Friday 24 April 2015

BELAJARLAH INDONESIAKU, WALAU SAMPAI DI ARGENTINA!!!

BELAJARLAH INDONESIAKU, WALAU SAMPAI DI ARGENTINA!!!

Di Argentina, di bawah Presiden Cristina Fernandez,  terus berlanjut pengadilan terhadap para penjahat kemanusiaan yang terjadi semasa rejim dictator Jorge Videla puluhan tahun yang lalu (1976-1983). Baik para jenderal maupun para pejabat sipil yang tersangkut sampai dewasa ini masih menunggu gilirannya untuk divonis.

Indonesia harus belajar kesuksesan  pengadilan nasional Argentina dan negara-negara Amerika-Latin lainnya dalam hal penuntasan kasus pelanggara HAM berat masa lalu. Argentina tidak memerlukan bantuan PBB/ Pengadilan PBB, bahkan tidak memerlukan komisi semacam Komnas HAM.
Indonesia tidak perlu menjiplak Argentina, tapi semangat dan pengalaman Argentina bisa diambil untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965 dan lain-lainnya.

Hayooo Presiden Jokowi, jangan lupa janjimu, maju terus menuju Indonesia Hebat yang melayani Rakyat! Aku berdoa untuk kesuksesanmu, Amin.

MD Kartaprawira, 24-04-2015


Silahkan simak:


Thursday 23 April 2015

Penjahat Nazi tetap diburu di Jerman ! Bagaimana Indonesia ?

Penjahat Nazi tetap diburu di Jerman ! Bagaimana Indonesia ?

Iwamardi
Nasional-list YAHOOGROUPS, Today, 23-04-2015 at 5:25 A
https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/185264

Tindakan konsekwen dari pemerintah Jerman yang selama ini terus memburu bekas2 anggota NSDAP, SS dan organ2 Nazi lainnnya yang telah bersalah dan berdosa melakukan kejahatan perang dan pembunuhan masal bangsa Jerman dan bangsa2 lain diseluruh dunia, terutama warga2 Jahusi, orang2 demokrat,komunis dan semua yang anti diktatur nazi.
.
Pemerintah Jerman adalah satu2nya pemerintahan didunia yang telah dengan tulus mengakui kesalahan dan kejahatan pendahulu2 mereka (orde Nazi) dan telah meminta maaf kepada bangsa2 yang telah menjadi korban kebiadaban nazisme selama PD II.
Hal yang tak pernah berani dilakukan oleh pemerintahan2/bangsa2  lain  yang pernah melakukan kejahatan kemanusiaan yang serupa (misalnya : Jepang, Amerika,Spanyol. Portugia, Belanda, Belgia ,Perancis dll. ).
Padahal, dengan ditanggulanginya masa lalu yang menjadi halaman hitam bangsa Jerman ini maka bangsa Jerman telah dengan berhasil bisa melangkahkan kakinya kehalaman baru sejarahnya dengan sangat terhormat tanpa harus memikul beban2 berat masa lalu yang diwariskan olen rejim orde nazi Hitler.
Bangsa Jerman telah berhasil membebaskan dirinya, menjauhkan diri dan membuang ideologi nazisme dan segAala macam diktatur dari tatanan(system) kehidupan mereka sejak tahun 1970 dimana Willy Brandt (Kanzel saat itu) telah dengan berani dan spektakuler   berjongkok didepan makam para korban kebiadaban Nazi di Warzawa dan memohon ampun kepada semua korban kebiadaban nazi diseluruh dunia. 
Inline image            http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9b/Willy_Brandt_Square_02.jpg


Keberanian bangsa ini telah membikin dirinya  telah berhasil keluar sebagai bangsa yang ternormat di dunia dengan prestasi2 besar yang diciptakannya setelah PD II, lain dan jauh sekali dengan bangsa2 Jepang, Belanda, Perancis dll.yang bisa dikatakan pengecut untuk membongkar dan membuang keaibannya sendiri yang telah dilakukan nenek moyang atau orang tua  mereka sendiri ! Bangsa Jerman ini telah berhasil membebskan dirinya dari beban warisan rejim orde nazi  25 tahun (1945-1970) setelah jatuhnya rejim Hitler !
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rejim orde nazi ini terhadap bangsa/rakyatnya sendiri. kaum yang menentang ideologi diktatur nazisme, pernah pula sangat menyerupai, terjadi di Indonesia di periode tahun 1965/66 hingga tahun 1998, dimana 3 juta rakyat tak bersalah, tanpa pengadilan telah dibantai , berjuta2 lainnya dihancurkan kehidupannya , diisolir, di "penjara luar" dinegerinya sendiri, aset mereka dirampas, hak untuk hidup layak di-injak2, dipermalukan, dibunuh karakternya, setiap hari kepada para korban yang tak bersaah ini dilakukan psycho-terror yang sangat kejam, termasuk kepada ibu2 dan anak2 kecil , keluarga dan keturunan dari mereka yang "di komuniskan" dan "di pki kan"  dan di "Sukarnois"kan !
Jika kita kembali kecontoh Jerman: Willy Brandt (almarhum ) sendiri tidaklah bertanggung jawab terhadap perbuatan aib kaum nazi, sebaliknya , dia pada masanya adalah buronan kelas berat  rejim orde nazi itu ! Jerman telah lepas dari beban masa lalu setelah 25 tahun jatuhnya rejim orde nazi !
Apa yang terjadi di Indonesia  saat ini ? Apakah orang harus menunggu sampai tahun 2023  (1998+25) untuk lepas dari beban masa lalu ? 
Atau mau meniru bangsa Jepang misalnya yang sampai saat inipun  bukan saja tidak mengakui kesalahan, apalagi minta maaf , tetapi bahkan tiap tahun masih mengadakan upacara penghormatan kepada para pelaku kejahatan  perangnya sebagi pahlawan2 mereka ?
Kita lihat saja kelakuan dan perbuatan pemerintah sekarang ini dan pemerintah2 selanjutnya , apa yang akan mereka lakukan dalam membersihkan diri dari perbuatan2 jahat rejim orde baru itu !

==========================================================

Di Jerman, penjahat2 Nazi terus diburu !
Mantan Penjaga Kamp Nazi Ceritakan Pembunuhan Warga Yahudi
Kamis, 23 April 2015 | 08:16 WIB
http://assets.kompas.com/data/photo/2015/04/23/0814533Oskar780x390.jpg

AP Oskar Groening dikenai 300.000 tuduhan membantu pembunuhan, terkait dengan tewasnya 300.000 orang Yahudi di Auschwitz dalam bulan Mei dan Juni 1994

KOMPAS.com - Oskar Groening, seorang mantan penjaga kamp tahanan Auschwitz, Rabu (22/4/2015) atau hari ke-2 sidangpengadilannya di Jerman, merincikan bagaimana gerbong-gerbong kereta api pengangkut ternak yang dipenuhi orang Yahudi tiba di kamp Nazi di Polandia yang diduduki Jerman. Ia menjelaskan bagaimana harta benda mereka dirampas, dan bagaimana kebanyakan dari mereka kemudian dibunuh dengan gas.

Groening dikenai 300.000 tuduhan membantu pembunuhan, terkait dengan tewasnya 300.000 orang Yahudi di Auschwitz pada bulan Mei dan Juni 1994 setelah sekitar 425.000 warga Yahudi dipindahkan ke kamp itu dari Hongaria.

Bekas pengawal Nazi berusia 93 tahun itu menghadapi ancaman hukuman 3 sampai 15 tahun penjara jika terbukti bersalah. Sidang pengadilan dijadwalkan berakhir hingga Juli.

Media Jerman menjuluki Groening, yang bertugas di kamp dari tahun 1942 hingga 1944, sebagai " juru tulis Auschwitz" karena tugas pokoknya adalah mengumpulkan dan menghitung uang yang disita dari para tahanan Yahudi itu.

Groening adalah seorang dari sekitar 30 bekas petugas kamp Auschwitz yang diajukan untuk diadili oleh pemerintah Jerman.



Tuesday 21 April 2015

Jokowi Beri Lampu Hijau Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Jokowi Beri Lampu Hijau Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu

By  
on 
Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo menggelar pertemuan tertutup dengan sejumlah menteri bidang politik pertahanan dan keamanan. Rapat tertutup itu dihadiri Menkopolhukam Tedjo Eddy Purdijatno, Menkumham Yassona Laoly, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kepala BIN Marciano Norman, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, dan Ketua Komnas HAM Nur Kholis.

Menkopolhukam Tedjo Eddy Purdijatno mengatakan, pertemuan tertutup tadi tidak membahas eksekusi mati melainkan membahas penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ia menjelaskan hasil pertemuan tadi yaitu disepakati cara-cara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Kami sepakat bagaimana menyelesaikan kasus HAM masa lalu, bagaimana cara terbaiknya menyelesaikan masalah itu dengan sebaik-baiknya," kata Tedjo dalam jumpa pers usai pertemuan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (21/4/2015).

Tedjo mengungkapkan penuntasan kasus ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Presiden Joko Widodo. Ia menambahkan dari pertemuan itu juga akan dibentuk tim teknis. Setelahnya akan kembali dilaporkan kepada Presiden Jokowi.

"Hal ini sebenarnya sudah mendapat lampu hijau dari bapak Presiden. Nanti kami akan laporkan lagi ke presiden apa yang harus kami kerjakan di masa yang akan datang terkait persoalan ini," ujar Tedjo.

Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menambahkan pertemuan tadi mencari solusi menghilangkan beban masa lalu atas dugaan pelanggaran HAM berat yang belum tuntas.

Ada 7 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas. Yakni, perkara Talangsari, penghilangan paksa orang, Wamena Wasior, penembakan misterius, peristiwa G30 S/PKI dan Mei 1998.

"Beberapa kasus yang sempat kita bahas, semuanya adalah hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Prasetyo.

Ia menegaskan kasus yang sedemikian lama bergulir ini tentunya harus diakhiri. Dan beban masa lalu bangsa harus segera berakhir. Karenanya, pertemuan itu membahas mencari penyelesaian terbaik. "Supaya tidak jadi warisan bagi generasi setelah kita," tutur Prasetyo.

Sepakati Penyelesaian Kasus HAM

Jaksa Agung Prasetyo mengungkapkan dalam pertemuan tadi juga disepakati 2 cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Yakni yudisial dan non yudisial.

"Yudisial tentunya membawa perkaranya ke pengadilan bagi perkara pelanggaran HAM berat yang masih mudah ditemukan bukti dan saksi serta pelakunya," kata Prasetyo.

Sementara, sambung Prasetyo, untuk perkara lama atau yang kejadiannya 16 tahun hingga 50 tahun kebelakang tentu sulit menemukan barang bukti, saksi bahkan tersangka. Ia menjelaskan, pasal 47 UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan solusi dimungkinkannya penyelesaian perkara melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. 

"Yang saya katakan non Yudisial adalah rekonsiliasi. Kita tawarkan ke pihak bersangkutan, baik korban dan ahli waris, tentu para pelaku kalau ditemukan. Tapi tentunya sulit ditemukan," terangnya.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Nur Kholis menambahkan, ini komitmen bersama dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ia akan memetakan dan melihat kembali kasus yang pernah diselesaikan pada tingkat penyelidikan di Komnas HAM yang saat ini sudah di Kejagung. "Kita akan pilah dan pilih mana yang kira-kira jalurnya rekonsiliasi," ungkap Kholis. (Han/Yus)

Wednesday 15 April 2015

SELAMAT JALAN BUNG HAMINOTO!

SELAMAT JALAN BUNG HAMINOTO!

Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65) di Negeri Belanda dan seluruh anggota beserta pendukungnya menyatakan turut berduka cita mendalam atas meninggalnya Bung R.M. Subiarto Haminoto (81 tahun) pada tanggal 10 April 2015 di Woerden, Nederland.

Kepergian almarhum  merupakan kehilangan besar bagi kami. Almarhum sebagai anggota LPK65 dengan  sadar dan aktif melibatkan dalam semua kegiatan LPK65, yang berjuang untuk menegakkan kebenaran , keadilan dan demokrasi di Indonesia. Jalan panjang dalam pengabdian kepada nusa dan bangsa dan jalan berliku-liku penuh rintangan dalam mencari kebenaran, keadilan dan demokrasi yang telah dilanggar dengan sewenang-wenang oleh rejim dikmilfas Suharto, telah almarhum jelajahi sampai detik akhir hayatnya. Jasa-jasa dan pengorbanan demikian akan selalu kami kenang dengan rasa terima kasih dan hormat, dan semoga menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi generasi muda.

Semoga almarhum di terima Tuhan Yang Maha Esa dengan segala limpahan kasih sayangNya. Dan keluarga besar almarhum di Indonesia dan di luar negeri yang ditinggalkan, tetap sabar dan tawakkal dalam menghadapi situasi tersebut.

Selamat jalan Bung Haminoto, beristirahatlah di kedamaian abadi!

Negeri Belanda, 14 April 2015.
A/n Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65):

MD Kartaprawira (Ketum), S. Pronowardojo (Sekretaris I)

Saturday 4 April 2015

Pindahan: PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM

maandag 27 april 2009

MD Kartaprawira: PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM

PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM
(Kasus Fujimori - bahan kajian banding kasus pelanggaran HAM di Indonesia)

Oleh MD Kartaprawira*)

Pada tanggal 08 April 2009 Alberto Fujimori, mantan presiden Peru oleh Pengadilaan Lima (ibu kota Peru) dijatuhi hukuman 25 tahun penjara karena terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi di Peru pada tahun 1990-an yang menewaskan 25 orang (menurut Komisi Rekonsiliasi 40 orang), yaitu pembunuhan di suatu kawasan kota Lima pada tahun 1991, yang menewaskan 15 orang dan di Universitas La Cantuta pada tahun 1992 yang menewaskan seorang dosen serta 9 mahasiswa diculik dan dibunuh.

Seperti diketahui di akhir masa jabatannya sebagai presiden Peru Fujimori pulang ke Jepang sebagai usaha untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yuridis (korupsi dan pelanggaran HAM) yang menyangkut dirinya. Tapi karena dia merasa pendukungnya di Peru masih cukup kuat, dia berusaha kembali lagi ke panggung politik, maka dari itu dia pada bulan Nopember 2005 terbang ke Cili sebagai transit ke Peru untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ketika dia mendarat di Cili ditangkap oleh alat keamanan Cili, karena dianggap terlibat masalah pelanggaran HAM tahun 1960-an dan masalah korupsi. Atas permintaan pemerintah Peru cq. Menteri luar negeri Oscar Maurtua, Mahkamah Agung Cili menyetujui ekstradisi mantan presiden Peru Alberto Fujimori ke Peru. Seperti telah disinggung di atas akhirnya oleh Pengadilan Lima Fujimori dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.

KASUS Fujimori tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kajian banding kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Bagaimana penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia? Sesungguhnya sudah berkali-kali oleh para peduli HAM didengung-dengungkan di media massa, seminar dan pertemuan-pertemuan lainnya tentang keharusan penguasa Indonesia menuntaskan masalah tersebut di atas. Wajarlah pada waktu kekuasaan Orde Baru/Suharto rakyat tidak mungkin bicara tentang pelanggaran HAM, apalagi melakukan tuntutan. Tidak hanya karena rejim tersebut tidak akan sukarela membiarkan dirinya diadili, tetapi juga karena rejim “tukang gebuk” tersebut akan melibas siapa saja yang menentangnya.

Tetapi yang sangat mencengangkan dan tidak masuk akal sehat adalah ketidak berdayaan penyelenggara negara (cq. Pemerintah) di era “reformasi” menangani pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Tidak ada satu pun penguasa yang terbuka hatinuraninya untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada hal sudah banyak konvensi internasional dan hukum internasional lainnya yang diratifikasi oleh Indonesia sehingga menjadi bagian dari perundang-undangan Indonesia, sudah dibuat UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM ad Hoc, bahkan di dalam UUD 1945 (Amandemen) sudah dimuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. Di samping itu juga sudah dibentuk suatu institusi KOMNASHAM, yang praktis hanya sebagai alat pembantu formal dalam menangani masalah HAM. Meskipun demikian kasus pelanggaran HAM berat berkaitan peristiwa 1965 sama sekali macet total. Bahkan ada dugaan bahwa memang ada pihak-pihak yang sengaja memacetkan, yang dapat ditebak siapa yang menjadi factor pemacet tersebut. Kalau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diberi wewenang yang sangat kuat dalam pemberantasan korupsi, mengapa KOMNASHAM hanya diberi wewenang yang kecil sekali, hampir-hampir tidak ada arti dan gunanya, hanya sebagai institusi “pajangan” saja. Kalau kejaksaan dan kepolisian tidak diaktifkan menangani masalah pelanggaran HAM, seharusnya KOMNASHAM diberi wewenang yang besar (seperti wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga bisa melakukan investigasi yang hasilnya bisa dijadikan alat bukti di dalam proses pengadilan HAM.

Proses pengadilan di Peru pun tidak begitu mulus, juga ada pro dan kontra. Tetapi akhirnya proses pengadilan kota Lima pada 08 April 2009 yang lalu berhasil menjatuhkan vonis 25 tahun penjara terhadap Fujimori. Jumlah korban pelanggaran HAM kasus Fujimori yang hanya 25 orang (Komisi Rekonsiliasi menyebut 40 orang) adalah tidak sebanding dengan korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965 yang jutaan orang. Ternyata sedikit atau banyaknya jumlah korban tidak menjadi penghalang terlaksananya proses pengadilan dan penegakan keadilan. Semuanya tergantung pada kepedulian dan kemauan politik penyelenggara negara (terutama Presiden dan DPR).
Korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, di mana jutaan orang dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di berbagai penjara bertahun-tahun lamanya, ribuan orang diculik, dihilangkan secara paksa dan lain-lainnya, sampai sekarang sepertinya dianggap tidak ada apa-apa. Inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi tentang praktek penggelapan keadilan di Indonesia yang jelas bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila dan kaidah hukum HAM nasional maupun internasional.
Oleh karenanya tepatlah suatu pertanyaan: mengapa di Indonesia kasus pelanggaran HAM berat 1965 yang sudah berjalan 40 tahun tidak mendapat penanganan sama sekali? Apakah penegak hukum di era reformasi sama sekali kehilangan rasa kemanusiaan dan keadilan?

Adalah suatu kenyataan bahwa keadilan di Republik Peru bisa ditegakkan setelah kejaksaan berhasil menghadapkan Fujimori ke pengadilan dan mendapatkan vonis 25 tahun penjara tanpa bantuan dari PBB seperti halnya kasus pelanggaran HAM di Yugoslavia dan Rwanda. Di sinilah bedanya penegakan keadilan di Peru dan Indonesia dalam masalah HAM. Boleh terus terang dan terbuka mengatakan bahwa penyelenggara negara Indonesia tidak/belum berbuat apa-apa untuk menegakkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965. Justru tampak proses pengadilan dibendung rapat-rapat dengan akibat terus dipeliharaanya impunity berlaku di Indonesia. Dan hal itu tercermin di dalam UU KKR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena cacat hukum, di mana merupakan kompromi antara dua titik pandang “pro dan kontra” impunity.

Pengalaman di Peru menunjukkan bahwa penegakan HAM tergantung kepada kemauan politik penyelenggara negara bersangkutan dalam komitmennya menegakkan keadilan dan ketegasan pelaksanaan hukum nasional di Peru sendiri, bahkan bukan internasional. Tanpa merendahkan peranan hukum internasional, kenyataannya hukum internasional tidak akan berlaku di sesuatu negara kalau tidak diratifikasi lebih dulu berdasarkan system hukum di negara bersangkutan. Dewasa ini sudah banyak hukum HAM internasional yang diratifikasi oleh parlemen Indonesia, tapi kenyataannya pelaksanaannya dalam praktek kehidupan masih saja tidak berjalan.

Penegak hukum di Indonesia, terutama Kejaksaan Agung dan jajarannya seharusnyalah memegang peranan kunci dalam penegakkan keadilan dan hukum berkaitan masalah-masalah HAM. Tapi kenyataannya macet total, tidak berpotensi. Masalah-masalah HAM yang sesungguhnya derajat kwalitasnya lebih serius dibandingkan dengan kejahatan biasa malah diterbengkelaikan tanpa penanganan. Sebaliknya penyelenggara negara malah mempersulit dengan prosedur berbelit-belit melibatkan KOMNASHAM (yang wewenangnya sangat terbatas) dan DPR.

Keputusan pengadilan Lima dalam kasus Fujimori patut diacungi jempol sebagai keberhasilan usaha-usaha penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Peru, yang di Indonesia masalah-masalah tersebut belum pernah dituntaskan oleh penyelenggara negara (cq. Pemerintah atas nama negara), kapan pun dan siapa pun.
Seperti diketahui presiden Peru Alejandro Toledo, setelah terpilih jadi presiden tahun 2001 segera melakukan langkah-langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa sebelumnya (Fujimori), yaitu pertama-tama meminta maaf kepada para korban dan sanak keluarganya. Dalam pesan yang disiarkan ke seluruh negeri, Toledo menegaskan bahwa kebijakannya tersebut dilakukan atas nama negara dan ditujukan kepada para korban dan sanak-keluarganya, baik yang mati mau pun yang hilang, dan ribuan lainnya yang disiksa atau kehilangan tempat tinggalnya.
Dan hal tersebut juga merupakan keberhasilan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk pada tahun 2001 oleh pemerintahan Toledo untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan Peru maupun gerilyawan Jalur Bersinar.

Ketika rejim Orba/Suharto masih berkuasa, tentu saja para korban tidak mungkin bermimpi akan adanya pengakuan pelanggaran HAM berat dan dengan demikian permintaan maaf olehnya kepada para korban dan sanak keluarganya. Tapi kini sudah berjalan 10 tahun era “reformasi”, toh penyelenggara negara tidak ada yang secara jantan dan transparant menegakkan kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya dan oleh karenanya atas nama negara meminta maaf kepada para korban beserta keluarganya. Hanya presiden Adurrachman Wachidlah satu-satunya yang mengucapkan minta maaf, meskipun tidak jelas atas nama siapa: atas nama negara, atas nama presiden, atas nama NU (sebab pembunuhan di Jawa Timur melibatkan Pemuda Ansor), atas nama pribadi? Tidak jelas! Kalau atas nama Presiden atau atas nama Negara haruslah dengan prosedur resmi/formal, legal dan transparant.

Di Indonesia jelas awan tebal masih belum bergeser sehingga memberi cahaya terang bagi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965.

Nederland, 27 April 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland
mdkartaprawira@gmail.com
lbgpk65@yahoo.ca
http://lembagapembelakorban65,blogspot.com

Wednesday 1 April 2015

MISI HITAM SOSIALISASI UU KEWARGANEGARAAN RI TAHUN 2006 DI LUAR NEGERI

UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 tetap membisu dan tidak mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan rejim Orba terhadap WNI Indonesia di luar negeri yang dicabut paspornya karena keloyalannya terhadap pemerintah sah Soekarno berkaitan peristiwa 1965. Pencabutan paspor tersebut dilakukan dilakukan secara sewenang-wenang tanpa melalui prosedur hukum positif Indonesia. 

Andi Mattalata pada bulan Septeber 2008 ke Belanda untuk sosialisi UU Kewarganegaraan RI tersebut di hadapan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag. Tetapi tidak mendapat sambutan dari orang-orang yang dicabut paspornya/orang-orang eksil/ orang-orang terhalang pulang. 

Berikut ini adalah 3 buah artikel kritis MD Kartaprawira dalam menghadapi misi-hitam sosialisasi UU tersebut, yang merupakan bagian dari sejarah kaum eksil di luar negeri dalam usahanya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.


Red. LPK65



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)

Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (2) : MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

Oleh MD Kartaprawira*)
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam menyosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 di KBRI Den Haag pada 19 September yang lalu, jelas belum memahami sedikitpun permasalahan yang menyangkut “orang terhalang pulang” (selanjutnya OTP) atau dia tidak mau tahu. Masalah OTP tersebut sudah lama menjadi mata pembicaraan di media cetak, internet, radio, TV di samping di diskusikan di dalam seminar-seminar sampai saat ini. Tapi yang disosialisasikan Mattalata hanya mengenai masalah sekitar prosedur/cara permohonan kewarganegaraan kembali. Padahal persoalan prinsipiil bagi OTP adalah penegakan kebenaran dan keadilan. Artinya penguasa negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap WNI di luar negeri, karenanya harus minta maaf kepada WNI yang menjadi korban tersebut (OTP).

Kalau kebenaran sudah ditegakkan, selanjutnya harus ditegakkan keadilan, yaitu semua hak politik dan sipilnya dikembalikan kepada mereka, termasuk kewarganegaraannya, restitusi dan kompensasi jika memungkinkan. Itulah masalahnya yang pokok dan prinsipiil. Sedang kewarganegaraan itu adalah masalah buntut yang otomatis mengikuti masalah pokok.

Memang pengakuan perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sangat berat. Tapi seberat apapun pengakuan terhadap rakyatnya sendiri harus dilakukan. Mengapa pemerintah Indonesia tidak mampunyai keberanian untuk minta maaf kepada para korban, yang nota bene adalah bagian dari bangsanya sendiri. Mengapa pemerintah Indonesia tidak punya keberanian mencontoh Jepang, yang berani minta maaf bahkan kepada bangsa lain, yang tatkala masa Perang Dunia II Jepang melakukan tindakan kejahatan kemanusian di negara-negara yang didudukinya, a.l. wanita-wanita di negara-negara tersebut (Korea, Cina dll) dipaksa untuk dijadikan wanita pelampias kebutuhan sex serdadu-serdadunya, karena jauh dari isteri-isterinya? Dan agaknya berita yang relatif belum lama tidak masuk di telinga para penyelenggara negara Indonesia, bahwa parlemen Spanyol telah mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi dan restitusi beserta permintaan maaf kepada para korban keganasan rejim fasis Franco (pelanggaran HAM 70 tahun yang lampau).

Menteri Hamid Awaluddin yang berperan penting terciptanya UU tersebut, di Helsinki (2005) ketika menanggapi pendapat salah satu OTP yang berdomisili di Swedia tentang masalah penyelesaian OTP dengan tegas menyatakan bahwa kalau politik yang dipermasalahkan tidak bisa, tapi kalau mengenai paspor atau kewarganegaraan yang diminta akan diberi. Jadi masalah prinsip tampaknya akan mereka hindarkan dan tolak terus, sedang yang mereka berikan hanyalah masalah buntutnya saja. Padahal masalah pelanggaran HAM berat adalah masuk dalam wilayah politik, yang harus diselesaikan dengan putusan politik. Selama masalah politik tidak diselesaikan, berarti penguasa negara masih menyembunyikan tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap rakyatnya.

Tetapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rejim Orba/Suharto tidak mungkin dihapus dari lembaran sejarah. Usaha yang mereka lakukan untuk tujuan tersebut dengan memutar balikkan sejarah selama 32 tahun (melalui pendidikan di sekolah-sekolah, pemutaran film tentang G30S dan lain-lainnya) telah mengalami kegagalan total - terbongkar tujuan busuknya. Sebab rakyat sudah tidak bisa dibodohi dan dibohongi lagi. Yang terus berlangsung adalah usaha-usaha dengan cara yang lebih halus untuk terus menyembunyikan kebenaran sejarah demi untuk menghindarkan tuntutan dilaksanakannya keadilan dan pertanggung jawaban hukum. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah melalui UU Kewarganegaraan RI 2006.

Segolongan masyarakat menyerukan agar melupakan masa lalu, demi menatap masa depan Indonesia. Tidak perlu mengungkit-ungkit masa lalu, sebab hanya membangkitkan dendam sejarah saja, kata mereka. Saya kira masa lalu tidak bisa dilupakan, tapi perlu diredam, diendapkan dalam-dalam untuk menatap masa depan. Syarat mutlak yang tidak boleh tidak – conditio sine qua non – ke arah tersebut ialah diakuinya lebih dulu kenyataan masa lalu: terjadinya “tindak kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat terhadap warganegaranya oleh penguasa negara baik di tanah air maupun di luar negeri”. Suatu omong kosong besar dan latah kebohongan, apabila melupakan masa lalu tapi tidak jelas apa masa lalu tersebut yang harus diakuinya lebih dulu.

Untuk menatap masa depan yang rekonsiliatif, tidak mungkin tanpa permintaan maaf dari pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (penguasa negara) kepada para korban pada umumnya dan korban di luar negeri pada khususnya. Korban di luar negeri tidak bisa dipisah-pisahkan dengan korban di tanah air, sebab kalau tidak ada peristiwa 1965 yang mengakibatkan jutaan korban tak berdosa , termasuk Bung Karno beserta pendukungnya di tanah air, tidak akan mungkin timbul korban pelanggaran HAM di luar negeri.

Di dalam pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 oleh Andi Mattalata di KBRI Den Haag pada tanggal 19 September 2008 yang lalu tentu tidak akan disinggung masalah penegakan kebenaran dan keadilan seperti tersebut di atas. Memang demikianlah yang terjadi.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland



ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 ( 27 April 2007)
Oleh MD Kartaprawira*)

Agar kita mendapat gambaran jelas garis posisi Lembaga Pembela Korban 1965 terhadap UU Kewarganegaraan RI 2006, yang pada tanggal 19 September 2008 disosialisasikan oleh Andi Mattaalata di KBRI Den Haag, perlu saya tayangkan ulang press releases "Statement Lembaga Pembela Korban '65 Tentang Kebijakan Pemerintah Indonesia Sehubungan dengan UU Kewarganegaraan RI/2006 Terhadap WNI-Korban Pelanggaran HAM Orde Baru di Luar Negeri", tertanggal 27 April 2007 di Zeist (Nederland).

Dengan Statement tersebut diharapkan kita semua, baik OTP (Orang Terhalang Pulang) maupun bukan OTP, bisa mencermati apa yang tersurat dan tersirat di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Bagi para OTP jelas, bahwa selama dua posisi politik para korban dan pelaku pelanggaran HAM berat 1965 belum bisa ketemu, selama itu pula banyak masalah tidak dapat diselesaikan, antara lain mengenai UU Kewarganegaraan RI 2006.

Posisi pelaku pelanggaran HAM 1965 yang masih mau menyembunyikan tindak kejahatannya terhadap WNI di luar negeri yang dengan sewenang-wenang dicabuti paspornya (OTP) nampak jelas dengan tidak disinggungnya sepatah kata pun yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Maka tidak mengherankan bahwa pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 oleh menteri hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag, yang dari orang tergolong OTP hanya hadir 2 (dua) orang saja.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65 (LPK65), Nederland
http://lbgpk65.blogspot.com/


Press Releases
STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
TentangKEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI
Lembaga Pembela Korban '65 (LPK'65) sesuai visi dan misinya akan terus memperjuangkan kepentingan korban peristiwa 1965 di dalam dan di luar negeri. Yang dimaksud korban peristiwa 1965 di luar negeri, yaitu para warganegara Indonesia yang ketika meletus peristiwa G30S sedang menjalankan tugasnya di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat, wartawan, anggota delegasi di forum internasional) dicabut paspornya secara sewenang-wenang oleh penguasa Orde Baru/penguasa Negara saat itu.


Bahwasanya mereka berposisi loyal dan mendukung pemerintah Soekarno sebagai pemerintahan sah saat itu, tidaklah bisa dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan repressi kepada mereka dengan pencabutan paspor. Akibatnya mereka selama 32 tahun mendapatkan banyak kesulitan dan tidak bisa pulang ke tanah air, terpisah dengan sanak keluarganya, menjadi apa yang dinamakan "orang terhalang pulang" (selanjutnya: OTP). Tindakan penguasa Orde Baru yang demikian itu menunjukkan identitas sebagai penguasa diktator yang melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

Dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 pemerintah RI menunjukkan suatu langkah penyelesaian masalah para OTP, di samping masalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa 65. Bagi para OTP kebijakan pemerintah tertuang dalam UU Kewarganegaraan tersebut dirasakan tidak memenuhi tuntutan keadilan dan tidak manusiawi. Sedang janji Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Helsinki (11.09.2006) akan bertemu dengan para OTP di Amsterdam dan Paris, yang mungkin bisa membuka jalan dialog positif, ternyata sampai detik ini tidak kunjung kabar beritanya.
Menyikapi kebijakan pemerintah SBY-Kalla cq. Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pemulihan kembali kewarganegaraan RI kepada mantan WNI (para OTP) tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban'65 menyatakan:

Tindakan pencabutan paspor oleh Penguasa Orde Baru/penguasa Negara pada saat itu terhadap WNI tersebut di atas adalah tindakan politis yang melanggar hukum dan HAM. Penyelesaian masalah tersebut yang dilakukan pemerintah dewasa ini melalui UU Kewarganegaraan RI/2006 adalah suatu kebijakan bersifat administratif: tidak dapat dibenarkan, tidak adil dan tidak manusiawi. Penyelesaian masalah para OTP seharusnya tidak hanya sebatas pengembalian paspor belaka, tetapi harus mencakup semua aspek-aspek keadilan dan HAM yang telah dilanggar penguasa Orba.


Maka kalau pemerintah SBY-Kalla berkehendak melakukan kebijakan rekonsiliatif untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM bagi para OTP, pemerintah harus melakukan kebijakan berdasarkan keputusan politik pula dengan mematuhi prinsip penegakan Kebenaran dan Keadilan. Sesuai prinsip Kebenaran pemerintah atas nama negara harus mengakui dengan tegas bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para warganegaranya tersebut di atas. Dan oleh karenanya pemerintah atas nama negara harus dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada para OTP.


Selanjutnya sesuai prinsip Keadilan pemerintah harus mengembalikan sepenuhnya hak-hak politik dan sosial ekonominya, termasuk hak mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Hal itu adalah prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi landasan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya dalam menyelesaikan masalah-masalah warganegara RI di luar negeri yang karena peristiwa 1965 terhalang pulang dan/atau dicabut paspornya oleh penguasa Negara/Pemerintah Orde Baru.


Pemulihan kembali kewarganegaraan RI haruslah dipandang hanya sebagai salah satu konsekwensi penegakan Kebenaran dan Keadilan, di samping konsekwensi-konsekwensi lainnya: pemulihan penuh hak-hak politik dan sipil, rehabilitasi penuh, jaminan keamanan-sosial-ekonomi dan tindak non-diskriminatif.
Kebijakan pemerintah tanpa penegakan Kebenaran dan Keadilan adalah identik dengan pengingkaran pelanggaran HAM yang telah menyengsarakan warganegaranya sehingga tidak bisa kembali ketanah air untuk menunaikan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, kehilangan karier, terpisah dengan sanak keluarga di tanah air selama tiga dasa warsa, dan lain-lainnya.


Sedang kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006 tentang "Pernyataan Kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia", di mana pernyataan kesetiaan tersebut merupakan persayaratan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali bagi mereka yang dicabut paspornya tsb. di atas, adalah tidak tepat dan dirasakan sebagai penghinaan yang mendalam. Sebab mereka tersebut bukan kaum separatis dan pemberontak terhadap NKRI, melainkan patriot yang cinta dan membela tanah air Indonesia, UUD'45 dan Pancasila. Persyaratan pernyataan setia kepada NKRI hanya patut diberlakukan kepada kaum separatis dan pemberontak yang kembali kepangkuan NKRI.


Di samping itu perlu ditekankan, bahwa LPK'65 tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi mereka yang berposisi lain demi mendapatkan kembali kewarganegaraan RI sesuai ketentuan-ketentuan UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 dan peraturan-peraturan organiknya. Hak asasi mereka kami hormati sepenuhnya.
LPK'65 beranggapan bahwa Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya diharapkan masih bisa dan punya kesempatan untuk merubah kebijakan-kebijakan negatif tersebut diatas demi tegaknya kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam UUD 45 dan Pancasila. Sedang kepada semua lembaga/organisasi peduli HAM diharapkan dukungannya dan kerjasamanya dalam perjuangan menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Zeist/Nederland, tgl. 27 April 2007

LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto (Sekretaris I)

Posted by LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 at 3:09 PM 0 comments 
http://lbgpk65.blogspot.com/






ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)

Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland