Thursday 25 December 2014

LPK65: Selamat Hari Natal & Tahun Baru 2015

Kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan korban HAM lainnya beserta seluruh keluarganya  

Kepada para peduli/aktivis HAM dan siapa saja yang telah memberikan solidaritasnya kepada para korban pelanggaran HAM, kami ucapkan:

Selamat Hari Natal & Tahun Baru 2015

Semoga kita semua di tahun mendatang  selalu dalam keadaan sehat, damai dan sejahtera.

A/n. Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),  MD.Kartaprawira (Ketua Umum) 

Tuesday 23 December 2014

LPK65: BERDUKACITA ATAS KEPERGIAN BPK. SITOR SITUMORANG

Pada hari Minggu, 21 Desember 2014 telah meninggal dunia  Bpk. Sitor Situmorang dalam usia 91 tahun. Dari lubuk hati yang dalam kami Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65), Nederland beserta segenap anggota dan pendukungnya menyatakan duka cita kepada seluruh keluarga besar Bpk. Sitor Situmorang di Negeri Belanda dan di Indonesia. Semoga almarhum diterima disisi   Tuhan dengan limpahan kasih sayangNya. Dan semoga mereka yang ditinggalkannya  tabah dan sabar menghadapi situasi tersebut.

Kami merasa kehilangan besar atas kepergian Bpk. Sitor Situmorang - seorang tokoh seniman Soekarnois sejati, Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional, yang pernah meringkuk dalam tahanan rejim dikmilfas Suharto/Orde Baru selama 7 tahun, tanpa dibuktikan kesalahannya dalam proses hukum. Bahkan pelanggaran HAM berat 1965 tersebut, yang juga dialami oleh 3 juta manusia tak bersalah di tanah air dan di luar negeri sampai detik ini belum diakui oleh penyelenggara Negara. Semoga Bpk. Presiden Joko Widodo berhasil menerobos kemandegan kasus pelanggaran HAM tersebut, sesuai dengan janjinya.

Sebagai patriot Indonesia Bpk. Sitor Situmorang selalu tegak mempertahankan dan membela Negara Republik Indonesia serta Dasar Negara Pancasila. Jiwa patriotismenya tertuang di dalam puisi-puisinya. Dan jiwa patriotismenya tak pernah padam, meski usianya sudah tidak muda lagi. Ketika menjadi narasumber dalam suatu sarasehan di  Leuven, Belgia 23 September 2000, “MAWAS DIRI: PERISTIWA SEPTEMBER ’65 DALAM TINJAUAN ULANG”, yang diselenggarakan oleh  Forum Diskusi Sejarah Indonesia  -- Eropa (di mana  para romo muda-mahasiswa S3 bersama anggota-anggota PPI Belgia lainnya aktif ambil bagian) , Bp. Sitor Situmorang dengan tegas dan berapi-api menangkis kritik-serangan dari seorang aktivis (initial JSML) yang  anti-Soekarno, anti-UUD 1945 dan anti Pancasila.

Meskipun kesehatannya sudah tak kokoh lagi, sebagai korban pelanggaran HAM berat 1965 beliau berusaha meluangkan waktunya untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para eksil di Nederland, sebagai tanda solidaritas perjuangan bersama menegakkan kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia.

Selamat jalan Bpk. Sitor Situmorang, Indonesia berterima kasih atas jasa-jasamu. Kami akan selalu mengenangmu.

Nederland, 23 Desember 2014
A/n. Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65),

MD Kartaprawira (Ketua Umum)

Thursday 18 December 2014

Pengadilan Rakyat Internasional Kejahatan Kemanusiaan 1965 Diluncurkan


Kamis, 18/12/2014 17:07 WIB

Laporan dari Amsterdam

Pengadilan Rakyat Internasional Kejahatan Kemanusiaan 1965 Diluncurkan

Eddi Santosa - detikNews
Amsterdam - Sebuah pengadilan, resminya diberi nama The International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia diluncurkan awal (soft launching) di Amsterdam, Rabu (17 Desember 2014).

International People’s Tribunal (IPT) ini didirikan untuk menghadapi budaya impunitas dengan membongkar lingkaran penyangkalan, distorsi, tabu, dan rahasia yang tanpa ujung pangkal.

Pertama, upaya ini akan dapat memberi suara pada para korban. Cerita mereka harus bergaung secara jelas sehingga mampu memiliki kekuatan membongkar stigma yang diderita oleh mereka dan keluarga mereka.

Kedua adalah Tribunal ini, diupayakan mampu memberikan pencatatan yang transparan tentang peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Oktober 1965. Transparan untuk siapapun yang ingin mengetahuinya.

Laporan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia tahun 2012, adalah pencatatan pertama tentang kejahatan-kejahatan tersebut. Laporan tersebut, sampai saat ini tidak pernah mendapat pengakuan Negara dan tak pernah ditindak.

Tujuan ketiga dari Tribunal ini, adalah membuka ruang bagi debat publik tentang sejarah Indonesia, tentang cita-cita pasca kolonial, upaya membangun keadilan sosial, upaya menerapkan ‘rule of law’, upaya menggabungkan kekuatan sentrifugal sosialisme dan Islam, lebih lagi upaya mengikis budaya kekerasan, demikian seperti termaktub dalam preambule.

Sastrawan Martin Aleida dalam komentarnya mengatakan bahwa ini memang bukan pengadilan kejahatan kemanusiaan seperti di Nuerenburg terhadap kekejaman fasisme Nazi, atau pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan di Serbia atau Rwanda atau Kamboja. Keputusan IPT 1965 tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang mengikat.

"Tetapi, yang lebih penting daripada itu adalah, bahwa keputusan yang akan diambil para hakim yang punya reputasi dan dihormati secara internasional, tentu akan berdampak dalam dan luas," demikian Martin.


Monday 15 December 2014

Komnas HAM RI: Surat Dukungan untuk Pemutaran Film Senyap

Surat Dukungan Komnas HAM RI untuk Pemutaran Film Senyap

Teman-teman penyelenggara pemutaran film Senyap yang baik,

Saat ini program Indonesia Menonton Senyap dengan 467 pemutaran di 62 kota dari Aceh sampai Papua, dan dengan 168 pemutaran diantaranya dilakukan terbuka untuk umum, serta melibatkan lebih dari 8.000 orang penonton dan panitia relawan, telah berjalan dengan sangat baik dan lancar.

Untuk memelihara situasi yang kondusif ini, bersama ini kami lampirkan surat dukungan Komnas HAM untuk penyelenggaraan pemutaran film Senyap dalam rangka memperingati Hari HAM yang dimulai pada tanggal 10 Desember 2014 lalu.

Pada saat yang sama, surat ini telah dikirimkan kepada kepada Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, dan Kepala-Kepala Daerah dengan tembusan kepada teman-teman penyelenggara pemutaran film Senyap di seluruh Indonesia. Surat ini menjelaskan bahwa pemutaran film Senyap adalah bagian dari kegiatan lembaga negara Komisi Nasional Hak Azasi Manusia RI dan merupakan bagian dari upaya pemajuan HAM di Indonesia. Surat ini juga meminta dukungan dari aparat terkait dan kepala daerah pada penyelenggaran pemutaran film Senyap di manapun di Indonesia.

Kami juga berharap bahwa surat ini dapat Anda cetak dan dilampirkan sebagai pengantar untuk mengajukan rencana pemutaran di tempat Anda masing-masing. Surat dukungan ini, dalam format PDF dapat Anda baca dan unduh darihttps://app.box.com/s/ob5os7oevm633s69nv97

Mudah-mudahan surat dukungan Komnas HAM ini dapat memperlancar segala urusan dan menambah semangat bagi teman-teman untuk mengadakan pemutaran terbuka di lingkungan masing-masing karena pada dasarnya pemutaran film Senyap adalah bagian dari program kerja rekonsiliasi yang diprakarsai oleh lembaga negara Komisi Nasional Hak Azasi Republik Indonesia.


Tetap semangat, dan salam hangat,

Panitia Pemutaran Film Senyap


http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2014/12/komnas-ham-ri-surat-dukungan-untuk.html
(Alamat Sementara)

Thursday 11 December 2014

LPK65: SURAT TERBUKA KEPADA PRESIDEN JOKO WIDODO

SURAT TERBUKA KEPADA PRESIDEN JOKO WIDODO

Kepada
Yth. Presiden Republik Indonesia
Bapak Joko Widodo
Jakarta


Yth. Bpk. Presiden Joko Widodo,

Sudah 49 tahun berlalu kasus pelanggaran HAM berat 1965/66,  yang  memakan korban jutaan manusia tak berdosa, hingga dewasa ini belum / tidak pernah ditangani secara serius dan tuntas oleh penyelenggara Negara Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara Negara selama ini  dengan sengaja melupakan dan menelantarkan kasus tersebut di atas,  dengan tujuan   untuk menyelamatkan para pelaku  pelanggaran HAM dari tanggung jawab hukum.  

Dan juga penyelenggara Negara dengan sengaja selama 49 tahun telah membiarkan berlakunya proses impunitas yang sangat memalukan di dalam “Negara Hukum” Indonesia.

Penolakan Jaksa Agung (dengan segala alasannya) untuk menindak-lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran HAM berat 1965 menguatkan bukti keengganan penyelenggara negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat 1965.

Hal-hal tersebut di atas tentu akan menjadi penghalang  terjadinya rekonsiliasi nasional, yang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk pembangunan Indonesia yang demokratik, sejahtera, adil, makmur, aman dan damai.

Kami bersyukur dan gembira bahwa Presiden RI Bpk. Joko Widodo, adalah satu-satunya presiden RI yang telah mengucapkan janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Tapi perlu mendapat perhatian, bahwa korban Pelanggaran HAM berat 1965/66 bukan hanya satu orang atau puluhan orang, melainkan jutaan orang tak bersalah (dibunuh, diasingkan ke pulau Buru, dikurung dalam tahanan-tahanan, dianiaya, dilecehkan kehormatannya, dicabut paspornya dan lain-lainnya).

Khusus kaitannya dengan warganegara Indonesia di luar negeri, terutama ratusan mahasiswa yang dikirim untuk tugas belajar oleh pemerintah Soekarno, mereka dicabut paspornya oleh rejim Orde Baru karena loyalitasnya terhadap pemerintah sah Soekarno. Akibatnya mereka menjadi orang tanpa kewarganegaraan dan/atau sebagai eksil, mengalami penderitaan berat baik bagi dirinya di luar negeri maupun bagi sanak-keluarganya di tanah air.

Kalau para tapol di tanah air pada tahun 1970-an sudah dibebaskan semua, tapi mereka yang dicabut paspornya sampai tua bangka tetap dianggap sebagai setan yang membahayakan. Tentu hal itu ada alasan politis dan strategis penguasa mengapa para mahasiswa tersebut yang tenaga dan pikirannya masih kuat dan segar perlu dicekal pulang ke tanah air setelah tamat studinya. Baru tahun 2006 ada rekayasa licik  dari pemerintah untuk memberikan paspor kembali, tapi menolak mengakui pelanggaran HAM yang dilakukannya.

Maka demi tegaknya keadilan, kapan saja kami berhak dan berkewajiban mengingatkan kepada Bpk. Presiden tentang realisasi janjinya tersebut. Sebab, janji adalah hutang, sedang hutang harus dibayar.

Dalam realisasi pemenuhan janji tersebut kami, Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)* menyerukan kepada Bpk. Presiden agar:

-. Atas nama Negara pertama-tama meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas terjadinya tragedi pelanggaran HAM berat 1965/66 dan atas terbengkalainya penanganan kasus tersebut.

-. Sebagai prioritas segera melakukan kebijakan-kebijakan konkrit (termasuk menindak-lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai dugaan pelanggaran HAM berat 1965/66) untuk menuntaskan kasus tersebut di atas secara adil dan manusiawi bagi para korban di tanah air dan luar negeri, baik melalui Pengadilan HAM Ad hoc maupun Komisi Rekonsiliasi.  

-. Segera memberi rehabilitasi nama baik  serta pemulihan hak-haknya kembali kepada para korban yang telah dinyatakan bersalah atau pun dalam status tersangka dalam proses pengadilan masa lalu. 

-. Dengan tegas menghapus dan mencegah segala kebijakan yang bisa menimbulkan berlakunya praktek  Impunitas dan menghapus semua sisa-sisa perundang-undangan yang diskriminatif.

Nederland, 10 Desember 2014

A/n Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65)
M.D. Kartaprawira (Ketua Umum), S. Pronowardojo (Sekretaris I)

Tembusan:

1.   Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
2.   Dewan Perwakilan Rakyat RI
3. Kejaksaan Agung RI
4. Mahkamah Agung RI
5. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
6. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI
7. Komisi Hak Asasi Manusia PBB
8. Arsip Nasional RI

*) Berdasar Keputusan Rapat Anggota LPK65 tgl. 16 Nopember 2014 nama Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) telah dirubah menjadi Lembaga Perjuangan Korban 1965 (LPK65).

NB:Untuk sementara alamat Weblog LPK65 belum berubah. 


Hari HAM, Film Senyap Diputar di 457 Tempat


Rabu, 10 Desember 2014 | 21:02 WIB

Hari HAM, Film Senyap Diputar di 457 Tempat 

Hari HAM, Film Senyap Diputar di 457 Tempat  
Foto sampul film Senyap, The Look of Silence. (tiff.net)
TEMPO.COJakarta - Peringatan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember, diramaikan dengan pemutaran filmSenyap atau The Look of Silence. Film tersebut diputar serentak di seluruh Indonesia.

Pemutaran dilakukan di 457 titik, yang 160 di antaranya merupakan pemutaran terbuka dari Aceh sampai Papua, seperti Banda Aceh, Padang, Pekanbaru, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bandung, Cianjur, Yogyakarta, Purwokerto, Solo, Semarang, Kediri, Malang, Jember, Makassar, Palu, Manado, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Jayapura, dan Wamena. Pemutaran tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga jaringan
Komisi Nasional Hak Asasi dan lembaga-lembaga lain yang punya kepedulian terhadap hak asasi. “Permintaan pemutaran terus masuk,” ujar seorang anggota tim pemutaran Senyap yang enggan disebutkan namanya. 

Tim produksi Senyap di Indonesia menjelaskan, dibandingkan dengan film Jagal (The Act of Killing), jumlah penonton Senyap bisa dibilang luar biasa pada hari pertama acara Indonesia Menonton Senyap. Pada sekitar 10 Desember 2012, Jagal diputar di 51 titik di berbagai kota dan hanya kurang dari sepuluh di antaranya yang dilakukan secara terbuka. Namun begitu, selama dua tahun peredarannya, Jagal telah diputar sekitar 500 kali. Hal tersebut seperti membuka jalan dan jaringan pengelola pemutaran film bagi film
 Senyap.
Senyap menceritakan salah satu anggota keluarga penyintas yang menemui para pelaku genosida di Indonesia. Adi Rukun, adik bungsu korban, bertekad memecah belenggu kesenyapan dengan mendatangi para pembunuh kakaknya untuk menapaki jalan rekonsiliasi.

Co-director anonymous film tersebut berterima kasih atas upaya pemutaran serentak di Indonesia. “Ini juga upaya kami untuk membantu sebuah proses rekonsiliasi yang telah 50 tahun terlambat dimulai,” ujarnya.

DIAN YULIASTUTI

Asvi Warman Adam: Surat Terbuka untuk Presiden

Rabu, 10 Desember 2014 (Kompas)
Surat Terbuka untuk Presiden
<Asvi Warman Adam>

SEBELUM menjadi presiden, Joko Widodo telah mencanangkan visi-misinya yang disebut Nawacita. Pada program keempat tentang penegakan hukum disebutkan antara lain "menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu". Jadi, kalau ada menteri yang kurang peduli terhadap penyelesaian masa lalu, tentu ia tidak membaca dan memahami Nawacita. Dari kasus pelanggaran HAM masa lalu sejak 1945 sampai 2000, salah satunya dan yang paling menonjol adalah kasus 1965 yang merupakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia: 500.000 orang. Belanda yang berada di Nusantara selama 350 tahun menewaskan 125.000 orang Indonesia, 75.000 di antaranya di Aceh. Jadi, jauh lebih banyak korban pembunuhan sesama bangsa sendiri. Komisi Nasional HAM telah menghasilkan laporan penyidikan pro-justicia tentang kejahatan kemanusiaan 1965, seyogianya Kejaksaan Agung tidak bermain-main untuk menindaklanjutinya dalam rangka melaksanakan Nawacita. Peristiwa 1965 telah berlangsung selama hampir 50 tahun tanpa penyelesaian yang komprehensif dan berkeadilan. Dalam waktu dekat ada beberapa hal yang dapat dilakukan presiden, meminta maaf atas kekeliruan negara dan menanggapi petitum Mahkamah Agung.
Meminta maaf
Pertama, presiden Indonesia perlu meminta maaf kepada ribuan patriot Indonesia yang dicabut kewarganegaraannya setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus. Tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan "mahid" (mahasiswa ikatan dinas) ke luar negeri untuk mempersiapkan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dianggap sebagai pendukung Soekarno, paspor mereka dicabut dan mereka kehilangan kewarganegaraan. Hampir semuanya telah menjadi warga negara asing walau mereka tetap bersemangat mengikuti peringatan proklamasi kemerdekaan di KBRI setempat, termasuk membacakan teks Pancasila. Rata-rata berusia 75 tahun atau lebih dan sebagian besar telah meninggal.
Kedua, presiden Indonesia seyogianya menyatakan kekeliruan pemerintah pada masa lalu dalam membuang lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979). Tanpa proses pengadilan, mereka dipekerjakan secara paksa dalam suatu kamp konsentrasi tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Protes lembaga internasional yang menyebabkan Pemerintah Indonesia mengakhiri kejahatan kemanusiaan ini
Ketiga, presiden sebaiknya meminta maaf kepada anak-anak korban peristiwa 1965 yang tidak boleh menjadi PNS dan ABRI sejak Instruksi Menteri Dalam Negeri dikeluarkan pada 1981. Terlepas dari orangtuanya bersalah atau tidak, anak-anak mereka sama sekali tidak boleh didiskriminasikan dalam memilih lapangan pekerjaan seperti dijamin dalam UUD 1945.
Keempat, presiden tentu perlu menanggapi petitum Mahkamah Agung tahun 2011. Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1975 tanggal 25 Juni 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 33 P/HUM/2011 yang menyatakan keputusan presiden tersebut beserta seluruh peraturan di bawahnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung "memerintahkan kepada Presiden RI untuk mencabut Keputusan Presiden No 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C tanggal 25 Juni 1975 tersebut".
Pada era Reformasi dengan bersusah payah dilahirkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tahun 2004. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap setengah hati dengan tidak kunjung menetapkan nama-nama anggota KKR yang diberikan panitia seleksi untuk selanjutnya dipilih DPR. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie secara ultrapetita merobohkan UU itu.
Membuat terobosan 
Pengganti undang-undang itu sudah selesai digodok oleh Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak kunjung diserahkan pemerintah kepada DPR. Selain Pengadilan HAM ad hoc, KKR diperlukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara komprehensif. Sebagai terobosan, sebaiknya pembentukan komisi ini tidak lagi dengan undang-undang yang akan memakan waktu lama, tetapi cukup dengan keputusan presiden. Jadi, merupakan komisi negara yang dibentuk presiden dengan personel yang ramping dan bertugas dalam tempo yang tidak terlalu lama, misalnya dua tahun. Semoga surat ini dapat membantu Presiden Joko Widodo dalam membuat terobosan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang termasuk program Nawacita. Dengan demikian, bangsa ini dapat melangkah ke depan tanpa beban.
* * *
<Asvi Warman Adam, Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University. Sumber: http://print.kompas.com/ >
KOMPAS
PRINT.KOMPAS.COM

Wednesday 10 December 2014

Amnesty International Protes Hukuman Mati, Jokowi: Tiap Negara Punya Aturan Sendiri

Senin, 08/12/2014 17:12 WIB

Amnesty International Protes Hukuman Mati, Jokowi: Tiap Negara Punya Aturan Sendiri

Moksa Hutasoit - detikNews
Jakarta - Amnesty International mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan rencana eksekusi mati lima narapidana. Namun permintaan itu ditanggapi santai oleh Jokowi.

"Semuanya harus hargai bahwa setiap negara itu mempunyai aturan sendiri-sendiri," tegas Jokowi di Bina Graha, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2014).

Narapidana yang bakal dieksekusi itu terdiri dari napi pidana umum dan narkotika.‎ Mereka ditahan di Tangerang, Batam dan Nusakambangan.

Menurut Jokowi, putusan itu merupakan produk pengadilan yang harus dilaksanakan. Namun dia sendiri mengakui belum meneken perintah eksekusi mati tersebut.

"Kalau sudah, nanti akan saya sampaikan," tandasnya.

‎Sebelumnya, organisasi HAM Internasional tersebut mengecam sikap pemerintah yang bakal melakukan eksekusi mati terhadap lima napi. Organisasi ini menilai hukuman itu adalah cara yang salah untuk menangkal kejahatan.

Jika jadi dilakukan, pemerintah nantinya juga akan ksulitan untuk melindungi WNI yang mengalami hal serupa di luar negeri.


Mulai hari anda dengan informasi aneka peristiwa penting dan menarik di "Reportase Pagi" pukul 04.00 - 05.30 WIB hanya di Trans TV

(mok/rmd)