Monday 30 September 2013

Soeharto Dan Peristiwa G30S 1965

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/09/soeharto-dan-peristiwa-g30s-1965.html
Soeharto Dan Peristiwa G30S 1965
Senin, 30 September 2013 | 22:33 WIB   ·   0 Komentar
 Soeharto.jpg
Dalam sejarah yang disusun oleh Orde Baru, Gerakan 30 September (G30S) digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan yang dipimpin oleh Kolonel Untung itu dituding berniat merebut kekuasaan pemerintahan yang sah.
Namun, tudingan itu tidak pernah terbukti. Bahkan pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), yang mengadili pentolan G30S dan tokoh-tokoh PKI, gagal membuktikan tuduhan tersebut. Malahan, berbagai kesaksian dan penelitian terbaru mengenai peristiwa tersebut justru membantah tudingan tersebut.
Kini, setelah Orba runtuh, perlahan-lahan kebenaran terkuak. Keabsahan Soeharto sebagai ‘pahlawan’ dalam kejadian tersebut mulai dipertanyakan. Belakangan, ada banyak analisa yang mengaitkan Soeharto dalam G30S tersebut.
Dari berbagai analisa itu, saya menyimpulkan ada tiga hal yang cukup mendasar. Pertama, Soeharto sudah mengetahui rencana G30S. Kedua, beberapa aktor kunci G30S adalah anak buah atau, setidaknya, dikenal sebagai ‘orang dekat’ Soeharto. Ketiga, G30S hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno.
Yang pertama jelas menarik. Informasi bahwa Soeharto sudah mengetahui rencana G30S berasal dari Kolonel Abdul Latief, salah seorang aktor penting dalam G30S. Dalam pledoinya Kolonel Latif mengungkapkan, dua hari sebelum peristiwa Gestok, Ia dan keluarganya mengunjungi keluarga Soeharto. Saat itu, ia sempat menanyakan isu Dewan Jenderal kepada Soeharto. Soeharto mengaku sudah mendengar isu itu dari anak-buahnya dari Jogja bernama Subagyo. Soeharto menyatakan akan dilakukan penyelidikan.
Reaksi dingin Soeharto menimbulkan tanda-tanya. Sebagai Panglima Kostrad, yang bertanggung-jawab atas keselamatan pemerintahan dan Presiden, Soeharto seharusnya bereaksi aktif terkait laporan tentang rencana kudeta Dewan Jenderal itu.
Selain itu, dalam buku seorang penulis AS, Arnold Brackman, yang berjudul The Communist Collapse in Indonesia, diungkapkan wawancara dengan Soeharto di tahun 1986. Dalam wawancara itu Soeharto mengatakan, dua hari sebelum 30 September 1965, anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun ketumpahan sup panas dan dibawah ke rumah sakit. Pada malam 30 September, banyak rekan-rekan Soeharto yang menjenguk, termasuk Kolonel Latief. Menurut Soeharto, kedatangan Latief malam itu, hanya beberapa jam menjelang kejadian, adalah untuk menanyakan kesehatan anaknya.
Namun, Latief membantah itu dalam pledoinya. Menurutnya, kunjungannya ke rumah sakit, selain untuk menjenguk anak Soeharto yang terkena musibah, juga untuk “melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk menggagalkan rencana Coup D’etat dari Dewan Jendral.” Dan, kata Kolonel Latif, inisiatif Latief melapor ke Soeharto itu direstui Kolonel Untung dan Brigjend Soepardjo.
Keterangan Kolonel Latief ini tidak berubah. Namun, penjelasan Soeharto terhadap pertemuan itu justru berubah-ubah. Pada tahun 1970, dalam wawancara dengan majalah Der Spiegel Jerman, Soeharto kembali menceritakan kisah pertemuan itu. Saat itu ia ditanyai oleh wartawan begini: “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Soeharto kemudian menjawab: “Pada jam 11.00  malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum.”
Jelas, keterangan Soeharto berubah-ubah. Sementara keterangan Kolonel Latief tidak berubah. Dengan sendirinya, kita bisa menyimpulkan siapa yang telah mengarang kebohongan. Selain itu, jawaban Soeharto dalam wawancara dengan wartawan Der Spiegel juga tidak masuk akal. Dalam teori manapun, tidak masuk akal seorang perancang gerakan membuat aksi menghebohkan, yakni membunuh, hanya beberapa jam sebelum aksi sebenarnya akan dimulai.
Namun, dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan. Satu, Soeharto mengetahui perihal rencana sejumlah perwira Angkatan Darat untuk melancarkan gerakan kontra-kudeta terhadap Dewan Jenderal. Dua, kendati Soeharto mengetahui gerakan tersebut, tetapi ia tidak mengambil langkah atau tindakan untuk mencegah gerakan itu.
Yang kedua juga cukup menarik. Beberapa analisa sejarah menunjukkan bahwa Soeharto punya hubungan dekat dengan para pelaku G30S, seperti Kolonel A Latif, Kolonel Untung, dan Sjam Kamaruzzaman. Baiklah, kita akan membahasnya satu per satu.
Mengenai hubungan Kolonel Latif dan Soeharto, saya mencoba merujuk pada dua kesaksian, yakni Subandrio dan AM Hanafie. Subandrio adalah Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen di saat peristiwa G30S terjadi. Sedangkan AM Hanafie adalah bekas aktivis pemuda revolusioner di Menteng 31, yang pada saat kejadian ditunjuk oleh Bung Karno sebagai Dubes di Kuba.
Menurut Subandrio, Kolonel Latief adalah bekas anak buah Soeharto semasa di Kodam Diponegoro. Soeharto dan Latief sudah saling-kenal semasa masih di Jogjakarta. Kata Subandrio, Latief memegang rahasia skandal Soeharto saat serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta. Menurut cerita Latief, sementara pasukan kompinya menyabung nyawa melawan tentara Belanda, Soeharto malah sedang santai makan soto babat.
Pasca kejadian itu, Soeharto-Latief berada di kesatuan berbeda. Soeharto di Pangkostrad, sedangkan Latief menjadi komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam Jaya. Karena posisi Latief cukup stategis, yakni penanggung-jawab keamanan Jakarta, Soeharto kembali membangun hubungan dengan Latief. Soeharto mengunjungi Latief dan keluarganya saat ada acara khitanan anaknya.
Dalam pledoinya Latief juga mengaku kedekatannya dengan Soeharto. “Memang saya pribadi adalah bekas anak buah beliau (Soeharto) sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100 yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X pada waktu jaman gerilya,” kata Latief. Di bagian lain, Latief menambahkan, “Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dalam ikatan komando dengan Bapak Jendral Soeharto di manapun beliau berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul keakraban secara kekeluargaan di luar dinas.” Bahkan, menurut pengakuan Hanafie, karena rumah Soeharto terlalu kecil, ia beberapa kali mengupayakan rumah untuk Soeharto.
Sementara versi AM Hanafie, dalam bukunya AM Hanafie Menggugat, menyatakan bahwa Latief adalah bekas anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pada saat peristiwa Madiun 1948 meletus, Latief berhasil meloloskan diri. Akhirnya, pasca kejadian, Latief menggabungkan pasukannya di bawah batalyon Overste Soeharto. Sejak itulah Latief menjadi anak buah Soeharto.
Kemudian relasi Soeharto dan Kolonel Untung. Di sini, saya merujuk pada tiga kesaksian: Subandrio dan Kolonel Latief. Menurut Subandrio dalam bukunya Kesaksianku Tentang G30S menceritakan bahwa Untung juga adalah anak buah Soeharto semasa di Divisi Diponegoro. Sekitar tahun 1950-an, keduanya pisah kesatuan. Namun, di tahun 1962, mereka disatukan lagi, yakni dalam rangka pembebasan Irian Barat. Saat itu, Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, sedangkan Untung menjadi anak-buahnya di garis depan. Saat itulah Untung dikenal sebagai tentara pemberani. Ia memimpin kelompok pasukan kecil bertempur di hutan belantara Kaimana.
Pasca itu, kata Subandrio, Soeharto dan Untung pisah lagi. Soeharto menjadi Pangkostrad. Sedangkan untuk ditarik Bung Karno menjadi salah komandan kawal pasukan Tjakrabirawa. Namun, ungkap Subandrio, tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Sebab, Soeharto ingin merekrut Untung menjadi anak-buahnya di Kostrad. Kendati demikian, Soeharto tetap memelihara Untung. Ketika Untung menikah di Kebumen, Soeharto dan istrinya menyempatkan datang.
Kolonel Latif dalam pledoinya juga mengakui kedekatan Soeharto dan Untung tersebut. “Letkol Untung pun juga pernah menjadi anak buah langsung (Soeharto) sewaktu di daerah Korem Sala yang kemudian Letkol Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang diterjunkan di Kaimana sewaktu Trikora,” ungkap Latief. Lalu, ia menambahkan, “Pernah saya dengar dari pembicaraan Letkol Untung sendiri sewaktu selesai tugas Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan peristiwa itu Jendral Soeharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Resimen Cakra itu, karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan beliau. Selain itu sewaktu Letkol Untung menjadi temanten di Kebumen Jendral Soeharto juga memerlukan datang untuk turut  merayakan pesta perkawinan.”
Yang menarik dari kesaksian Subandrio, bahwa pada tanggal 15 September 1965, Kolonel Untung mendatangi Soeharto. Ia menyampaikan perihal rencana kup oleh Dewan Jendral. Karena itu, ia menyampaikan kepada Soeharto, bahwa pihaknya punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu.
Soeharto menyambut baik rencana Untung itu. “Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” kata Soeharto, sebagaimana dituturkan oleh Subandrio. Malahan, Soeharto menjanjikan bantuan pasukan untuk mendukung gerakan Untung itu.
Dan sekarang relasi Soeharto dan Sjam Kamaruzzaman. Menurut cerita AM Hanafie, Soeharto mengenal baik Sjam sejak di Jogjakarta. Sjam dikenal sebagai anggota Pemuda Pathuk. Ini adalah kelompok pemuda revolusioner hasil didikan Djohan Sjahroezah, seorang aktivis sosialis. Kelompok pemuda inilah yang memprakarsai aksi penyerbuan markas Jepang di Jogjakarta. Kelompok ini pula yang mendorong Sri Sultan Hamengku Buwono dan seorang anggota BKR bernama Soeharto untuk berdiplomasi dengan Jepang agar menyerahkan senjata. Sejak itu, Hanafie meyakini, Soeharto sudah mengenal Sjam. Saat itu Sjam masih dikenal dengan nama: Syamsul Qamar Mubaidah.
Pasca kejadian itu, Sjam pindah ke Semarang dan bergabung dengan AMKRI-nya Ibnu Parna. Kemudian, ia menjadi informan polisi pada Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Sjam juga pernah hadir di Konferensi Pesindo di Surakarta. Ia mewakili pemuda Laskar PAI (Partai Arab Indonesia). Ketika peristiwa Madiun meletus, Sjam menghilang. Tidak ada yang tahu dia dimana saat kejadian itu.
Dari Wikana, seorang tokoh PKI, Hanafie mendapat cerita bahwa Sjam lari ke Jakarta. Tepatnya ke Tanjung Priok. Di sana ia ditemukan oleh Hadiono Kusumo Utoyo, seorang tokoh pro-Sjahrir. Lalu, atas anjuran Hadiono, Sjam mengorganisir serikat buruh bernama SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Dari sinilah Sjam berkenalan dengan Aidit dan MH Lukman.
Namun, kata Hanafie, gara-gara razia Sukiman–razia terhadap orang-orang komunis, Sjam menghilang lagi. Menurut Hanafir, yang mendapat cerita dari Wikana, pasca kejadian itu Sjam menjadi informan SESKOAD dengan pangkat Sersan Mayor. Saat itu, Soeharto juga ditempatkan di SESKOAD pasca mendapat sanksi karena terlibat bisnis penyelundupan. Di sini, Sjam dan Soeharto kembali dipertemukan.
Di sini, kita mendapatkan adanya klik antara Soeharto-Untung-Latief-Sjam. Subandrio sendiri dalam kesaksiannya menyebut Soeharto membangun dua klik, yakni klik yang dikorbankan (Soeharto-Latief-Untung) dan trio yang dilanjutkan (Soeharto-Yoga Soegama- Ali Moertopo). Dari situ, kita bisa melihat, dua klik inilah yang dimainkan Soeharto. Klik ‘Untung-Latief-Sjam’ dipakai Soeharto untuk membuat gerakan kontra-kudeta yang dirancang gagal. Sedangkan klik ‘Soeharto-Yoga Soegama-Ali Moertopo’ dipakai untuk menumpas G30S, lalu menumpas PKI, dan kemudian menggulung kekuasaan Soekarno.
Kesaksian Sjam di Mahmilub jelas-jelas menguntungkan Soeharto. Di situ Sjam membeberkan bahwa semua tindak-tanduknya, termasuk dalam mengorganisir Dewan Revolusi, adalah atas persetujuan dan perintah DN Aidit. Hal itu dibutuhkan Soeharto untuk memperkuat dalihnya menumpas PKI sebagai otak G30S.
Dari dua hal di atas, kita menjadi terang untuk memahami kesimpulan ketiga di atas, bahwa G30S hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno. Kita menjadi tahu kenapa Soeharto tidak dijadikan sasaran penculikan oleh G30S, karena hampir semua otak G30S adalah anak buah Soeharto sendiri. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober 1965, markas Kostrad tidak dijaga oleh pasukan ‘G30S’.
Pertama, Soeharto mengetahui rencana G30S, tetapi tidak berusaha menghentikannya. Dengan mengetahui rencana itu, Soeharto menjadi aktor yang paling paham keadaan dan paling ‘siap’ untuk memainkannya. Dengan membiarkan rencana G30S berjalan, itu sama saja dengan merestui pembunuhan para Jenderal, termasuk Jenderal A Yani yang saat itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Sementara ada konsensus di AD saat itu, bahwa bila Menpangad berhalangan, maka otomatis Pangkostrad menjadi penggantinya. Hal inilah yang memudahkan Soeharto untuk mengorganisir serangan balik terhadap G30S.
Kedua, Soeharto sebetulnya menyadari bahwa G30S hanyalah gerakan internal Angkatan Darat untuk mencegah kup Dewan Jenderal terhadap Bung Karno. Jadi, Soeharto mestinya sadar bahwa G30S bukanlah kudeta, melainkan ‘gerakan penyelamatan’ alias ‘kontra-kudeta’. Soeharto juga tahu bahwa yang menggerakkan G30S ini adalah ‘anak-buahnya’. Tetapi kemudian, Soeharto mengarang cerita bahwa G30S digerakkan oleh PKI untuk merebut kekuasaan Soekarno.
Tudingan bahwa PKI ingin merebut kekuasaan juga cukup janggal. Pertama, PKI dan Soekarno saat itu berada dalam satu blok, yakni anti-imperialisme. Eksistensi PKI juga sangat diuntungkan di bawah kekuasaan Soekarno. Kedua, bila ingin merebut kekuasaan, PKI tidak perlu menggunakan jalur kudeta. Cukup menuntut Pemilu dipercepat. Sebab, sejak pemilu Dewan Daerah pada tahun 1957, PKI sudah menang besar. Banyak yang berkesimpulan, kalau ada pemilu saat itu, PKI pasti tampil sebagai pemenang.
Ketiga, kelihatan bahwa G30S dirancang untuk gagal. Kita bisa melihat betapa amburadulnya gerakan ini melalui evaluasi Brigjend Supardjo yang berjudul “Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militer”: adanya perwira yang mengundurkan diri, belum adanya kesiapan pasukan, rencana operasi tidak jelas, dan tidak ada upaya melawan serangan balik Soeharto-Nasution.
Yang juga aneh, gerakan ini awalnya hanya bermaksud untuk menangkap para Jenderal yang dituding anggota Dewan Jenderal dan menghadapkannya kepada Bung Karno. Namun, pada prakteknya, sejumlah Jenderal dieksekusi ditempat.
Di sini ada kejanggalan. Pimpinan lapangan operasi penculikan adalah Dul Arief. Menurut Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell, Dul Arief ini orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo. Malahan, menurut pengakuan Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo.
Jadi, dari uraian panjang di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Soeharto punya andil dalam G30S. Dan, satu hal yang tak bisa dibantah: Soeharto-lah yang paling diuntungkan dari peristiwa G30S. Kita tahu, Soeharto menjadikan peristiwa itu sebagai dalih untuk menumpas PKI, membunuh jutaan jiwa rakyat Indonesia yang dituding kader atau simpatisan PKI, dan memfitnah Bung Karno terlibat G30S sebagai jalan untuk menggulung kekuasan Soekarno.
Timur SubangunKontributor Berdikari Online


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130930/soeharto-dan-peristiwa-g30s-1965.html#ixzz2gRfoD2PB
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Saturday 28 September 2013

28 September 1999, Malapetaka ‘UBL Berdarah’ Yang Dilupakan

http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130928/28-september-1999-malapetaka-ubl-berdarah-yang-dilupakan.html

28 September 1999, Malapetaka ‘UBL Berdarah’ Yang Dilupakan

Sabtu, 28 September 2013 | 14:53 WIB   ·   0 Komentar
 reformasi.jpg
Tahun ini genap empat belas tahun sudah berlalunya salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di Lampung, tepatnya pada 28 September 1999, dan berlokasi persis di depan gedung kampus Universitas Bandar Lampung (UBL).
Peristiwa itu dicatat oleh NGO Kontras sebagai aksi kekerasan aparat TNI / POLRI terbesar yang menimpa gerakan mahasiswa di Lampung, dengan jatuhnya korban sekitar 44 orang mahasiswa luka-luka dan dua orang mahasiswa Universitas Lampung tewas, yakni Saidatul Fitria “Atul” dan M. Yusuf Rizal “Ijal”. Barangkali hanya sedikit masyarakat Lampung yang mengingatnya, atau bahkan lebih banyak lagi yang tak mau ambil tahu, tapi janganlah sampai kita—meminjam istilah mendiang Gus Dur—‘menjadi Bangsa pelupa yang hebat.
Sebuah Malapetaka
Sebenarnya peristiwa ini sudah lebih dulu populer dengan sebutan Tragedi 28 September / UBL Berdarah. Namun, saya lebih suka merujuk pada istilah malapetaka dalam konsepsi Max R Lane, seorang Indonesianis yang telah banyak memberi curahan perhatian pada upaya pelurusan sejarah politik Indonesia. Menurutnya, kata tragedi berasal dari istilah berbahasa Inggris yang  bermakna sebagai peristiwa menyedihkan dan patut disesali, ibarat suatu kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sementara istilah malapetaka dirasa lebih layak disematkan pada berbagai peristiwa kekerasan dan pembunuhan sistematik yang direncanakan oleh pemegang status quo terhadap orang-orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, namun dianggap mengganggu seperti peristiwa ini (Lane, 2012).
Benar saja, Malapetaka 28 September/ UBL Berdarah ini memang tak bisa kita pandang secara atomik, terpisah dari kejadian lainnya yang serupa. Peristiwa ini adalah bagian utuh dari rangkaian kekerasan dan pembunuhan sistemik yang dilakukan oleh aparat bersenjata selama kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru, bahkan masih terus berlanjut hingga masa setelahnya. Khususnya ini terjadi sepanjang bulan September 1999, dimana mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia yang masih dalam nuansa euphoria reformasi, melakukan aksi demonstrasi menolak rencana penerapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan RUU Rakyat Terlatih (Ratih)  yang dianggap bertentangan dengan semangat demokratisasi dan memberi peluang kembali menguatnya Dwi Fungsi ABRI.
Puncaknya terjadi setelah peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999, dimana aparat menembak mati Yap Yun Hap mahasiswa UI dan 16 orang lainnya di Jakarta. Sontak gerakan mahasiswa di berbagai daerah meresponnya lewat aksi solidaritas dengan tuntutan yang sama. Namun, reaksi pemerintah dan aparatnya justru semakin mengeras hingga meletus aksi represif serupa di Lampung, dimana Ijal aktivis Cakrawala FISIP Unila tewas terkena tembakan peluru tajam di dada dan lehernya, sementara Atul aktivis Teknokra Unila yang sedang meliput tewas setelah kepalanya dipopor senapan, selanjutnya menyusul pada 5 Oktober di Palembang, Meyer Ardiansyah mahasiswa ABI tewas setelah dipukuli dan ditusuk sangkur oleh aparat.
Demonstrasi mahasiswa di Lampung ini dilakukan setelah ratusan gabungan aliansi mahasiswa melakukan aksi long march dari kampus Unila menuju Makoramil Kedaton, persis di seberang kampus UBL, mereka meminta bendera merah putih dikibarkan setengah tiang dan komandan Koramil menandatangani surat dukungan penolakan RUU PKB dan ditolak. Setelah berunding, disepakati mahasiswa akan menumpang 20 bus menuju  kantor Gubernur dan melanjutkan aksinya, namun mendadak situasi berubah menjadi chaos, dan meski mahasiswa telah berlindung masuk areal kampus UBL, aparat tetap menyerbu masuk dan melakukan penembakan, penangkapan, pemukulan, serta perusakan kendaraan dan gedung hingga setelahnya perkuliahan harus diliburkan.
Hutang Sejarah
Untungnya malapetaka ini di Lampung tidak benar-benar dilupakan. Setiap tahunnya masih ada saja kelompok mahasiswa yang mengenang perjuangan generasi pendahulunya tersebut. Bahkan meski belum terlaksana, sejak 2008 lalu Rektorat Unila sempat menjanjikan nama Atul menjadi nama bagi gedung PKM Unila, sedangkan nama Ijal menjadi nama salah satu gedung di FISIP Unila. Selain itu juga, nama Saidatul Fitria telah diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi acara penghargaan tahunan bagi karya jurnalistik yang bertanggung jawab dan  memiliki dampak perubahan di masyarakat.
Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak kita semua untuk tidak hanya mengingat dan mengenang mereka yang tewas dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia ini, sekedar sebagai korban pelanggaran HAM an sich. Mereka berhak mendapatkan apresiasi lebih tinggi lagi dari kita yang menikmati buah perjuangannya sekarang ini. Mereka adalah juga pahlawan Bangsa, pelopor perubahan yang dengan sadar berjuang dan berkorban demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Terlebih cita-cita mereka tentang kehidupan ber-Bangsa yang adil dan makmur belumlah sepenuhnya terwujud. Bahkan sekarang ini telah kembali muncul berbagai regulasi yang berpotensi membungkam demokrasi dan memberi jalan bagi terulangnya kembali kekuasaan lalim yang otoriter melalui UU Kamnas, UU Intelejen, UU Komcad, UU Ormas dan sebagainya.
Meski dalam persitiwa ini ada pihak yang secara tak langsung mengaku bertanggung jawab, yakni pernyataan Dandenpom II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagus Heru Sucahyo menyatakan bahwa dirinya sudah mengamankan proyektil peluru pada tubuh korban dan saat itu Dema Unila pun telah menerima surat permintaan maaf dari Danrem 043 Gatam, Kol. Inf. Mudjiono, namun kelanjutan kasusnya tak pernah dituntaskan. Lembaga-lembaga stakeholder seperti Komnas HAM RI, Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk TNI, haruslah lebih pro aktif berupaya menuntaskannya selayak mungkin. Bagaimanapun, malapetaka haruslah diakui dengan kesatria dan dipertanggungjawabkan dengan bijaksana. Jika tidak selamanya ini akan terus  menghantui kita, menjadi hutang sejarah kepada generasi penerus Bangsa ini.
Saddam Cahyosekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung dan Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung (Unila)


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130928/28-september-1999-malapetaka-ubl-berdarah-yang-dilupakan.html#ixzz2gFyck2t4
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Thursday 19 September 2013

LAPORAN DISKUSI TERBATAS MAHKAMAH RAKYAT INTERNASIONAL KEJAHATAN KEMANUSIAAN TRAGEDI 1965-66

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/09/laporan-diskusi-terbatas-mahkamah_19.html

LAPORAN
DISKUSI TERBATAS
MAHKAMAH  RAKYAT  INTERNASIONAL
 KEJAHATAN KEMANUSIAAN TRAGEDI 1965-66
(INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL ON GROSS
HUMANITARIAN VIOLATION
OF 1965-66 TRAGEDY)
31 Agustus – 2 September 2013
SOLO, Jawa Tengah INDONESIA
Diskusi Terbatas yang membahas hal-ihwal Mahkamah Rakyat Internasional Kejahatan Kemanusiaan/pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Massal 1965-66 (International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy) di Solo, Jawa Tengah 31 Agustus- 2 September 2013 berjalan lancar, damai, bersemangat, penuh keakraban dan solidaritas sesuai dengan yang direncanakan.
Diskusi dibuka oleh Bedjo Untung  Ketua  YPKP 65 dengan diawali menyanyikan  lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mengheningkan cipta untuk mengenang Korban 65 yang gugur sebagi korban kebiadaban rejim fasis Suharto. Juga, sambutan Ibu Haryati Panca Putri Direktur LPH YAPHI.
Di hari pertama diskusi (Sabtu 31 Agustus 2013 pukul 19.00- 22.00) diisi dengan uraian yang melatarbelakangi diselenggarakannya diskusi serta dilanjutkan dengan perkenalan para delegasi.
Di hari kedua (Minggu 01 September 2013 pukul 08.00- 13.00) diskusi interaktif menghadirkan pembicara/narasumber Bung Stanley Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang menjelaskan proses lahirnya Rekomendasi Komnas HAM/Hasil penyelidikan pro yustisia Kejahatan Kemanusiaan Tragedi 1965-66, serta penjelasan sebagai salah satu orang yang ikut  menggagas perlunya digelar Tribunal Internasional (prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan Pelanggaran HAM berat Tragedi 1965-66.
Gagasan menggelar International  People’s Tribunal  Massacre 1965 bermula dari Kawan-Kawan pegiat  HAM dan Korban 65  di Negeri Belanda: Ibu Saskia E. Wieringa, Nursyahbani Kacasungkana.  Rencana ini juga didukung oleh berbagai kalangan anggota Parlemen di Negeri Belanda termasuk mantan  Menteri Kerjasama Pembangunan Pronk. Seorang anggota Parlemen Belanda bahkan berkata, “Jangan berkunjung ke Indonesia sebelum menonton film The Act of Killing agar mendapat pemahaman obyektif tentang kondisi HAM di Indonesia.”
Narasumber berkutnya ialah Bapak Kabul Supriyadhie  Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 yang  juga  sebagai dosen Universitas Diponegoro Semarang, sebagai pakar hukum  menjelaskan secara panjang lebar tentang  mekanisme Mahkamah Pidana  Internasional (ICC), juga contoh-contoh pengadilan yang sudah pernah dilaksanakan, misalnya: Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), Tribunal untuk Kamboja, Tribunal Sierra Leone, Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Dalam pemaparannya, Kabul Supriyadhie  memberi judul, “Informal International Tribunal: Dampak Hukum dan Politik”.
Sementara itu, dalam sesi interaktif ini, Dewi Ratna Wulan sebagai relawan YPKP 65 yang berkedudukan di Bangkok, Thailand  dan aktif sebagai pegiat perjuangan kesetaraan gender, mengomentari tentang perlunya digelar International People’s Tribunal. Dengan mencontoh pengadilan Tokyo tentang kekejaman tentara pendudukan Jepang ketika melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada para budak seks di bekas Negara pendudukannya.
International People Tribunal perlu digelar untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan
Pelanggaran HAM Berat  Tragedi 1965-66
Dalam sesi diskusi interaktif ini, para peserta memanfaatkan kesempatan  untuk bertanya maupun mengemukakan pandangannya tentang  perlunya menggelar pengadilan internasional atas prakarsa Rakyat oleh karena system pengadilan dalam negeri yang tidak berniat, tidak ada kemauan dan kemampuan   untuk menuntaskan kasus tragedi 1965-66. Diakuinya, melalui mekanisme ICC (International Criminal Court) adalah tidak memungkinkan karena tragedi 1965/66 berlangsung sebelum diumumkannya Statuta Roma pada tahun 2000 dan juga pemerintah Republik Indonesia sampai hari ini belum meratifikasi Statuta tersebut. Sekalipun RI telah meratifikasi, maka kejahatan yang dilakukan sebelum terjadinya ratifikasi, tidak dapat diadili  karena Statuta Roma tidak berlaku surut. Salah satu yang memungkinkan adalah menggunakan mekanisme penghilangan orang secara paksa. Dijadwalkan, pemerintah Indonesia akan segera meratifikasi konvensi  anti penghilangan orang  secara paksa. Kalau ini terealisasi,  maka kasus penghilangan orang secara paksa tragedi 1965/66 bisa dibawa ke pengadilan karena penghilangan orang secara paksa tidak mengenal kedaluwarsa, penghilangan orang secara paksa adalah continuous  crimes  (kejahatan yang masih berlanjut karena si korban belum diketemukan).
Laporan Penelitian/ Kesaksian Korban
Sesi berikutnya  pada pukul  14.00 – 17.00 kemudian dilanjutkan pada pukul 19.00 – 22.00 adalah Sharing Wilayah/Laporan Hasil Penelitian masing-masing Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia. Tiap Cabang YPKP 65 melaporkan hasil temuannya yaitu menekankan pada:
Berapa jumlah orang yang dibunuh, ditahan, dibuang , dipekerjakan secara paksa, tempat-tempat penyiksaan, tempat penahanan serta lokasi kuburan massal, serta jenis/bentuk  penyiksaan, berapa rumah-rumah penduduk yang dibakar, dll.
Keterangan ini akan digunakan sebagai barang bukti mau pun kesaksian dalam persidangan di Den Hag yang rencananya akan digelar pada Oktober 2015, yaitu bertepatan dengan 50 tahun pembisuan dan impunitas. Para pelaku (perpetrators) sampai hari ini masih berlindung di dalam  kekuasaan. Presiden RI belum berani membuka kejahatan yang dilakukan oleh aparat militer. Padahal, sudah sangat jelas, rekomendasi Komnas HAM kepada Jaksa Agung agar Negara/Pemerintah RI segera membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk  mengusut  dan mengadili para jenderal yang diduga terlibat dalam pembunuhan massal 1965-66.
Sungguh luar biasa. Laporan/Kesaksian para korban 65/ para peserta diskusi yang mewakili YPKP 65 di daerahnya masing-masing  memberikan catatan-catatan penting  apa adanya tentang temuan hasil penelitiannya:
1.      St. Sudarno Ketua YPKP 65 Pekalongan, melaporkan:
Sudarno lahir 17 Maret 1943 di desa Mojoagung, Kecamatan/Kawedanan  Kajen Kabupaten Pekalongan.  Ketika peristiwa 1965 meletus  ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor Kawedanan  Kajen juga  sebagai Dan Ton  (Komandan Peleton) Sukarelawan Pengganyangan Malaysia dari unsur Pegawai Negeri. Ia ditangkap, ditahan  dimasukkan ke bangunan bekas  gudang  garam  yang kotor, pengap, panas  tidak ada celah udara masuk, bersama teman-teman yang jumlahnya  sampai 200 an orang.
Ketika di dalam tahanan Penjara I Pekalongan, keadaannya lebih menyedihkan: para tahanan tidak diberi makan, hanya jagung sebanyak 25 butir kadang kala dipaksa makan gaplek (singkong kering) busuk. Pernah ia tidak diberi minum, tidak ada cangkir untuk  minum. Air  yang dikocorkan oleh petugas penjara  dari balik teralis besi,  kemudian para tapol  menadahi dengan peci, kaos, celana dalam, untuk kemudian diperas dan diminum.
Pak Sudarno  menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan ikut mengalami menyiksaan yang melampaui batas-batas perikemanusiaan.
Ia mengalami pemukulan dengan menggunakan balok kayu, rotan, besi dan ada yang menggunakan  kayu yang sudah dililiti kawat berduri untuk memukuli para tahan politik.  Sugeng anggota BPH Kabupaten Pekalongan  diadu dengan adiknya,  kemudian  dipukuli sampai meninggal.
Sudarno kehilangan ayah dan pamannya yang dibunuh ketika menjalani pemeriksaan di kantor CPM Pekalongan.
Dalam Catatan Penelitian YPKP 65 Kabupaten Pekalongan, terdapat 339 orang yang meninggal dunia/ dihilangkan  secara paksa, diantaranya 280 orang meninggal ketika berada di Kamp penyiksaan/Penjara LP Pekalongan. Sejumlah 38 orang dibunuh dengan modus tahanan politik diambil (diculik)  dari dalam tahanan kemudian dibunuh di suatu tempat kuburan massal di pantai utara Pekalongan. Sejumlah 13 orang meninggal di Pulau Buru serta 8 orang  dihilangkan tidak  terdeteksi dimana mereka dibunuh.
Laporan Penelitian  YPKP 65 Pekalongan juga melengkapinya dengan Daftar Korban 65 yang wajib lapor, dan ditahan . Di seluruh Kabupaten Pekalongan yang ditahan ada 1152 orang, sedangkan yang wajib lapor ada 525 orang, sehingga keseluruhan berjumlah 1677 orang.
Jumlah tapol se kabupaten Pekalongan yang dipekerjakan di pulau Buru berjumlah 199 orang.
Rumah yang dirusak dan dibakar oleh massa atas sepengetahuan aparat tentara  sebanyak  67 rumah (termasuk pabrik gondorukem milik ayah Sudarno).
Laporan lengkap secara terperinci berikut Daftar Nama yang meninggal dunia, Nama pemilik Rumah yang dirusak/dibakar, Tempat Lokasi penyiksaan serta tempat kuburan massal  ada disimpan oleh Sekretariat YPKP 65 Pusat.
2.      Supardi YPKP 65 Kabupaten  Pati, melaporkan:
Dalam penelitiannya, YPKP 65 Pati menemukan 7 (tujuh) lokasi kuburan massal,
(1) Kawasan hutan Perhutani HPH Grogolan, di desa Grogolan, Kecamatan Dukuh Seti. Daerah kehutanan tempat dimakamkannya orang-orang yang dituduh anggota PKI –karena dibunuh secara massal - oleh masyarakat sekitar hutan, lokasi tersebut  dikenal dengan nama Hutan Pekainan. Di sini dibunuh  sebanyak 40 orang anggota PKI.
(2) Di Kawasan Perkebunan Karet  Kalitelo, desa Puncel, Kecamatan Dukuh Seti. Dikenal dengan sebutan Batu Bantal. (terdapat 15 orang dalam satu lubang).
(3) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Lamin, desa Regaloh, Kecamatan Telogowungu. Dikenal dengan nama Hutan Sumberlamin. ( Menurut Saksi mata, di sini telah dieksekusi 29 orang  yang dituduh sebagai anggota PKI atau simpatisannya).
(4) Di Kawasan Hutan Perkebunan Kopi  Jolong, desa Guwo, Kecamatan Telogowungu. Dikenal dengan nama Hutan Kopi.( 39 orang dibunuh dalam satu lubang).
(5) Di Kawasan Hutan Perhutani HPH Barisan , desa Mantup, Kecamatan Jaken. Dikenal dengan nama Hutan Jenggot/Jeglong Barisan. Di tempat ini diketemukan 7 (tujuh ) lubang yang sudah disiapkan untuk mengubur orang-orang yang diduga sebagai  anggota Partai Komunis Indonesia yang telah  dieksekusi. Menurut saksi mata –orang penduduk sekitar hutan  yang mengetahui dan membawa lampu petromaks  ketika eksekusi itu dilakukan- tiga lubang sudah diisi dengan jenasah korban. Lubang pertama diisi 5 jenasah, lubang kedua juga 5 jenasah, sedangkan lubang  ketiga diisi 15 jenasah. Lubang keempat sampai ke tujuh masih dibiarkan menganga.
(6) Hutan Brati di Desa Brati, Kecamatan Kayen. Di hutan ini diperkirakan ada 35 korban pembunuhan yang dilakukan oleh tentara atas orang yang diduga anggota PKI.
(7) Hutan Panggang atau disebut juga Kretekabang Brati. (25 orang anggota PKI dieksekusi dalam satu lobang).
Hasil penelitian YPKP 65 Cabang  Pati menyimpulkan, ada  322 korban pembunuhan, penghilangan orang secara paksa yang dilakukan oleh aparat tentara, dengan modus operandinya,  memperalat orang-orang bayaran untuk dijadikan algojo terhadap orang yang dituduh anggota PKI maupun pendukung Sukarno Presiden pertama RI. Saksi pelaku siap memberi keterangan agar sejarah yang selama ini ditutup-tutupi bisa dibongkar. Saksi mendengar berondongan senjata di malam hari, dan keesokan harinya para penduduk di sekitar hutan  melihat ada mayat yang ditanam di dalam area perhutani.
Daftar saksi mau pun catatan hasil penelitian YPKP 65 Pati tersimpan di sekretariat YPKP 65 Pusat.
3.      NH. Atmoko YPKP 65 Wonosobo, melaporkan:
Penggalian kuburan massal di hutan Situkup, Dempes, Wonosobo pada akhir 1999 dan awal 2000 oleh YPKP 65 menemukan kerangka jenasah sebanyak 21 orang. Kerangka ini adalah berasal  dari jenasah  orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang telah dieksekusi di hutan tersebut. Informasi tentang dikuburkannya jenasah para korban 65 tersebut berasal dari seorang sipir penjara Wirogunan, Yogyakarta  tempat dimana para tapol tersebut disekap   sebelum diculik.
NH. Atmoko  mengisahkan catatan pribadinya ketika ia ditangkap, disiksa dan dipekerjakan sebagai budak di penjara Nusakambangan. Ia ditangkap pada November 1965 dan dibebaskan pada 20 Oktober 1969 hanya karena ia  pendukung setia Bung Karno dan sebagai anggota pengurus  PNI Ali-Surahman.  Selama dalam tahanan ia menyaksikan dan mengalami sendiri siksaan yang dilakukan para interogator militer terhadap para tahanan politik yang berjumlah ribuan orang. Ia juga menyaksikan betapa hampir tiap hari di penjara Nusakambangan  para tapol meninggal dunia karena kelaparan,  karena para tapol tidak diberi makan dan minum.
       “Meskipun aku secara  resmi menerima Surat Pembebasan yang menyatakan bahwa aku    
        tidak terlibat G30S nyatanya aku masih harus melaporkan diri seminggu dua kali di Kantor   
        CPM sampai 6 bulan lamanya. Dan di akhir laporan – aku harus datang sendiri di Markas
        Teperda di Semarang  untuk menerima Surat Bebas Lapor. Meskipun aku sudah menerima
        Surat Bebas Lapor dari Teperda di Semarang –nyatanya bertahun-tahun aku dilarang
        meninggalkan kotaku. Aku harus selalu berada di rumah dalam keadaan lapar. Setiap
        mencari pekerjaan, yang aku datangi menolak  karena takut kepada pemerintahan militer.
        Jawab mereka harus dengan Surat Keterangan Bebas  G30S/PKI. Mana mungkin!”
        Sepenggal kesaksian NH. Atmoko yang memperoleh perlakuan diskriminatif dari
        pemerintah orde baru rejim fasis militer, seperti yang  yang ditulis dalam catatan Synopsis
        bukunya. Kisa mengharukan ini telah dibukukan dengan judul Banjir darah di Kamp   
       Konsentrasi.
4.      Supomo Ketua YPKP 65 Boyolali
Di hadapan peserta diskusi, Supomo menceritakan penyiksaan dirinya dan beberapa Kawan di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Telinga kiri dan kanan diiris dengan menggunakan kelewang oleh para algojo atas sepengetahuan aparat militer.  Kepala bagian atas juga ditebas dengan kelewang, namun ia secara reflex bisa menghindar dan selamat sampai sekarang. Ia ditahan di bekas gedung bioskop bersama kira-kira 2000 tahanan politik, anggota PKI, BTI, Pemuda Rakyat, dll. Boyolali sebagai kota dimana mayoritas penduduknya adalah anggota PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Diperkirakan 20.000 kader anggota PKI dan anggota  organisasi massa pendukungnya menjadi korban pembunuhan massal tragedi kemanusiaan 1965/66 di Boyolali. Suwali Bupati Boyolali dan Siswowitono anggota DPRD Boyolali Fraksi PKI dibunuh tanpa proses hukum. Lokasi pembunuhan adalah di Kuburan Sonolayu, Kota Boyolali. Di kuburan massal  ini  diperkirakan 300 -500 orang anggota PKI yang dibunuh. Tempat ini  sering dikunjungi para pegiat HAM baik dari dalam mau pun luar negeri.
Tempat-tempat pembunuhan massal lainnya di daerah Boyolali antara lain di Ampel, Pengging, Ketaon, Pundung, Cepogo.
Ada kesaksian secara terpisah, oleh Ibu Endang Kustantinah. Ketika itu ia berumur 9 tahun  bermaksud pergi sekolah di desanya Jetis, Kragilan, Mojosongo, Boyolali. Namun, didapatinya pintu halaman  sekolah masih terkunci rapat. Tidak seperti biasanya. Nampaknya para guru tidak ada yang mengajar karena pada malam sebelumnya terjadi penangkapan, pengejaran orang-orang yang dituduh anggota PKI. Ketika ia pulang dari sekolah dengan berlarian, ia menjumpai kerumunan orang dengan menenteng penggalan kepala orang yang masih berlumuran darah. Sementara itu di sudut-sudut jalan di kampung yang ia laluinya terpasang penggalan kepala orang yang juga masih berlumuran darah untuk menakut-nakutinya. Naluri seorang bocah yang masih duduk di bangku SD kelas 3 itu, menangis. Ia mendengar hujatan orang-orang yang berkumpul di jalanan dengan memukuli orang-orang yang dianggap anggota PKI, dengan kedua tangannya diikat dengan menggunakan tali goni, sekujur tubuhnya berlumuran darah dari  bagian kepala. Yang lebih menakutkan lagi dalam hujatan kerumunan orang itu menyebut nama ayahnya yang dikenal di desa itu sebagai panutan warganya. “Hancurkan PKI, tangkap Siswowitono, Bunuh!!” Tentu saja, kejadian ini sungguh menakutkan. Sampai hari ini Endang Kustantinah selalu menangis bila mengingat kejadian masa itu, tidak bisa  bicara, seolah mulut tidak kuasa untuk bercerita.
(Untuk menyingkat, laporan dari berbagai cabang YPKP 65 akan dibuat secara terpisah di kesempatan lain:
5.      Norman AR YPKP 65 Sumatera Utara: Kisah Pembunuhan Massal di Sungai Ular, Kesaksian seorang Jagal yang dipaksa untuk membunuh para tahanan anggota PKI, BTI, hanya karena imbalan uang atau bila tidak melakukannya akan dibunuh.
6.      Handoko Ketua YPKP 65 Jawa Timur: Mengisahkan penyiksaan di penjara Kalisosok
       Surabaya dan menyaksikan terapung-apungnya mayat orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia  di Kali Brantas, dan Porong.
7.      Ngadi Suradi dan Wagiran Perwakilan Korban 65/YPKP 65 Kalimantan Timur dan Kutei Kartanegara : Kesaksian rekayasa untuk menahan anggota tentara yang dituduh ikut anggota Pemuda Rakyat. Kesaksian Tamil (Tahanan Militer) yang dipekerjakan secara paksa, menebang pohon raksasa dengan peralatan manual di hutan Argosari Kalimantan Timur. Hasilnya dimakan oleh penguasa.
8.      Ir. Djoko Sri Mulyono, mengisahkan suka dan duka menjadi tapol dari sejak ditangkap  sampai ke Pulau Buru dalam bukunya Banten Seabad sesudah Multatuli. Kalau di jaman kolonial Belanda rakyat Banten diperas oleh penguasa Belanda, kini di jaman Orde Baru Suharto, rakyat Banten dipaksa kerja rodi membangun jalan, jembatan tanpa diberi makan dan tanpa diupah.
9.      Suparno YPKP  65 Mojokerto, Jawa timur: Sebagai mantan anggota militer Batalion 530 ia dikirim ke Jakarta dalam keadaan siap tempur berdasar radiogram  Pangkostrad Mayjen Suharto. Namun akhirnya ia dilucuti dan ditahan. Ia meyakini PKI tidak bersalah dan tidak melakukan pemberontakan. Justru Suharto lah yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno.
10.  Bu Nadiani YPKP 65 Daerah Sumatera Barat:
            Menceritakan kesaksiannya sebagai seorang ibu yang ditinggal suaminya karena 
             ditahan. Bagi yang tidak dikenakan tahanan harus menyetor barang berupa kayu, batu, 
atau apapun, bahkan emas kepada Kodim setempat. Suka duka sebagai peneliti YPKP 65 menuruni jurang dan lembah. Menemukan bahwa umumnya korban 65 mengalami trauma berat. Ada seorang ibu beserta anaknya yang lari ke hutan untuk menyelamatkan diri dari kejaran tentara, selama 40 hari tidak makan nasi, hanya makan dedaunan. Mereka terpaksa bersembunyi di sebuah gua harimau. Namun, harimau tersebut justru bersahabat. Ia tidak menerkamnya. Pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh Komunis terjadi di Pesisir Selatan, Painan, Pariaman, Pasaman, Batusangkar, Solok serta di Lubukbasung. Lima penggalan kepala dijadikan tumbal dasar pembuatan jembatan/bendungan di daerah Lubuk basung. Potongan badannya dibuang di lembah Jurang  Kelok Dalam.
11.  Bu Marni Samin Anggota  Pengurus YPKP 65 Riau
Mengisahkan kesaksian seorang perempuan yang diperkosa oleh aparat militer.  Ketika itu seorang gadis anggota Gerwani berada di kapal tongkang pengangkut barang bersama  40 orang tapol yang hendak dibuang/dibunuh. Setelah para aparat melampiaskan nafsu bejatnya kepada seorang anggota Gerwani tersebut, salah seorang awak kapal ada yang bersimpati kepadanya untuk menurunkan sang gadis tersebut dengan menggunakan sekoci di laut agar terbebas dari korban kebiadaban militer. Namun, malang. Usahanya diketahui oleh aparat militer dan sang gadis dibunuh dengan tembakan  senapan. Begitu pula seluruh tapol yang berada di kapal dibunuh habis. Ini terjadi di dekat Pulau Babi di perairan Riau pada akhir 1965. Sayang sekali, saksi yang menceritakan ini telah meninggal dunia.
Catatan di akhir diskusi Interaktif, pelaporan dan kesaksian meski berakhir hampir larut malam, para peserta yang meskipun telah berusia lanjut  namun tetap bersemangat, bahkan  diselingi dengan humor-humor kocak serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan di era  1965, lagu-lagu LEKRA , Blonjo Wurung, Lagu Perjuangan Tani Bagi Hasil, dll.
Di hari ketiga 02 September 2013  pukul 08.00 – 14.00 Diskusi dilanjutkan dengan menyusun Rangkuman Hasil Diskusi, menyusun Agenda kerja ke depan,  membentuk Komite Persiapan International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation of 1965-66 Tragedy serta Konferensi Pers.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Menyadari kebuntuan atas penuntasan/penyelesaian Tragedi 1965-66 yang dilakukan Negara/pemerintah menyusul dikembalikannya Rekomendasi/berkas penyelidikan pro justisia Komnas HAM Republik Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM dianggap  kurang lengkap oleh karenanya tidak layak untuk ditindak lanjuti kepada penyidikan.  Tindakan Jaksa Agung yang mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM semakin mempertegas ketidak seriusan pemerintah, ketidakmauan dan ketidakmampuan pemerintah Republik Indonesia untuk menegakkan keadilan serta menjamin rasa aman bagi Korban. Sikap Jaksa Agung RI sangat jelas adalah ingin terus melanggengkan impunitas dan melindungi para pelaku/perpetrators  yang terlibat dalam aksi kekerasan/ kejahatan kemanusiaan tragedi 1965-66 yaitu: Pembunuhan massal, Penghilangan Orang secara Paksa, Perbudakan/Kerja Paksa, Pemerkosaan, Penyiksaan, Pemusnahan, Pengusiran atau Pemindahan  Orang secara Paksa, Perampasan Kemerdekaan/Perampasan Kebebasan Phisik, Penganiayaan/Pengejaran/Pe rsekusi terhadap orang/golongan yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia beserta simpatisannya, juga terhadap pengikut Bung Karno Presiden pertama RI.
Maka dengan ini:
1.      Kami, para Peserta Diskusi yang berjumlah 45 orang, merupakan perwakilan Korban 65/YPKP 65  maupun bertindak atas nama pribadi yang datang dari berbagai daerah/kota di seluruh Indonesia: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Timur, Kutei Kartanagara, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah,  dan Jawa Timur. Secara aklamasi mendukung untuk membawa kasus penyelesaian tragedi 1965-66 melalui mekanisme Internasional, antara lain: Menghadirkan  Special Reporteur  Komisi Dewan HAM PBB Geneva,  menggelar Mahkamah Internasional (Prakarsa Rakyat) untuk mengadili Kejahatan Kemanusiaan Tragedi Pelanggaran HAM Berat 1965-66 di Den Hag Negeri Belanda.
2.      Kami para Peserta Diskusi secara aklamasi membentuk Presidium Panitia (Komite) Persiapan Penyelenggaraan Mahkamah Internasional prakarsa Rakyat untuk Mengadili Kejahatan Kemanusiaan Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965-66 yang akan digelar di Den Hag  Negeri Belanda pada Oktober 2015. Presidium dipimpin oleh Bedjo Untung (Ketua YPKP 65) dan Ibu Haryati Panca Putri (Direktur LPH YAPHI).
3.      Komite selanjutnya akan melakukan persiapan untuk menuju ke terselenggaranya Mahkamah Internasional dengan melakukan sinergisitas dengan Kawan-Kawan Korban 65 di Luar Negeri,  Negeri Belanda, juga di negera-negara Eropa lainnya.
4.      Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan dengan para pakar hukum dalam dan luar negeri, para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum bertaraf Internasional untuk  mendukung digelarnya Mahkamah Internasional atas prakarsa Rakyat.
5.      Komite juga akan melakukan lobi kepada para pegiat HAM dalam dan luar negeri, melakukan kampanye kepada lembaga mau pun perorangan yang selama ini konsisten mendukung penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia.
6.      Komite juga akan melakukan pendekatan kepada Dewan HAM PBB untuk hadirkan Special Reporteur , selidiki Tragedi 1965/66.
7.      Komite juga akan melakukan lobi dan atau pendekatan kepada Negara-negara, Organisasi Non Pemerintah ICRC (Palang Merah Internasional), Amnesty internasional, atau pun  individual  yang pernah terlibat dalam pembebasan massal Tapol pada 1979.
8.      Komite juga akan melakukan verifikasi atas laporan/kesaksian para korban 65 sehingga sesuai dengan standar pelaporan PBB untuk dijadikan alat  bukti dalam Mahkamah  Internasional.
9.      Komite juga menyerukan kepada seluruh Korban 65 baik itu Korban langsung maupun tidak langsung, juga Keluarga Korban 65 yang tergabung dalam suatu Organisasi mau pun perorangan baik yang tinggal di Dalam Negeri mau pun yang bermukim di Luar Negeri  untuk bersatu padu berjuang bersama untuk menuju  cita-cita bersama, penegakan Hak Asasi Manusia, pemulihan Hak-Hak Korban, Pengungkapan Kebenaran, serta Keadilan dan Demokrasi bagi Korban.
Solo,  02 September 2013
PRESIDIUM
Komite Persiapan
International People’s Tribunal on Gross Humanitarian Violation
of 1965/66 Tragedy
Bedjo Untung                                                           Haryati Panca Putri
Ketua YPKP 65                                                           Direktur LPH YAPHI