Saturday 25 July 2015

GELAPNYA JALAN MENUJU KE KEBENARAN DAN KEADILAN

http://indonesia-berjuang.blogspot.nl/2005/11/md-kartaprawira-gelapnya-jalan-menuju.html
THURSDAY, NOVEMBER 17, 2005

GELAPNYA JALAN MENUJU KE KEBENARAN DAN KEADILAN**)
(Kajian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau di Indonesia)
(Lampiran 2 untuk artikel "BOM Waktu Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945

Oleh M.D. Kartaprawira*)

Penyelesaian secara tuntas dan adil kasus pelanggaran HAM berat masa lampau oleh rejim Suharto yang sudah bertumpuk-tumpuk jumlahnya mengalami hambatan serius. Padahal tokoh-tokoh penting yang terlibat sebagai pelaku, korban dan saksi dalam tindak pelanggaran HAM berat, yang seharusnya bisa diajukan ke pengadilan makin lama makin habis, karena meninggal dunia dan/atau menjadi pikun satu demi satu. Tentu saja timbul keheran-heranan dari banyak kalangan: Mengapa Suharto dan kawan-kawan sangat sukar diajukan ke pengadilan? Apakah keadilan sudah benar-benar menjadi barang langka di Indonesia, yang sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 adalah negara hukum? Quo vadis hukum dan keadilan di Indonesia?

Penghalang jalan ke pengadilan pelanggaran HAM berat masa lampau
Sesungguhnya dari titik pandang politik masalah sukarnya Suharto dan kawan-kawan diajukan ke pengadilan HAM adalah jelas, yaitu karena status quo peta politik dewasa ini tidak memungkinnya hal itu terjadi. Sayang hal yang jelas tersebut dijadikan tidak jelas oleh kalangan-kalangan tertentu yang merasa terancam kepentingannya kalau masalah tersebut menjadi jelas. Bahwasanya turunnya Suharto dari panggung kekuasaan pada th.1998 tidak berarti jatuhnya orde baru tidaklah diragukan oleh publik. Peristiwa tersebut hanya suatu pergantian pimpinan kekuasaan belaka, sedang papan bawahnya masih utuh di semua lapangan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena pada waktu itu gelombang semangat reformasi begitu dahsyat, maka mereka pun menyesuaikan diri ikut hanyut dalam arus gelombang reformasi, bahkan berteriak reformasi paling keras. Gebrakan-gebrakan pemerintahan Habibie di bidang politik dan perundang-undangan tidak lain hanyalah “upaya” agar mendapat pengakuan sebagai pemerintahan reformis. Hal itu dijajakan di media massa sedemikian rupa, sehingga banyak kalangan terkecoh. Bopeng hitam orde baru dengan serta merta disulap menjadi tidak nampak. Tidak berhenti sampai itu saja, mereka menyebar dan menyelinap ke setiap organisasi politik dengan mudah. Akibatnya bisa kita lihat bagaimana kacau balaunya kehidupan parpol-parpol dewasa ini. Maka tidak mengherankan dalam situasi di mana peta politik didominasi kekuatan orba betapa sukar Suharto dan kawan-kawan diadili. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak tokoh-tokoh orba tersangkut dalam kasus pelanggaran HAM dan kasus kriminal KKN yang harus diadili. Itulah kesukaran pertama dari spektrum politik makro di Indonesia mengapa Suharto dkk sukar diajukan ke pengadilan.

Bahwasanya Suharto sukar diajukan ke pengadilan adalah juga hasil skenario rekayasa yuridis orde baru. Memang diantara tokoh-tokoh orde baru terdapat perbedaan-perbedaan tertentu dalam strategi dan taktik untuk tetap berkuasa, tapi tidak dalam masalah menghadapi pengadilan HAM. Usaha menyelamatkan Suharto dari tanggung jawab hukum adalah suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka bersama juga. Karena RI adalah negara hukum, maka aspek yuridislah yang merupakan pilihan tepat dan penting mereka dalam penggarapan untuk membuat rambu-rambu agar pengadilan terhadap Suharto dapat dicegah. Kekuatan Orde baru yang praktis masih utuh di semua lembaga tinggi negara – terutama MPR -- dengan sangat lihay dan mulus memenangkan amandemen UUD 1945 dengan masuknya Pasal 28 (i) ayat 1, yang menetapkan penolakan asas RETROAKTIF. Bahkan pemberlakuan asas RETROAKTIF secara jelas dikwalifikasikan sebagai PELANGGARAN HAM I). Dengan demikian kalau tuntutan tanggung jawab Suharto atas pelanggaran HAM berat masa lampau (misalnya yang berkaitan kasus tahun 1965-66, kasus Tanjung Priok dll) diajukan ke pengadilan HAM, para advokat orde baru telah siap dan akan dengan mudah menangkis tuntutan tersebut atas dasar Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 (disyahkan 18 Agustus 2000).

Sangatlah aneh adalah munculnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, di mana Pasal 43 ayat 1 memberlakukan asas retroaktif, yang dengan demikian bertentangan dengan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945.II) Bukankah UUD mempunyai kekuatan hukum tertinggi atas semua peraturan-peraturan hukum lainnya (UU, Peraturan Pemerintah, Perpu, Keppres dll)?Jadi dengan demikian sesungguhnya semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum terbentuknya (disyahkannya) amandemen UUD 1945 tentang Pasal 28 (i) ayat 1, secara hukum tidak bisa diajukan ke pengadilan. Bahkan UU Pengadilan HAM tersebut ab ovo (dari permulaan) batal secara hukum, tidak tergantung apakah HAM tersebut sifatnya ad hoc atau bukan. Jadi Suharto tidak hanya sukar diadili atas kejahatan HAM berat masa lalu, tapi bahkan tidak bisa diadili di Pengadilan HAM.

Tetapi mengapa sampai saat ini para peduli dan pembela HAM membiarkan atau membuta adanya masalah kontraversial di dalam perundang-undangan berkaitan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi masa lampau? Seakan-akan kasus tersebut absolut bisa diajukan ke pengadilan HAM, padahal jelas hitam di atas putih pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 mengganjalnya. Dengan demikian terkesan para korban dininabobokkan dengan nyanyian harapan penuntutan keadilan atas pelakunya, yang sesungguhnya secara yuridis sudah tidak mungkin.Di sinilah suatu keanehan yang tidak aneh terjadi di Indonesia, di mana belum ada kepastian hukum, di mana hukum dijadikan sarana untuk menggaruk kekayaan (ingat ungkapan “UUD = ujung-ujungnya-duit”), di mana tindak tuna moral dan tuna keadilan secara politis dan yuridis ditunjang penguasa selama 32 tahun.

Adalah misterius sekali timbulnya Amandemen UUD (Pasal 28 I ayat 1) yang kemudian disusul lahirnya UU Pengadilan HAM. Pada hal proses pembuatan dua dokumen penting yang kontraversial tersebut terjadi di suatu kompleks bangunan MPR-DPR yang jaraknya hanya satu langkah. III) Apalagi semua anggota DPR berdasarkan UUD 1945 adalah juga anggota MPR. Mengapa kedua lembaga negara tersebut melahirkan peraturan perundang-undangan yang isinya bertolak belakang? MPR – menciptakan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, yang melarang azas Retroaktif, sedang DPR – menciptakan UU Pengadilan HAM, yang memperbolehkan asas Retroaktif. Apakah situasi “kacau” tersebut suatu kebetulan? Ataukah memang suatu rekayasa tingkat tinggi? Ataukah suatu kelalaian dari yang mulia para anggota MPR-DPR? Demikianlah antara lain pertanyaan-pertanyaan semrawut tapi wajar yang timbul di kalangan masyarakat.

Yang juga mengherankan adalah tidak adanya kegiatan atau gerakan menentang RANCANGAN Amandemen yang menghasilkan Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut ketika itu. Sepertinya lembaga-lembaga pembela HAM, pakar-pakar hukum peduli keadilan semuanya kena obat bius, teler dan tidak melihat keanehan yang muncul di lapangan hukum di Indonesia. Padahal Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 secara riil bisa diterapkan untuk menghadang agar kasus pelanggaran HAM masa lalu (Pembunuhan dan penahanan massal 1965-66, kasus Trisakti, kasus Tanjung Priok, Kasus Jl. Diponegoro, kasus Mei 1998 dll) tidak bisa diajukan ke pengadilan, sehingga para pelanggar HAM bebas dari tanggung jawab hukum dan bersamaan dengan itu impunity terus berdominasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Tentu saja rambu-rambu yuridis dari Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut harus diletakkan pada posisi demi keadilan, sepanjang menyangkut masalah pelanggaran HAM BERAT. Maka perlu usaha gebrakan untuk mengadakan amandemen terhadap pasal 28 (i) ayat 1 tersebut: cukup dengan penambahan kata-kata “kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur selanjutnya dalam UU”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara UUD (Pasal 28 (i) ayat 1) dan UU Pengadilan HAM ad Hoc dalam masalah asas retroaktif. Kalau hal ini tidak diterima oleh MPR, maka akan jelaslah di mana MPR berdiri menghadapi masalah keadilan bagi korban HAM masa lampau dan untuk kepentingan siapa MPR sesungguhnya melakukan fungsinya.

Rambu-rambu yuridis lainnya adalah ketentuan dalam Hukum Acara (Perdata maupun Pidana) di mana dikatakan bahwa tergugat/terdakwa dalam keadaan sakit tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Ketentuan demikian memang manusiawi dan berlaku di banyak negara di dunia, apalagi sudah tercantum lama di dalam hukum acara kita. Masalahnya adalah terletak pada independensi dan obyektivitas dokter yang memberi visum tersebut. Inilah kuncinya. Tapi mengingat moral kebanyakan para birokrat sudah terperosok ke dalam kubangan budaya KKN, tentunya akan meragukan peranan positif “kunci” tersebut.

Sementara ini para pendukung orba tidak tergesa-gesa memanfaatkan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, sebab dengan Surat Keterangan Dokter saja sudah cukup untuk mencegah diajukannnya Suharto ke meja hijau, di mana belum menyangkut materi kasus pelanggaran HAM. Kapan kasus pelanggaran HAM Suharto dan kawan-kawan bisa digelar benar-benar? Pasal 28 (i) ayat 1 akan diluncurkan kalau masalah substansi pelanggaran HAM sudah dibuka di pengadilan.Tidak perlu heran kalau Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono memberi peringatan kepada Tim Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang Tahun 1997-1998 Komnas HAM bahwa “UU HAM tidak bisa berlaku surut karena UU itu lahir setelah peristiwa terjadi. Jadi menurut kita (Dephan pen.) dan Mabes TNI, baik Pak Sjafrie, Pak Prabowo maupun Pak Wiranto tidak akan terkena". (http://www.indomedia.com/bpost/062005/7/nusantara/nusa1.htm)

Dalam peta politik yang penuh rekayasa dewasa ini pertanyaan pemimpi di siang bolong di atas tidak mungkin akan mendapat jawaban yang sesuai dengan keadilan, kecuali kalau penghalangnya diretool lebih dulu, yaitu Pasal 28 (i) ayat 1 diamandemen kembali lebih dulu sehingga asas retroaktif dapat diberlakukan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Di dalam media massa atau dalam diskusi/seminar sering diserukan agar Suharto diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Tentu saja seruan tersebut tidak tepat dan salah alamat. Sebab dari tiga mahkamah internasional di Den Haag tidak ada satu pun yang mempunyai kompetensi untuk mengadili kasus Suharto dan kawan-kawannya.Mahkamah internasional yang pertama – “International Court of Justice”, yang didirikan PBB setelah Perang Dunia II hanya mengadili perkara perselisihan antara negara dengan negara anggota PBB, antara organisasi-organisasi internasional atau antara suatu negara dengan organisasi internasional. Jelas mahkamah tersebut tidak bisa menangani kasus Suharto, sebab Suharto bukan negara dan bukan organisasi internasional.Mahkamah internasional yang kedua -- “International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia”, yang mengadili perkara-perkara kejahatan perang yang dilakukan oleh orang-orang bekas Yugoslavia. Jelas kasus Suharto tidak menjadi kompetensi mahkamah tersebut, sebab Suharto bukanlah orang Yugoslavia.Mahkamah internasional yang ketiga -- “International Criminal Court (berdasakan Rome Statute) juga tidak bisa mengadili kasus Suharto. Sebab pasal 24 Rome Statute of the International Criminal Court” menyatakan tidak berlakunya Asas Retroaktif.IV) Kasus Suharto adalah kasus yang terjadi lama sebelum ICC berdiri. Jadi ICC tidak punya kompetensi mengadili kasus Suharto, di samping Indonesia sendiri belum meratifikasi Rome Statute.Jadi dengan demikian, penanganan kasus Suharto dkk sebagai pelanggar HAM berat masa lampau tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri menghadapi kesukaran yang serius.

Tidak sedikit orang beranggapan bahwa berdasarkan hukum internasional Mahkamah Internasional dapat mengadili kejahatan-kejahatan HAM berat. Perlu untuk diketahui saja, bahwa Mahkamah Internasional ada yang bisa mengadili kejahatan HAM masa lalu atas asas retroaktif ( Pengadilan Neurenberg, Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda), tapi ada juga yang tidak bisa mengadili kejahatan-kejahatan HAM masa lalu atas dasar asas Non-retroaktif (International Criminal Court di Den Haag). Sedang hukum internasional sendiri tidak mesti berlaku di semua negara dan tidak harus mempunyai kekuatan hukum lebih tinggi dari konstitusi negara bersangkutan. Mengenai tema ini perlu pembahasan tersendiri.

Jalan lain penyelamatan pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau 

Memang masalah penuntasan pelanggaran HAM berat tidak hanya terletak pada kemauan politik pemerintah atau presiden semata seperti dikatakan sementara kalangan, tetapi juga lembaga-lembaga negara lainnya (DPR, MPR, Yudikatif) yang masih dikangkangi oleh kekuatan orba. Di dalam kabinet Gus Dur dan Mega pun kekuatan-kekuatan orba tidak kecil peranannya. Hal itu bisa dimaklumi, sebab tanpa mengakomodasi unsur –unsur dari partai lainnya (meskipun terindikasi orba) tidak mungkin eksis kabinet Gus Dur dan Megawati. Bahkan Gus Dur, ketika menjabat presiden berusaha untuk membela para korban pelanggaran HAM berat, sampai-sampai mengusulkan pencabutan TAP XXV MPR. Megawati meskipun tidak berkoar-koar, tetapi melalui fraksi PDIP (satu-satunya) di DPR berusaha keras membela orang-orang mantan PKI di dalam perdebatan mengenai UU Pemilu yang diskriminatif. Tapi semuanya mengalami kegagalan, sebab peta politik di MPR/DPR memang tidak memungkinkan.

Jelaslah, bahwa meskipun Suharto sudah istirahat di dalam kotak politik, toh peranannya terus dilanjutkan oleh para pemainnya yang masih aktif, baik pemain utama maupun figuran,. Mereka bahkan telah berhasil melakukan konsolidasi dan mimikri ke semua lembaga negara dan kepartaian, termasuk LSM dan lembaga HAM. Inilah kehebatan dan kelihaian Orde Baru, yang secara substantif masih yang dulu-dulu juga, yang masih memikul dosa pelanggaran HAM.
Bahkan akhir-akhir ini timbul gejala aneh, yaitu banyak tokoh masyarakat dan politik yang antre menghadap Suharto dengan ciuman kemanusiaan diiringi curahan perasaan pemaafan atas dosa-dosanya selama 32 tahun terhadap bangsa dan negara Indonesia. Apakah gejala tersebut bukan suatu bentuk lain usaha-usaha agar perbuatan-perbuatan Suharto dkk. yang melanggar HAM tidak dipermasalahkan lagi?

Menurut pengamatan penulis, satu-satunya presiden yang sampai sekarang belum pernah sowan kepada Suharto hanyalah Megawati. Perjuangan Megawati terhadap orde baru jelas tidak pernah patah. Tetapi dapat dimaklumi kalau dalam zigzag gerak perjuangan politik memang tidak bisa berjalan dengan rumus matematik 2x2=4. Sehingga kalau tidak hati-hati orang dengan mudah terperosok dalam penilaian dan kesimpulan sesat, karena kepentingan sesaat yang pragmatis. Memang benar suatu adagium bahwa politik adalah suatu seni. Tentunya diharapkan agar Megawati yang sekarang memimpin partai oposisi (PDIP) tetap pada garis anti orbanya. Ikut-ikutan sowan cium kening/tangan Suharto dengan meneteskan air mata bisa mengaburkan perjuangan terhadap orde baru, meskipun ciuman tersebut dipulas sebagai ciuman kemanusiaan sekalipun. Dengan program Partai hasil Kongres Bali 2005 di mana tercantum pemberdayaan rakyat di seluruh bidang kehidupan , a.l. hukum dan HAM, PDIP hendaknya mampu membuktikan keseriusannya.

Dari uraian di atas jelas bagaimana beragamnya usaha-usaha kekuatan orba untuk menyelamatkan Suharto dkk dari jeratan tanggung jawab hukum. Tapi “kesuksesan” mereka di satu pihak, di pihak lain menimbulkan reaksi di tingkat nasional dan internasional, yang menuding Indonesia sebagai negara yang tidak menghiraukan keadilan, sebagai negara yang masih mempertahankan impunity bagi rejim otoriter orba, sebagai negara yang penuh dengan pelanggaran HAM. Maka dalam rangka menunjukkan “kepeduliannya” terhadap keadilan dan HAM, mereka – para pendukung orba - tidak menyia-nyiakan kesempatan melakukan jurus gerak zigzag di jalur rekonsiliasi sebagaimana tertuang dalam UU KKR, yang dijajakan sebagai barang reklame di pasar HAM nasional dan internasional.Sementara kasus Soeharto dan pelanggar HAM berat lainnya ditendang jauh keluar dari lapangan keadilan, maka secara “dipaksakan” melalui Dewan Perwakilan Rakyat keluarlah UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai gantinya. Dengan mencermati apa yang tertuang di dalam UU KKR, tampak bahwa UU tersebut tidak merupakan panacea bagi penderitaan korban pelanggaran HAM masa lampau. Sebab dalam UU KKR terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat merugikan para korban HAM. Misalnya, berdasarkan Pasal 27 UU KKR kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan kepada korban apabila permohonan amnesti pelaku dikabulkan.V) Jadi ketentuan pasal tersebut sangat tidak adil. Seharusnya dengan adanya pengakuan dari pelaku tentang telah dilakukannya tindak pelanggaran HAM, korban harus dengan sendirinya sudah berhak menerima kompensasi dan rehabilitasi. Dan lagi kalau pelaku dalam sidang komisi KKR mengakui kesalahannya tapi tidak mau minta maaf dan kemudian permohonan amnestinya ditolak, maka dia bisa diajukan ke Pengadilan HAM (Pasal 29 ayat 3 UU KKR).VI) Kembali lagi persoalannya ialah apakah pengadilan HAM tersebut tidak akan terganjal oleh Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, dengan demikian pelaku pelanggaran/kejahatan HAM akan selamat dari tanggung jawabnya? Dapat disimpulkan bahwa perspektif akibat Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR dapat menjurus kepada peniadaan kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sedang pelakunya tidak dapat dapat diproses dalam Pengadilan HAM atas dasar asas non-retroaktif dari Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945.

Komisi harus mengungkapkan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM secara obyektif,. tidak tergantung ada-tidaknya pengakuan, permintaan maaf oleh pelaku dan pemberian amnesty kepada pelaku. Bersamaan dengan diungkapkannya kebenaran tersebut di atas, Komisi harus menegakkan keadilan dengan memberikan keputusan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban. Inilah esensi penting yang seharusnya terkandung dalam UU KKR.

KATA PENUTUP: Meskipun jalan menuju kebenaran dan keadilan masih diliputi kegelapan, dengan secercah sinar harapan semoga 3 perjuangan berikut bisa menembus kegelapan:
Pertama: Pasal 28 (i) UUD 1945 harus di amandir kembali dengan menambahkan kata-kata: “kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur dalam UU”.
Kedua: Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review karena bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi di dalam UUD 1945.
Ketiga: Mencabut semua perundang-undangan diskriminatif terhadap korban pelanggaran HAM dan membersihkan praktek penyelewengan pelaksanaannya.
------------------------------
*) Penulis adalah Anggota Indonesia Legal Reform Working Group, Negeri Belanda.
I ) Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
II) Pasal 43 aayat 1 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad Hoc: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”.
III ) MD Kartaprawira, “Terbelenggu Sebelum Lahir”, GAMMA No.4 3-2, 19.02.2000;   MD Kartaprawira, “Quo Vadis Reformasi Hukum di Indonesia”, KREASI No.1/2001.
IV) Rome Statute of the International Criminal Court, Article 24 Non-retroactivity natione personae (1): “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”.
V ) Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesty dikabulkan
VI ) Pasal 29 ayat 3 UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: “Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc.”
posted by Indonesia Berjuang @ 1:21 PM   0 comments
**) Diterbitkan ulang sebagai tambahan/lampiran untuk artikel "BOM Waktu Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945", weblog LPK 1965 (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2015/07/bom-waktu-pasal-28i-ayat-1-uud-1945.html). Karena masalah tersebut sudah berjalan 15 tahun, mungkin  dalam artikel di atas terdapat hal-hal yang tidak tepat untuk situasi dewasa ini.

TERBELENGGU SEBELUM LAHIR

Tuesday, November 15, 2005
TERBELENGGU SEBELUM LAHIR**) -
(Lampiran 1 untuk artikel "BOM Waktu Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945)

Oleh: MD Kartaprawira Ph.D.*)

http://www.gamma.co.id/artikel/hukum/GM10012-410.shtml,
apakabar@saltmine.radix.net Date: Sun Dec 17 2000 - 11:38:56 EST

Telah terjadi perbenturan yuridis Undang-Undang Pengadilan HAM dengan UUD 1945. Diyakini, ada pihak "bermain". Lantas, apa solusinya?

PADA 6 November lalu, rancangan undang-undang (RUU) pengadilan hak asasi manusia (PHAM) disahkan DPR sebagai undang-undang. Tentu, ini sangat menggembirakan. Bagaimana tidak, UU HAM secara substansial mengandung kaidah bahwa kejahatan kemanusiaan tidak akan bisa luput dari pertanggungjawaban hukum. Jadi, lewat UU PHAM, diharapkan akan dapat dicegah praktik impunity seperti dalam kasus-kasus pembunuhan pada 1965/1966, kasus Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Banyuwangi, dan penahanan massal tanpa proses hukum di masa kekuasaan Orde Baru.

Tapi, kegembiraan ini tampaknya hanya keceriaan dari satu sisi mata uang. Di sisi lainnya jadi sebuah kemurungan. Pasalnya, pelaksanaan UU PHAM ini akan terbentur Pasal 28/I Ayat (1) UUD 1945 yang secara hitam-putih berlaku asas hukum nonretroaktif. Artinya, peraturan hukum tidak boleh berlaku surut atas tindak kejahatan sebelum peraturan hukum itu timbul. Bahkan, pemberlakuan prinsip nonretroaktif oleh Pasal 28/I Ayat (I) UUD 1945 diangkat sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable).

Perbenturan (kolisi) antara UU PHAM dan UUD 1945 secara yuridis mengakibatkan tidak berjalannya UU PHAM (dalam hal ini asas retroaktif yang tercantum dalam UU itu batal secara hukum). Karena, berdasarkan hierarki hukum di Indonesia, setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi tingkatannya (Tap. MPR No. III/2000).
Jadi, UU PHAM tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, pengadilan ad hoc HAM secara yuridis tidak bisa melaksanakan fungsinya untuk mengadili kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum timbulnya UU PHAM ini.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa MPR sampai bisa meloloskan Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 28/I Ayat (1) yang menyatakan berlakunya asas nonretroaktif sebagai hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sesungguhnya, berlakunya asas nonretroaktif dalam KUHP (Pasal 1 KUHP) dan asas retroaktif dalam UU PHAM (Pasal 37 UU PHAM) merupakan sepasang kaidah hukum yang diharapkan bisa menegakkan keadilan. Tapi, pencantuman asas nonretroaktif dalam UUD 45 (amandemen) justru menjadikan kendala pelaksanaan UU PHAM. Jawaban terhadap pertanyaan di atas setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, mismanagement atau kelalaian MPR (Tim Amandemen UUD 1945) dalam melakukan fungsinya, sehingga mengakibatkan kerjanya tidak sinkron dengan DPR. Kedua, rekayasa kekuatan antireformasi di MPR yang tidak berkenan akan berlakunya Pasal 37 UU PHAM, yang mencantumkan asas retroaktif.

Jawaban pertama agaknya kurang masuk akal. Tidak sedikit anggota MPR yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam "kubang" politik dan organisasi kemasyarakatan. Nah, jawaban kedua yang agaknya mendekati kebenaran, mengingat realitas bahwa piramida kekuatan Orde Baru sampai dewasa ini masih utuh di mana-mana (eksekutif/birokrasi, legislatif, yudikatif, dan lembaga-Lembaga kemasyarakatan).

Perubahan yang ada hanya puncaknya saja yang terpangkas, sedangkan pada bangunan bawahnya, yang berubah hanya vokalnya yang tampak "reformatif", sementara jiwanya tetap mempertahankan Orba-isme. Logislah kalau mereka --demi penyelamatan kelompoknya yang diduga kuat tersangkut tindak kejahatan kemanusiaan-- tidak menginginkan berlakunya prinsip hukum berlaku surut (retroaktif) yang tercantum dalam UU PHAM.

Konstatasi ini diperkuat dengan keganjilan kinerja MPR dan DPR, yang produk legislatifnya mengenai penegakan hak asasi manusia justru berseberangan satu sama lain. Padahal, anggota DPR otomatis menjadi anggota MPR. Lagi pula, RUU PHAM dan Amandemen Kedua UUD 1945 dikerjakan dalam kurun waktu relatif bersamaan.

Apakah Tim Perancang Amandemen Kedua UUD 1945 tidak menyadari bahwa Pasal 28/I (1) dengan asas nonretroaktifnya jelas-jelas menutup jalan berlakunya Pasal 37 RUU/UU Pengadilan HAM? Maka jangan disalahkan kalau rakyat bawah menuduh adanya kongkalikong kekuatan antireformasi di MPR dan DPR untuk memacetkan proses kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum UU PHAM timbul.

Kalau ketentuan yang tercantum dalam Pasal 28/I Ayat (1) UUD 45 sebagai peraturan hukum tingkat tertinggi harus dipatuhi, konsekuensinya akan timbul tragedi keadilan. Undang-undang, yang secara substansial diharapkan bisa menangkal impunity, menjadi telantar karena adanya Amandemen Kedua UUD 45 Pasal 28/I Ayat (1). Jadi, penegakan supremasi hukum, dalam hubungannya dengan pengadilan kejahatan kemanusiaan, malah menghasilkan situasi kontradiksional yang melindungi berlangsungnya impunity.

Solusi agar kolisi antara pasal 28/I Ayat 1 UUD 1945 dan UU PHAM bisa dihindari, harus segera diadakan amandemen ulang terhadap Pasal 28/I Ayat (1) UUD 1945 dalam kaitannya dengan asas nonretroaktif dengan menambahkan kalimat: "kecuali mengenai kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang berat". Nah, tanpa adanya amandemen ulang terhadap pasal itu, realisasi UU PHAM akan menghadapi jalan buntu. Setidaknya, di pengadilan ad hoc yang akan digelar kelak dan akan dijadikan pegangan oleh advokat-advokat terdakwa untuk memenangkan klien-kliennya. Sangat dikhawatirkan, keputusan hakim akan membenarkan pembelaan advokat terdakwa atas dalih menegakkan supremasi hukum.

Sangatlah mengherankan jika Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra, berpengharapan akan selesainya debat mengenai asas retroaktif dengan disetujuinya RUU PHAM ini. Bukankah justru sebaliknya, pintu perdebatan mulai dibuka? Kalau yang dimaksud perdebatan hanya dalam lingkup UU PHAM saja, bisa diharapkan debat tersebut selesai.

Tapi sangat disangsikan harapan ini kalau dikaitkan dengan Pasal 28/I (1) UUD 1945. Bahkan, perdebatan itu tidak hanya menyangkut masalah retroaktif dan nonretroaktif an sich, tapi bisa menyangkut tentang batal-tidaknya UU PHAM ini. Sebab, UU PHAM harus tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28/I Ayat 1. Saya kira setiap ahli hukum mafhum akan hal itu.

Ada pendapat dari kalangan legislatif, agar kejahatan kemanusiaan masa lampau bisa diproses sesuai UU PHAM, asas nonretroaktif yang tercantum dalam pasal 28/I Ayat (1) bisa diterobos dengan menggunakan Pasal 28/J (2) UUD 1945. Tapi, pendapat ini tidak dapat dibenarkan dan tampak mengada-ada. Dari teksnya, jelas tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa Pasal 28/J UUD 1945 dapat dijadikan dasar hukum berlakunya asas retroaktif sesuai Pasal 37 UU PHAM.

Pasal 28/J UUD 45 hanya menentukan pembatasan terhadap seseorang tentang pelaksanaan HAM, yakni agar dalam melaksanakan hak asasinya, ia tidak merugikan hak orang lain. Sedangkan, Pasal 28/I (1) merupakan pembatasan terhadap aparat penegak hukum, yakni untuk tidak melakukan penuntutan kepada seseorang berdasarkan peraturan hukum berlaku surut. Jadi, jelas Pasal 28/J UUD 45 tidak dapat dijadikan cantolan.

Di samping itu, substansi Pasal 28/I (1) dan 28/J (2) UUD 1945 bertentangan satu sama lain. Sebab, Pasal 28/I (1) UUD 1945 bersifat imperatif-absolut yang menjamin HAM tertentu "tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". Sedangkan, Pasal 28/J (2) mengandung ketentuan tentang pembatasan pelaksanaan HAM. Dalam melaksanakan HAM-nya, mereka harus menghormati HAM orang lain dan ketentuan-ketentuan UU yang mengandung batasan-batasan atau larangan-larangan tertentu. Kerancuan ini perlu adanya peninjauan kembali oleh MPR.

Sangat dikhawatirkan, pemberlakuan UU PHAM --tanpa amandemen ulang Pasal 28/I Ayat (1) lebih dulu-- akan mengakibatkan timbulnya preseden yang menguntungkan para pelaku kejahatan kemanusiaan. Hakim pada umumnya hanya berpedoman pada apa yang tertulis "hitam di atas putih" saja. Sedangkan, kalau terjadi keragu-raguan dalam melihat sesuatu perkara, keputusan hakim harus menguntungkan si terdakwa.

Yang jelas, jika pasal 28/I (1) tidak diamandemen ulang, masalah asas hukum retroaktif tetap mengundang timbulnya interpretasi yang berlainan. Bagaimanapun juga, hal itu akan mengganggu jalannya proses reformasi untuk menegakkan keadilan di Indonesia.

Walhasil, ada alasan cukup untuk tidak optimistis terhadap pelaksanaan UU PHAM yang sesungguhnya secara substansial positif sekali. UU tersebut sudah terbelenggu oleh Pasal 28/I Ayat 1 UUD 1945 sebelum lahir. Inilah ironi proses reformasi hukum di Indonesia yang menuntut adanya supremasi hukum.
-----------
*) M.D. Kartaprawira, Ph.D., Anggota Indonesian Legal Reform Working Group, Belanda.
posted by Arsip Indonesia Online @ 7:01 PM
http://patriaindonesiabakti.blogspot.nl/2005/11/terbelenggu-sebelum-lahir-oleh-md.html
**) Artikel "Terbelenggu Sebelum Lahir" diterbitkan pertama kalinya oleh majallah GAMMA edisi online pada tahun 2000 dan milis Apakabar yg. dimoderatori John McDougall, USA. Kemudian artikel tersebut diterbitkan ulang oleh Patriot Indonesia Bakti (website) pada tahun 2005. Dan untuk terakhir kalinya diterbitkan ulang oleh weblog Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) sebagai tambahan/lampiran artikel "BOM Waktu Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945" pada 23 Juli 20015. 

“BOM Waktu” Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945

“BOM Waktu” Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945
Oleh MD Kartaprawira

Setelah UUD 1945 mengalami amandemen, maka tercantumlah relatif banyak/lengkap pasal-pasal yang berisi norma-norma HAM. Bahkan terdapat pasal yang dapat menghanguskan segala usaha penuntasan pelanggaran HAM berat 1965-66  melalui jalur yudisial (Pengadilan HAM ad hoc).

Pasal tersebut ialah Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945 yang  berbunyi “….hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”  Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut di atas pelaksanaan UU Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang terjadi sekitar 50 tahun yang lalu – adalah pelanggaran HAM. Sebab bertentangan Pasal 28/i ayat 1 UUD 1945. Akibatnya semua keputusan Pengadilan HAM ad hoc batal secara hukum. Sungguh suatu "bom waktu" yang anti HAM.

Dan pasal 28/i ayat 1 tersebut juga berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya: Kudatuli, Lampung, Semanggi, Kerusuhan 1998. Sedang untuk kasus-kasus pelanggaran HAM sesudah tanggal diterbitkannya UU Pengadilan HAM, tidak ada masalah.

Berhubung dengan hal itu, maka secara logika satu-satunya jalur yang bisa dilalui dengan aman untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 adalah Jalur Rekonsiliasi.

Penulis punya catatan, bahwa masalah pasal 28/i ayat 1 UUD 1945 tersebut sudah pernah dicetuskan di media massa mau pun dalam pertemuan-pertemuan resmi atau pun non-resmi sejak tahun 2000. Tapi sampai saat ini, sudah 15 tahun berlalu, hal tersebut tidak mendapat perhatian dari para ahli hukum, pemerhati HAM dan peneliti HAM dan lain-lainnya. Meskipu pun pada permulaannya ada beberapa dari mereka yang sepintas lalu melihat kendala pasal tersebut terhadap usaha-usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Keadaan tersebut dapat dimaklumi, sebab kebanyakan para peneliti/penulis tentang masalah Pelanggaran HAM masa lalu adalah para ahli sejarah, yang bisa terhindar wawasannya dari masalah hukum, khususnya hukum pidana/acara pidana. Pembisuan para ahli hukum terhadap pasal tersebut di atas menimbulkan tanda tanya besar.

Pasal 28/i ayat 1“yang merupakan “Bom Waktu” tersebut tentu akan diledakkan dan menghanguskan keputusan-keputusan hakim kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28/i ayat 1. Dan bom waktu tersebut selalu berada dalam kantong  para advokat para pelaku yang menunggu saat terbaik untuk diledakkan.

Bahkan sesungguhnya seseorang bisa mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan yudisial review  UU Pengadilan HAM Tahun 2000 atas UUD 1945. Tapi bagi para pelaku ada yudisial review atau pun tidak, pasal 28/i ayat 1 tetap menguntungkan baginya. Mungkin tindakan yudisial review tersebut dianggap bukan pilihan terbaik bagi para pelaku. Maka mereka mengambil alternatif lain yang lebih baik: membiarkannya sehingga para pelaku maupun para korban mati semua (sebagian besar).

Dengan berhasil dimasukkannya Pasal 28/i ayat 1 di dalam UUD 1945 ketika proses amandemen di MPR, adalah merupakan kesuksesan besar bagi para pelaku kejahatan kemanusian dalam usaha untuk lepas dari tanggung jawab hukum. Dan dengan demikian berteriaklah mereka “Hidup Impunitas”!!! Sebaliknya, para korban untuk kesekian kalinya “kecurian” lagi dalam memperjuangkan hak-hak asasinya demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Tentunya gerombolan-penjahat tersebut sudah bisa ditebak siapa mereka dan siapa godfathernya yang berhasil mereka-yasa "Bom Waktu" demi pelestarian impunitasnya.

Maka dari itu, seyogyanya diusulkan agar BPK dan KPK mengusut atau mengaudit instansi-instansi terkait  pelaksanaan amandemen UUD 1945 kala itu. Dapat dibayangkan banyaknya amplop-amplop pelicin berseliweran di MPR kala itu. Dosa mereka tidak hanya karena uang rakyat digunakan untuk membuat pasal Bom Waktu yang menghanguskan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tapi juga melestarikan impuitas berkaitan kasus tersebut.

Seharusnya diadakan amandemen terhadap Pasal 28/i Ayat 1 sedemikian rupa sehingga kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan. Tetapi untuk situasi Indonesia saat ini tidak tepat dan sangat berbahaya apabila mengadakan Amandemen UUD 1945.

Nederland, 07 Juli 2015

Catatan:
*)  Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi  di Zeist (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.
**) Bahkan ketika rombongan MPR datang ke Negeri Belanda, pada tanggal 29 Desember 2000 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tujuan sosialisasi putusan MPR tentang Amandemen UUD 1945. Kepada ketua delegasi yang memberi ceramah,  penulis spesial menanyakan tentang masalah Pasal 28/i Ayat 1 tersebut kepadanya untuk mendapat pencerahan. Tapi jawabannya tidak memuaskan sama sekali, sambil memberi info bahwa anggota delegasi yang berwewenang menjawab kebetulan tidak hadir dalam pertemuan. Bahkan ketika ditunggu di hotel dimana dia menginap pun gagal ketemu, gagal mendapatkan jawabannya.
Mengenai pasal tersebut juga pernah timbul dalam diskusi di pertemuan-pertemuan di Negeri Belanda: Perhimpunan Persaudaraan (di mana hadir Aswi Warman Adam), Indonesia Legal Reform Working Group, Lembaga Pembela Korban 1965 dan terakhir di Diskusi Forum (Zeist), 27 Juni 2015.

Thursday 23 July 2015

Sekitar Masalah Penuntasan Kasus HAM Berat 1965/66*

Sekitar Masalah Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965/66*
Oleh MD Kartaprawira

Salah satu masalah aktual di Indonesia dewasa ini adalah penuntasan  kasus pelanggaran HAM berat 1965/66, yang sudah terbengkalai selama 50 tahun bersama penderitaan jutaan korban dan keluarganya. Presiden Jokowi adalah satu-satunya presiden yang tampak serius dengan janjinya akan menangani masalah tersebut dibanding dengan presiden-presiden pendahulunya. Hanya dia dewasa ini yang bisa dijagokan  untuk menuntaskan kasus 1965/66 sesuai situasi dan kondisi obyektif negara.

Tidak boleh tidak tindakan Jokowi tersebut merupakan hal positif  yang harus didukung, supaya terwujud nyata apa yang telah dijanjikan mengenai masalah kasus  pelanggaran HAM 1965/66. Bukannya malah dinegatifkan dengan segala cara yang tak terpuji. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa golongan dan kelompok anti Jokowi akan terus menerus mencari-cari celah apa saja, yang bisa dijadikan bahan untuk menjelek-jelekkan kebijakannya dengan tujuan untuk menjatuhkan kekuasaannya.

Bahwasanya pembantaian massal, penahanan, penganiayaan dan lain-lain tindak kekerasan terhadap jutaan orang tanpa rposes hukum adalah suatu tindakan pelanggaraan HAM/kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi di negara hukum Indonesia yang punya filsafah agung Pancasila, meski kejahatan tersebut berlalu 50 tahun toh  Pemerintah Indonesia belum pernah menyatakan pengakuan bahwa terjadi tragedi nasional: pelanggran HAM berat 1965/Kejahatan kemanusiaan. Apalagi melakukan proses pengadilan seperti di Argentina terhadap diktator Videla dan para jendral-jenderalnya.  

Maka tepat ucapan salut ditujukan kepada Jokowi, yang telah berjajni untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM 1965/66 dan pelanngaran-pelanggaran HAM masa lalu lainnya.
Berhubung dengan hal itu, „Pernyataan Maaf“ Penguasa /Presiden kepada para korban ( tidak pandang mereka komunis, nasionalis, Islam, kristen dll,) atas terjadinya tragedy nasional 1965/Kejahatan Kemanusiaan 1965-66 dan kelalaian menangani impunitas yang berkepanjangan, haruslah dilakukan presiden Jokowi sebelum dilaksanakannya  proses penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut. Sedang penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat 1965/66 bisa dilaksanakan baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial.

Sesudah lengsernya Suharto dari kekuasaan, telah dicoba oleh penyelenggara negara untuk memulai usaha-usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 dengan melalui 2 jalur, yaitu jalur yudisial dan jalur non-yudisial – JALUR DUALISME. Meskipun keseriusan dan kejujuran usaha-usaha tersebut masih perlu sekali dipertanyakan (lih. Masalah Impunitas ... http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2015/07/masalah-impunitas-dan-kasus-pelanggaran.html).

Jalur Yudisial - Komnas HAM
Komnas HAM yang didirikan pada tahun 2004 baru pada tahun 2006 dalam strukturnya dibentuk tim khusus yang menangani kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Komnas HAM oleh UU hanya diberi wewenang terbatas, yaitu hanya melakukan penyelidikan saja. Sesudah itu habis tugasnya dalam proses yudisial tersebut. Sedang wewenang tahap berikutnya, yaitu penyidikan berada di tangan Kejaksaan Agung. Berarti hasil penyelidikan Komnas HAM bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung Jaksa Agung. Maka dari situlah akan tampak seberapa kegunaan nyata Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM 1965/66. Dan dari situlah akan tampak latar belakang dibentuknya Komnas HAM: untuk kepentingan siapa.

Ketika Komnas HAM telah berhasil menyelesaikan tugasnya dalam penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat 1965 pada waktunya dan hasil penyelidikan tersebut bersama rekomendasinya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung agar ditindak lanjuti ke tahap penyidikan, ternyata dikembalikan lagi ke Komnas HAM dengan alasan-alasan tertentu.  Bagaimana pun hal tersebut harus diakui sebagai bukti bahwa proses yudisial untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66 telah dimulai. Dan Stampak jelas siapa beruntung dan siapa buntung kepentingannya. Suatu hal kebetulan atau kenescayaan yang direkayasa?
Pertanyaan tersebut akan berlanjut dan terjawab dalam pencermatan keberadaan Pasal 28/i Ayat 1 UUD 1945, sebagai senjata-pamungkas: "bom waktu" yang akan menghanguskan semua kasus penuntasan pelanggaran HAM masa lalu beserta perundang-undangan terkait.(Selanjutnya dalam artikel khusus).

Jalur Non-Yudisial - Rekonsiliasi
Begitu juga telah dimulai usaha proses melalui jalur non-yudisial, yaitu dengan telah dibentuknya UU KKR (2004), meskipun proses tersebut macet juga, sebab UU KKR tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 (lih. Masalah Impunitas .... http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2015/07/masalah-impunitas-dan-kasus-pelanggaran.html).
Dalam masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 bisakah kebenaran dan keadilan ditegakkan melalui jalur non-yudisial (rekonsiliasi)? Di banyak tulisan  ada pendapat  bahwa kebenaran dan keadilan seakan-akan  bisa ditegakkan hanya melalui jalur yudisial. Artinya para pelaku harus lebih dahulu diadili oleh hakim dan mendapatkan hukuman setimpal.

Pendapat tersebut bisa disangsikan, artinya kebenaran dan keadilan bisa juga ditegakkan melalui rekonsiliasi  (jalur non-yudisial), hanya jika dilakukan berdasarkan kejujuran dan kesadaran demi masa depan kehidupan bermasyarakat dan bernegara  yang rukun dan damai.
Untuk itu seyogyanya mekanisme quasi-yudisial diterapkan sebijak mungkin ketika Komisi memeriksa pelaku. Komisi rekonsiliasi tidak cukup hanya menerima pernyataan pengakuan kejahatan  yang telah dilakukannya. Tetapi  harus bisa mengungkap dari pelaku kebenaran yang sesungguhnya.

Setelah pelaku mengakui serta menyadari kesalahannya dan  meminta maaf, kemudian korban dengan ikhlas memafkannya. Selanjutnya barulah  masalah keadilan harus direalisir dengan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi (bagi yang berhak), dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penghapusan segala macam  diskriminasi terhadap korban.

Jadi Rekonsiliasi tidak hanya semata-mata bersalam-salaman dan bermaaf-maafan belaka. Saya kira ada baiknya kalau pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan dipelajari. Kalau perlu didengar pengalaman Yusril Ihza Mahendra, yang pada tahun 2000 merupakan salah satu anggota tim khusus untuk mempelajari praktek Rekonsiliasi di Afrika Selatan. Begitu juga pengalaman rekonsiliasi akar rumput yang dipelopori dengan kesadaran tinggi oleh „Syarekat“ - organisasi pemuda kalangan NU, yang telah berhasil mempraktekkannya di banyak pedesaan dengan cara-caranya yang khas.

Ketika faktor kejujuran dan kesadaran bertemu dengan faktor keikhlasan dari pihak-pihak, maka kebenaran dan keadilan niscaya akan timbul. Tapi konsekwensi diterapkannya jalur rekonsiliasi akan berakibat hilangnya sanksi hukum terhadap para pelaku. Di sinilah masalah keikhlasan merupakan kuncinya.

Pemerintah Jokowi-JK tampak akan mengakhiri dualisme jalur penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66 dengan peneterapan jalur Rekonsiliasi saja. Hal tersebut dapat disimak dari hasil  pertemuan Menko Polhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menkumham Didik Prasetyo, Dirjen HAM Mualimn Abdi dan jajaran Komnas HAM yang menyatakan akan menetapkan jalur non-yudisial (melalui Komisi Rekonsiliasi). Sebab menurut mereka waktunya sudah terlalu lama, bukti-bukti dan pelakunya banyak yang mati.

Seperti telah disinggung di atas UU Rekonsiliasi yang baru (setelah  9 tahun pembatalan UU KKR 2004 oleh Mahkamah Konstitusi), sampai sekarang belum berhasil dibuat. Kapan UU Rekonsiliasi yang baru akan timbul, belum bisa diketahui.

Di samping itu, sangat memprihatinkan bahwa pihak-pihak yang tidak menginginkan dilakukannya penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66 (antara lain mereka yang menggunakan bendera anti-PKI/komunis) terus saja  berusaha menggagalkan kebijakan Jokowi untuk melakukan Rekonsiliasi (non-yudisial), apalagi jalur Pengadilan HAM (jalur yudisial).

Suatu pertanyaan penting kepada Jokowi/Timnya: Rekonsiliasi Individual atau Rekonsiliasi Kolektif/Umum yang akan dilaksanakan?

Nederland, 01 Juli 2005
*) Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi  di Zeist, (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.

Wednesday 8 July 2015

MASALAH IMPUNITAS DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

MASALAH IMPUNITAS DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

Oleh MD Kartaprawira  

Bahwasanya Indonesia adalah Negara Hukum, dengan jelas tercantum dalam  Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Siapa pun tidak bisa mengingkari.  Tetapi apakah sebagai Negara Hukum Indonesia telah melaksanakan norma-norma hukum yang merupakan hukum positif  secara konsekwen dan menyeluruh? Jawabannya adalah negative.

Dalam kaitannya dengan kasus pelanggaran HAM 1965, yang korbannya besar sekali (antara 500.ribu – 3 juta manusia) rasanya sebutan negara hukum tidak pantas diterapkan untuk negara Indonesia. Sebab selama kurun waktu 50 tahun masih terus berlaku  impunitas: para pelaku kejahatan (pelanggaran HAM berat atau kejahatan kemanusiaan) dibiarkan bebas diluar proses hukum, bebas dari pertanggung-jawaban atas tindakan kriminal yang mereka lakukan.

Maka masalah penghentian impunitas merupakan salah satu masalah pokok dalam Negara Indonesia. Sebab norma-norma hukum pidana yang tertuang dalam system perundang-undangan tidak akan ada manfaatnya apabila sanksinya tidak dengan tegas diterapkan. Hal tersebut penting sekali, agar para penjahat/pelanggar hukum, yang punya kekuatan besar baik dalam bidang ekonomi maupun politik, tidak akan lepas dan bebas dari hukuman.

Impunitas di abad  sekarang ini tidak mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar dari sudut nilai-nilai adab dan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan tidak ada satu Negara pun di dunia yang ingin ditunjuk sebagai Negara biadab yang tak mengenal nilai-nilai keadilan. Maka seharusnya penyelenggara negara sendirilah yang berkepentingan untuk membuktikan bahwa Indonesia adalah negara hukum, beradab, berkeadilan dan demokratik. Sedang rakyat di Negara manapun musti menghendaki tegaknya tata-hukum yang menjamin keadilan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka seyogyanya tidak dilupakan arti penting adagium Yunani Kuno, bahwa “keadilan harus ditegakkan, meskipun besok langit runtuh”.

Kita bangsa Indonesia yang dalam konstitusinya/UUD 1945 tercantum pasal 1 ayat 3 tersebut di atas, sungguh merasa malu dengan masih berlakunya impunitas. Apalagi selain konstitusi kita juga memiliki „UU Hak Asasi Manusia“ dan „UU Pengadilan HAM“dan perundang-undangan lain semacamnya. Seharusnya praktek impunitas tidak terjadi. Tapi nyatanya sudah 50 tahun, sampai dewasa ini impunitas dalam kaitannya kasus 1965-66 masih aman bersembunyi/disembunyikan dalam bunker kekuasaan.

Strategi dan taktik lepas pertanggung jawaban hukum

Macetnya puluhan tahun proses penuntasan kasus yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan 1965-1967 berarti pula suatu bukti berlangsungnya terus impunitas sekian puluhan tahun juga. Situasi tersebut mengakibatkan penderitaan para korban berkepanjangan. Sampai meninggal dunia pun mereka tidak sempat melihat hukum diberlakukan secara wajar, kebenaran dan keadilan ditegakkan. 

Fakta berlakunya impunitas sebegitu lama di Indonesia tentu bukan hal yang kebetulan. Maka tidak aneh timbul pertanyaan: mengapa hal tersebut bisa terjadi, bukankah di RI sudah lama memiliki KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Acara Pidana)? Di dalam KUHP berbagai macam tindak kejahatan selalu ditentukan sanksinya , hukumannya. Tidak ada kejahatan yang lewat bebas dari tanggung-jawab pidana.

Tapi fakta-nyatanya ketika jenderal Suharto pegang kekuasaan di singgasana Orde Baru pasca G30S, dia sendiri membuka lebar-lebar jalan berlakunya praktek impunitas. Pembunuhan, penganiayaan fisik, pembuangan ke  tempat-tempat kerja paksa, dan lain-lain tindak pidana tidak hanya tidak dicegah yang kemudian dilakukan proses pengadilan, tapi justru  penguasa Negara ini sendiri menjadi perencana dan  pelaksana tindak criminal dengan menghalalkan berlakunya impunitas terhadap 3 juta korban manusia (orang komunis/yang dituduh komunis dan pendukung BK) demi suksesnya kudeta terhadap Pemerintahan Soekarno.

Suharto  dan kliknya tentu menyadari apa yang akan menimpa dirinya kelak apabila KUHP dan KUHAP (yang pada waktu itu merupakan hukum positif) dilaksanakan dengan tegas, jujur dan konsekwen, akan diseret kepengadilan untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya.  Maka tidak mengherankan apabila direkayasa strategi pencegahan dilaksanakannya pengadilan kasus tersebut di atas sedemikian rupa, sehingga para pelaku sampai meninggal dunia tidak sempat diajukan ke pengadilan, dan para korban sampai meninggal dunia tidak sempat melihat keadilan ditegakkan baginya. Dengan demikian mereka lepas dari vonis pengadilan sebagai penjahat kemanusiaan, sehingga merasa dirinya bukan penjahat. Sebab berlaku prinsip praduga tak bersalah, sebelum ada keputusan hakim seseorang tidak bisa dikatakan pejahat. 

Secara logika strategi tersebut memang masuk akal: sebab setiap penjahat (maling, pencopet, koruptor, pembunuh, dll) selalu berusaha agar sampai kapan pun lolos dari tanggung jawab hukum, tidak bisa diseret ke depan pengadilan. Ragam perwujudan strategi dan taktik tersebut muncul a.l. sebagai berikut:

1. Presiden Suharto, sebagai dalang pelanggaran hak asasi manusia 1965/66 dengan gemilang sukses melaksanakan strategi/taktik lepas tanggung jawab hukum dan memanfaatkan impunitas. Dia terhindar dari kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya, sebab ketika meninggal dunia pengadilan tidak sempat menjatuhkan vonisnya. Jadi secara „yuridis“ dia bukan penjahat HAM. Begitu juga halnya dengan jenderal Sarwo Edi yang mengaku telah membantai 3 juta manusia.                

Oleh rejim Suharto  taktik pencegahan kasus 1965 tersebut  dilakukan dengan sikap pemberlakuan politik-gebuk terhadap siapa saja yang menentang Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya. Dengan demikian sama sekali proses hukum terhadapnya ditutup rapat-rapat. Semua pejabat, politisi, ilmuwan, apalagi rakyat biasa tidak ada yang berani buka mulut.

2. Dalam era “reformasi” pun para penjahat kemanusiaan masih bisa selamat lepas dari vonis hakim, sebab mereka yang duduk di kursi kekuasaan kebanyakan orang-orang product rejim orba yang “berbaju reformasi”.

Dalam tahun-tahun terakhir presiden SBY beberapa kali berjanji akan menangani kasus tersebut. Dan dekat sebelum habis jabatannya SBY sempat berjanji akan mengucapkan maaf, meskipun belum jelas apa yang dimaksud: Pemaafan untuk Suharto dan tokoh-tokoh rejimnya yang telah membunuh dan menyengsarakan 3 juta rakyat tak berdosa? Pemaafan untuk penyelenggara negara yang telah lalai tidak menangani kasus tersebut selama waktu setengah abad, sehingga dalam waktu tersebut para korban tidak mendapat keadilan berikut segala akibat atas hak-haknya? 

Ternyata janji pernyataan minta maaf (meskipun belum jelas maksudnya) sampai detik terakhir masa jabatannya tidak dilakukan juga oleh SBY. Artinya dia berhasil juga melanjutkan strategi lepas tanggung jawab hukum bagi para pelaku dengan menggunakan taktik mengundur-undur penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Apa bukan begitu Bpk. Dr. Albert Hasibuan?

3. Mahkamah Konstitusi pun dengan langgam spesifik yuridis, praktis secara tak langsung juga menjalankan srtrategi lepas tanggung jawab atas berlangsungnya impunitas berkaitan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. Hal tersebut diwujudkan dengan keputusan pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (2004) yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Suatu keputusan aneh, sebab hakim memutuskan sesuatu di luar permohonan yang diajukan oleh para pemohon, yaitu judicial review Pasal 27 UU N0.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Mengapa MK tidak mencabut hanya pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD seperti yang diajukan para pemohon, sehingga bisa dibuat pasal baru yang tidak bertentangan UUD?

Pembatalan UU KKR tersebut berakibat berlanjutnya terus impunitas. Berarti juga masalah penuntasan kasus tersebut di atas, c.q. masalah rekonsiliasi nasional harus menunggu timbulnya UU Rekonsiliasi baru, yang sampai sekarang belum kunjung muncul dan tak diketahui kapan munculnya. Dan sedihnya lagi pembentukan UU KKR yang telah memakan waktu, tenaga (DPR+Presiden) dan milyaran uang rakyat musnah ditangan beberapa orang (hakim MK:  8 setuju, 1 dissenting opinion).

4. Terbentuknya Komnas HAM diharapkan bisa membuka pintu proses penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965/66, meskipun institusi tersebut hanya mempunyai wewenang limit (penyelidikan). Hasil kerja penyelidikannya selama 3 tahun telah berhasil menyimpulkan bukti adanya pelanggaran HAM berat di sekitar tahun 1965/66 di Indonesia. Ternyata hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut setelah diserahkan ke Jaksa Agung untuk ditindak-lanjutkan ke tingkat  proses penyidikan dikembalikan lagi oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM  dengan alasan-alasan tertentu. Akibatnya proses  kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 di tingkat penyidikan di Kejaksaan Agung macet.

Agaknya pembentukan institusi negara Komnas HAM oleh penyelenggara negara hanya diperlukan sebagai „alat-pingpong“ belaka antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM agar impunitas terus berjalan aman. Hal-hal  tersebut di atas mau tidak mau berakibat tertundanya terus proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/66. 

Himbauan kepada Presiden Jokowi

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas seyogyanya Pemerintah Jokowi dengan serius memperhatikan dan menangani masalah berlakunya impunitas yang sangat memalukan tersebut. Sehingga dengan demikian bisa membuktikan bahwa Indonesia adalah benar-benar Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Dan dengan demikian bisa diharapkan suksesnya penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan kasus pelanggaran HAM 1965-66 (dan pelanggaran HAM masa lalu lain-lainnya).

Harap mendapat perhatian juga, bahwa bobot Indonesia Hebat akan tergantung a.l. bebasnya Indonesia dari impunitas.
Para korban telah 50 tahun menunggu datangnya keadilan dengan penuh keprihatinan. Semoga Presiden Jokowi tidak lupa akan janjinya. 

Negeri Belanda, 07 Juli 2015


*) Pokok-pokok isinya telah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan Forum Diskusi  di Zeist (Negeri Belanda), 27 Juni 2015.