahaman semua pihak akan pentingnya rekonsiliasi bangsa agar generasi besok tidak tersandera oleh utang kemanusiaan masa lalu.