Thursday 25 July 2013

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) mendukung SIARAN PERS YPKP/01/VII/2013

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/07/lembaga-pembela-korban-1965-lpk65.html
Diunduh dari Status FB Md Kartaprawira

Md Kartaprawira shared Bedjo Untung's status.
Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) mendukung SIARAN PERS YPKP/01/VII/2013 "HADIRKAN SPECIAL REPORTEUR KOMISI HAM PBB UNTUK TINJAU PELANGGARAN HAM 1965/66". 
Sungguh memalukan sekali penyelenggara negara RI yang tetap tutup mulut, telinga dan hati mengenai penuntasan kasus pelanggaran HAM berat - kejahatan kemanusiaan 1965/66, meskipun kasus tersebut sudah berjalan 47 tahun.
Bagaimana Negara RI bisa disebut Negara Hukum, kalau selama 47 tahun kasus kejahatan luar biasa tersebut sengaja dibiarkan tanpa proses hukum?
Kita para korban berhak mengingatkan dan menuntut hal tersebut kepada penyelenggara negara demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Dan dengan demikian sekaligus kita menunaikan kewajiban pelurusan sejarah yang perlu diketahui oleh generasi mendatang.
Di samping itu kami memandang perlu dan menganjurkan untuk mencermati pengalaman hebat Argentina dewasa ini yang berhasil menyeret ke pengadilan para jenderal , yang tersangkut dalam kejahatan HAM berat selama pemerintahan diktator jenderal Videla. Mereka cukup di adili dalam pengadilan nasional.

Salam perjuangan,

Lembaga Pembela Korban !965,
MD Kartaprawira, 24 Juli 2013 
SIARAN PERS
YPKP/01/VII/2013

HADIRKAN SPECIAL REPORTEUR KOMISI HAM PBB
UNTUK TINJAU PELANGGARAN HAM 1965/66 !!!

Satu tahun telah berlalu sejak Komnas HAM mengumumkan Rekomendasi/Hasil Penyelidikan pro yustisia atas Tragedi kemanusiaan/kekerasan politik 1965-1966 pada 23 Juli 2012, di mana dalam penyelidikannya itu sangat jelas terungkap bahwa ada indikasi/dugaan cukup meyakinkan bahwa ada keterlibatan aparat Negara, aparat militer, Kopkamtib, Laksus, Kodam, Kodim, Koramil perlu dimintai pertanggungan jawab atas terjadinya kekerasan, penangkapan, penahanan dan pembunuhan massal 1965/1966. Jaksa Agung diminta untuk melakukan penyidikan dan menggelar pengadilan HAM ad hoc serta melakukan terobosan untuk penuntasan penyelesaian atas Korban tragedi 1965 dengan mengembalikan hak-hak Korban 65 untuk memperoleh keadilan, rehabilitasi, kompensasi dan kebenaran.

Namun, rekomendasi Komnas HAM yang diharapkan sebagai pintu masuk untuk penyelesaian tragedi 1965/66 itu, ternyata tidak ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung. Berbagai dalih dilontarkan untuk mengganjal rekomendasi tersebut. Bahkan, Menkopolhukam Djoko Suyanto berupaya membela para pelaku kejahatan kemanusiaan dengan tidak merespon terbentuknya pengadilan HAM ad hoc. Tindakan lembaga Negara Kejaksaan agung maupun Kemenpolhukam tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya melanggengkan impunitas dan melecehkan upaya penegakan HAM serta bukti bahwa Negara/ Pemerintah RI tidak serius dan tidak mampu dalam hal menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965/66.

Dalam upaya untuk ikut mencerdaskan bangsa dan meningkatkan harga diri serta martabat bangsa yang terpuruk akibat citra buruk Republik Indonesia sebagai Negara yang tidak menghormati HAM dan Demokrasi, maka dengan ini YPKP 65 mendesak:

1. Kejaksaan Agung harus segera menindak lanjuti hasil temuan Tim Investigasi Komnas
HAM dan segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para
pelaku/penjahat HAM agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi Korban.
2. Presiden Republik Indonesia segera menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres)
untuk memberikan rehabilitasi, reparasi dan kompensasi kepada Korban 65 seperti
yang diamanatkan Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta Surat Rekomendasi Ketua
Komnas HAM, Mahkamah Agung, Ketua DPR-RI.
3. Negara/Pemerintah Republik Indonesia agar menjamin tidak akan mengulangi lagi tindak kejahatan/pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi pada kasus Tragedi Kemanusiaan 1965/66.
4. Presiden RI atas nama Negara segera melakukan permintan maaf kepada Korban pelanggaran HAM sebagai pintu masuk untuk menuju pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh.
5. Komnas HAM segera melakukan Investigasi/ Pencatatan/Pemberkasan Berita Acara Korban 65 di seluruh Indonesia dan menerbitkan rekomendasi agar Korban pelanggaran HAM berat 1965/66 memperoleh pelayanan medis/psikososial LPSK (Lembaga perlindungan saksi dan Korban) serta rehabilitasi.
6. Apabila penyelesaian melalui mekanisme hukum dalam negeri mengalami jalan buntu, YPKP 65 tidak menutup kemungkinan/ sedang mempersiapkan untuk mengadukan dan melaporkan ke jalur Internasional: melaporkan ke Dewan HAM PBB, UNWGEID, Organisasi-Organisasi kemanusiaan Internasional, ICC, ICRC, Amnesty Internasional, dll.
7. Perlu menghadirkan Special Reporteur Komisi HAM PBB agar mengetahui/mendengar secara langsung adanya tindak kejahatan pelanggaran HAM tragedi 1965/66 di Indonesia dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap para penjahat HAM.
Demikian Siaran Pers/Pernyataan Sikap ini kami umumkan agar khalayak ramai mengetahuinya.
Terima kasih atas perhatiannya.

Jakarta 23 Juli 2013

Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966 (YPKP 65)
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Tambahan Berita Negara RI Nomor 45 tanggal 5 Juni 2007 , PENGURUS PUSAT
Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia no. 21 Kp. Warung Mangga,RT 01 RW 02
Panunggangan , Kecamatan Pinang, Kab/Kota Tangerang 15143
Banten,INDONESIA Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-531217, E-mail ypkp_1965@yahoo.com; beejew01@yahoo.co.uk

Tuesday 23 July 2013

Peristiwa 1965/1966, Masuk Daftar Panjang

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/07/peristiwa-19651966-masuk-daftar-panjang.html
Peristiwa 1965/1966, Masuk Daftar Panjang 
Peti Es Kasus Pelanggaran HAM Berat di Kejaksaan Agung

Pada 23 Juli 2013 ini, tepat satu tahun Komnas HAM mengeluarkan laporan hasil penyelidikan pro justisia untuk peristiwa 1965/1966. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965/1966. Dua rekomendasi pun disampaikan dalam laporan tersebut, yakni meminta Jaksa Agung melakukan penyidikan dan hasil penyelidikan tersebut dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non judisial (KKR).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri kemudian merespon laporan Komnas HAM tersebut dengan menginstruksikan Basrief Arif selaku Jaksa Agung untuk segera mempelajari rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966. Jaksa Agung saat itu menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan mempelajari laporan tersebut dalam waktu satu bulan.

Kini satu tahun telah berlalu, Jaksa Agung masih belum juga menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Ketidaklengkapan laporan penyelidikan dan belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad hoc dijadikan alasan pembenar bagi Jaksa Agung untuk tidak menyelesaikan tanggung jawabnya melakukan penyidikan. Sesungguhnya argumentasi ini tidak mendasar, karena, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dinyatakan bahwa “meski pembentukan pengadilan HAM Ad hoc memerlukan keterlibatan DPR tetapi tetap harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang”. Sehingga dalam hal ini, seharusnya Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.

Pengabaian Jaksa Agung tersebut menambah daftar panjang deretan kasus pelanggaran HAM berat yang prosesnya masih menggantung di Kejaksaan Agung hingga kini. Pengabaian juga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi korban maupun keluarga korban peristiwa 1965/1966 yang hingga kini masih terus menanti keadilan yang mereka perjuangkan lebih dari 47 tahun lamanya. Berbagai diskriminasi terus dialami para korban hingga akhir hayatnya. Tidak hanya itu, pengucilan, ketiadaan akses bagi anak cucu korban untuk melanjutkan pendidikan, pelayanan kesehatan dan memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil masih berlangsung hingga kini.

Untuk itu kami mendesak, Pertama, kepada Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM  dengan memanggil para saksi maupun tersangka yang masih hidup. Kedua, agar Presiden bersama DPR segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc sehingga tidak ada alasan lagi bagi Jaksa Agung untuk menunda melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan Komnas HAM.Ketiga, agar Presiden segera mengambil langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi para korban peristiwa 1965/1966.

Jakarta, 23 Juli 2013
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Korban dan Keluarga Korban Peristiwa 1965/1966



Sebagai tambahan silahkan baca:

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2012/10/melawan-lupa-menegakkan-kebenaran-dan.html
MELAWAN LUPA, MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN
(Sambutan pada Peringatan Tragedi Nasional 1965-66, di Diemen , Nederland, tgl. 07 Oktober 2012)
Terima kasih,
Pengelola "Weblog Lembaga Pembela Korban 1965".

Saturday 6 July 2013

Suharto Pahlawan?

http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/07/suharto-pahlawan.html

Jawaban untuk Museum Suharto

by Hersri Setiawan (Notes) on Saturday, July 6, 2013 at 4:45am

Suharto Pahlawan?
Inilah jawaban saya terhadap ‘Museum Suharto’

untuk Ita Fatia Nadia, Syafiatudina, Antariksa dan kawan-kawan
  
Sampai sekarang masih saja ada sementara orang yang berbicara dan bahkan mengusulkan agar Suharto direhabilitasi dan bahkan diberi gelar pahlawan! Di sekitar hari-hari terakhir hayatnya ada suara-suara agar dia diampuni dari segala dosa-dosanya, dan dihentikan proses pemeriksaan dan pengadilan terhadapnya. Terlebih-lebih lagi pada waktu akhir-akhir ini telah diresmikan monumen Suharto, berikut museum, di daerah Bantul di desa Kemusuk tempat kelahirannya. Artikel di bawah ini jawaban saya terhadapnya, juga terhadap ‘Suharto Centre’ yang konon akan berdiri di bekas tempat Hotel Tugu, di sebelah utara jalan lintas kereta api Yogya – Solo,

Ketika itu, sekitar Januari 2008, di antara berbagai pertimbangan atau alasan mereka ialah berdasarkan ‘keadilan dan kemanusiaan’ karena Suharto sudah ‘lanjut usia’ (84 tahun), dan ‘sakit parah’ sehingga tidak bisa diajukan di depan pengadilan. Adapun sekarang, sesudah ia meninggal, orang-orang yang mengusulkan pengampunan terhadap kesalahan Suharto didasari atas alasan ‘jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa’ sebagai presiden dan ‘bapak pembangunan’. Sedangkan bagi sementara orang yang menganjurkan penghargaan dan penghormatan sebagai pahlawan, mengingat bahwa ia ‘telah menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya PKI dan telah menghancurkan kediktatoran Bung Karno’. Apalagi sehubungan dengan semuanya itu, keluarga Suharto, lewat pernyataan anaknya yang bernama Siti Hediati (Titik), juga sudah menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Indonesia atas kesalahan yang telah diperbuat ayahnya di masa lalu.

          Menghadapi suara-suara atau usul-usul seperti itu, seyogianya kita semua mengingat kembali sejauh mungkin tentang sepak-terjang diktatur-militer Suharto di masa lalu. Namun segala usaha dan cara atau jalan apa pun, yang hendak ditempuh dalam menyikapi peran sejarah Suharto ini, di atas segala-galanya harus berdasar pada keadilan dan  kemanusiaan. Keadilan dan kemanusiaan bagi Suharto an sich, tetapi juga keadilan dan kemanusiaan terutama bagi orang banyak, tegasnya: bagi seluruh bangsa atau rakyat Indonesia. Sebab, persoalan Suharto bukanlah hanya persoalan pribadinya saja, dan bukan pula terbatas urusan keluarganya saja. Persoalan Suharto mempunyai hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan dengan berbagai masalah besar bangsa dan negara kita.

Untuk bisa secara jujur, atau secara objektif, atau secara adil --  dan dengan pikiran yang jernih atau nalar yang sehat – dalam menilai kepemimpinan Suharto selama 32 tahun mengendalikan rejim militer Orde Baru, maka kita perlu menengok kembali pada apa yang telah dilakukannya bagi bangsa dan negara, baik di  bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, maupun juga di bidang hak-hak asasi manusia. Dengan mencermati dan berusaha menelaah baik-baik secara menyeluruh atas segala tindakan dan perbuatannya di bidang-bidang tersebut, mari kita berusaha berbicara dengan terus-terang, jujur dan adil, dalam memberikan penilaian tentang persoalan Suharto. Namun, karena luasnya ‘persoalan Suharto’ itu sama luasnya dengan persoalan sejarah bangsa sepanjang 32 tahun, maka tulisan di bawah ini hanya membatasi diri di dalam kerangka masalah keadilan dan kemanusiaan, yang dihubungkan dengan masalah Suharto dan rakyat atau bangsa.

          Akhir-akhir ini, dalam pembicaraan khalayak ramai sekitar persoalan Suharto, yang banyak dan sering disebut-sebut ialah soal keadilan dan kemanusiaan. Ada orang-orang yang mengangkat soal keadilan dan kemanusiaan (atau perikemanusiaan)  ini dengan maksud baik atau tujuan luhur, namun kita sama-sama melihat juga adanya mereka yang bicara soal keadilan dan perikemanusiaan ini hanya demi membela kepentingan Suharto, keluarganya dan kroni-kroninya. Maka sejatinya mereka yang membela kepentingan Suharto ini ujung-ujungnya tidak lain dengan tujuan untuk membela kepentingan mereka sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat banyak. 

Ketidak-adilan di bidang politik.

Kiranya, kita semua perlu ingat bahwa selama 32 tahun Suharto telah banyak melanggar atau merusak keadilan di bidang politik. Entah berapa banyak orang dari berbagai kalangan yang telah menjadi korban dari ketidak-adilan Suharto di bidang politik ini. Rejim militer Orde Baru yang, atas nama demokrasi, telah membunuh demokrasi selama puluhan tahun itu, telah menimbulkan banyak ketidak-adilan di bidang politik.
Pemilu yang diadakan berkali-kali, yang pernah disebut dengan gagah sebagai ‘pesta demokrasi’, sejatinya merupakan tontonan terbuka yang tak tahu malu terhadap puncak lakon ketidak-adilan politik ini. Dalam pemilu yang berulangkali itu, kekuasaan militer telah memainkan peran yang sangat besar (dan notabene juga sangat kotor!), sehingga Golkar selalu menang dengan angka sekitar 70% suara. Sebagai akibatnya, DPR yang dihasilkan oleh pemilu yang berkali-kali itu, tidaklah lebih dari perwakilan dari ketidak-adilan ini. Selama Orde Baru berkuasa sepanjang 32 tahun, pemerintahan di bawah Suharto tidak hanya mencerminkan ketidak-adilan dalam politik, melainkan juga kekuasaan yang otoriter atau despotik.
Bung Karno beserta para pendukungnya, yang berjumlah puluhan juta, diperlakukan tidak adil secara besar-besaran, dan dalam bentuknya yang macam-macam pula. Dalam rangka politik ‘de-Soekarnoisasi’,  maka terhadap segala yang ‘berbau Soekarno’ disingkirkan atau dibasmi. Keadilan dalam politik tidak berlaku bagi para pendukung setia Bung Karno. 

            Seperti yang masih kita saksikan akibatnya sampai sekarang, di mana-mana di Indonesia, ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian yang paling mencolok berupa tindakan Suharto dengan rejim militernya terhadap para anggota atau yang dituduh sebagai anggota PKI atau orang-orang dari golongan kiri. Sejatinya penguasa rejim militer tentu tahu, bahwa mereka yang menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian selama puluhan tahun itu samasekali tidak bersalah apa-apa. Jika untuk jumlah korban mati di seluruh Jawa dan Bali saja Jendral Sarwo Edhi Wibowo dengan enteng bisa menyebut angka 3,5 (baca: tigasetengah juta) jiwa, perkirakanlah berapa juta jiwa angka untuk seluruh Indonesia. Jika setiap korban yang telah berkeluarga meninggalkan tiga atau empat anggota keluarga saja, lalu menjadi berapa juta orang yang telah dijadikan tumbal untuk ‘pembangunan’ rejim militer Orde Baru itu!?

 Ketidak-adilan di bidang ekonomi 

Ketidak-adilan di bidang  ekonomi adalah ciri pemerintahan di bawah Suharto yang sangat terang-benderang. Boleh dikatakan, bahwa rejim militer Orde Baru pada hakikatnya merupakan manifestasi yang amat terang, atau perwujudan yang kongkret, dari ketidak-adilan di bidang ekonomi ini. Sebagian kecil sekali dari masyarakat, yang terdiri dari para pejabat negara, jenderal dan perwira tinggi, konglomerat hitam, dan ‘tokoh-tokoh’ dari berbagai kalangan, menikmati kekayaan (yang haram!) secara berlimpah-limpah. Sedangkan sebagian terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan yang sangat parah.

Dalam kaitan dengan ketidak-adilan di bidang ekonomi ini, Suharto beserta keluarganya merupakan kasus yang istimewa. Melalui penyalahgunaan kekuasaan yang luar biasa besarnya sebagai penguasa tertinggi rejim militer, Suharto telah menjalankan KKN yang paling besar dan paling luas, yang memungkinkan baginya dan para kroninya untuk menumpuk kekayaan melalui cara-cara (saya pakai terminologi  yang paling dekat dengan vokabuler rohani mereka) ‘haram’ dan ‘bathil’.  Suharto (dan keluarganya) adalah simbol ‘gilang-gemilang’ dan mencolok dari ketidak-adilan dan kejahatan di bidang ekonomi. Suharto bukan saja koruptor yang paling besar dan paling lihai di Indonesia, melainkan juga -- menurut Transparency International Indonesia – “koruptor kelas kakap di dunia”.

           ‘Jalur-jalur pemerataan kesejahteraan’ yang pernah digembar-gemborkan bertahun-tahun oleh rejim militer Suharto ternyata sekarang bukan saja slogan palsu, melainkan juga topeng untuk menutupi kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan di bidang ekonomi yang dilakukan olehnya beserta pendukung-pendukung setianya, baik dari kalangan militer, maupun dari kalangan sipil dan pengusaha besar.

 Ketidak-adilan di bidang sosial 

Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah selebar atau separah selama di bawah pemerintahan Suharto, dan selama masa-masa selanjutnya sampai sekarang. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan menganga lebar sekali. ‘Masyarakat adil dan makmur’ yang pernah menjadi slogan dan idam-idaman rakyat, dan merupakan (meminjam istilah Bung Karno) ‘leitstar’ atau bintang-pembimbing selama pemerintahan berada di bawah kepemimpinan Bung Karno, telah menjadi semakin jauh selama jaman Suharto dan jaman sekarang sebagai warisannya. Jiwa ‘gotong-royong’ pun, yang diyakini sebagai hakikat pandangan-hidup Indonesia, dan sebagai intisari dari Pantja Sila, telah dicampakkan oleh rejim militer Suharto. Semboyan Orde Baru hendak melaksanakan ‘Pancasila secara murni dan konsekuen’ tidak lain adalah kata-kata pasemon, bahwa Pantja Sila 1 Juni 1945 sudah dibunuh dan digantikan oleh semboyan kaum fasis militer yang kosong itu! 

            Ketika menghuni sel-sel di RTC Salemba Jakarta, misalnya, dari Komandan Kamp Lettu CPM Marjuki, kami para tapol semuanya pernah diperintahkan untuk membentuk ‘kelompok-kelompok studi Pancasila’. Kepada kami diberi ‘kesempatan luas’ untuk mendiskusikan sila-sila Pancasila, yang terlepas dari (sekali lagi: terlepas dari) Pantja Sila menurut uraian Ir. Soekarno maupun Mr. Moh. Yamin!
Istilah ‘Keadilan Sosial’, bagi para penguasa Orde Baru beserta pendukung-pendukung setianya, justru dipandang sebagai suatu hal yang berbau kiri dan bahkan ‘komunis’! Karena itu ‘Keadilan Sosial’ sekarang telah hapus dari perbendaharaan ‘bahasa kenegaraan’. Menjadi termasuk ‘bahasa tabu’ seperti halnya kata ‘Marhaen’ dan, apalagi, ‘Nasakom’ dan sangat banyak lagi lain-lainnya.  

           Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di era Soekarno telah dihidup-hidupkan kembali dan dipupuk-suburkan oleh Suharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya. Bukankah ‘tradisi  Indonesia baru’ ber-open-house yang dihias dengan pembagian ‘amplop’ – yang marak dilakukan oleh para pembesar negeri kita sekarang ini – merupakan pelestarian dari ‘tradisi udhik-udhik’ oleh para raja di Jawa di jaman lalu? Senang melihat kaula negerinya yang miskin merana, melata-lata dan berebut ‘tuah’ dari sang Penguasa, yang pamer akan kedermawanan? Terlalu banyak contoh ada di sekeliling kita: lihatlah acara tayangan televisi: lakon-lakon sinetron dan film dan lain-lain, yang justru mencari daya-tarik melalui kisah-kisah hantu, ketakhayulan, mengeksploitasi tubuh perempuan, dan lain-lain lagi semacamnya.

         Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang lainnya, yang merupakan jurang pemisah antar-kelompok dan antar-golongan yang semakin menajam. Jumlah pengangguran yang 40 juta orang lebih sekarang ini adalah akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial – warisan dari rejim militer Orde Baru Suharto, dan yang – setelah sejurus diputus oleh kebangkitan ‘Semangat Reformasi’ – kemudian kembali diteruskan – atau setidaknya dibiarkan tak tersentuh – setidaknya sepanjang sekitar dasawarsa terakhir.

Yang ditunggu-tunggu rakyat ialah ‘sentuhan’ dengan tindakan, dan bukan sekedar berhenti pada ngomong besar di lembaga-lembaga resmi, wacana melalui penampilan citra, dan penyusunan undang-undang atau regulasi. Semuanya ini tidak urung menjadi sekedar semacam asesori untuk pemerintah yang meng-klaim diri sebagai pemerintah demokratis! 

 Ketidak-adilan di bidang HAM  

 Perlu kiranya terus-menerus diingat oleh bangsa kita bahwa rejim militer Suharto cum suis dibangun  dan ditegakkan di atas tumpukan mayat dan genangan darah berjuta-juta orang tidak bersalah, yang telah dibantai dengan sewenang-wenang oleh aparat militer dan kakitangan mereka di bawah perintah Suharto, Sang Maharaja Jawa. Kebiadaban ini perlu dicatat dalam sejarah bangsa kita dengan huruf-huruf tebal dan jelas, sehingga anak cucu kita bisa menarik pelajaran dari kesalahan dan dosa besar Suharto dan para pendukungnya itu. 

          Pembunuhan  atas begitu banyak warga sesama bangsa, dan ditambah lagi dengan pemenjaraan, penahanan dan pengasingan ratusan ribu orang lainnya dalam jangka waktu tak berbatas dan tanpa proses pengadilan, adalah bukti yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun, tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh Suharto dan pendukung-pendukungnya. Sampai sekarang pun saksi dan bukti masih bisa ditemukan di sana dan di sini di seluruh negeri. Datanglah ke kuburan massal di Wonosobo, ‘luweng’ pembuangan mayat di Gunung Kidul, dan ke Pulau Buru. Lihatlah di pulau yang dahulu diberi sebutan oleh rejim sebagai ‘Pulau Harapan’ ini, kuburan sekian ratus orang tapol yang terserak di seluruh unit-unit Tefaat Pulau Buru. Baca dan camkanlah istilah berupa sepotong akronim ‘tefaat’ itu sendiri! ‘Tefaat’ ialah ‘tempat pemanfaatan’! Apa dan siapa yang dimanfaatkan di sana? Mereka yang disebut sebagai tapol, tahanan politik (sic!), yang oleh rejim militer telah diubah menjadi hewan pekerja belaka!

          Ketidak-adilan di bidang HAM ini juga dialami oleh berpuluh juta orang keluarga (anak, istri, suami, bapak ibu atau saudara-saudara dekat) para korban pembantaian tahun ‘65 dan tahun-tahun berikutnya, terhadap keluarga para eks-tapol, yang sampai sekarang – silakan catat: sesudah hampir 50 tahun! – masih menghadapi berbagai rambu-rambu sosial-politik  -- lebih luas lagi, mengikuti jargon rejim Suharto, rambu-rambu ipoleksosbud – sebagai akibat diberlakukannya stigmatisasi dan peraturan-peraturan ikutannya yang represif. 

          Kejahatan terhadap HAM memang merupakan ciri utama rejim militer Orde Baru. Peristiwa terbunuhnya sejumlah mahasiswa di Semanggi, hilangnya anak-anak muda PRD, dibunuhnya buruh perempuan Marsinah dan seorang pejuang HAM Munir, adalah sebagian kecil saja dari rentetan panjang kejahatan rejim yang tidak pernah diakui di depan publik sampai sekarang. 
Maka jelaslah kiranya, bahwa bagi mereka yang masih mempunyai kepekaan untuk mendengarkan bisikan hati-nurani sendiri, dan dengan demikian akan merasa peduli terhadap rasa keadilan dan rasa kemanusiaan, mereka pasti tidak akan sanggup melupakan tragedi masalalu. Juga mereka pasti tidak akan berbicara tentang – dan apalagi menuntut  untuk – memberi permaafan kepada mereka yang bertanggung-jawab atas terjadinya tragedi masalalu tersebut, dalam kaitan ini pertama-tama dan terutama ialah Jenderal Suharto. Kepada siapa dan tentang apa permaafan harus diberikan, jika si pelaku kejahatan sampai sekarang tidak pernah mau tampil di depan publik dan menuturkan kisah perbuatan mereka di masa lalu? Bukan korban yang seharusnya dituntut untuk memberi permaafan, tapi si pelaku kejahatanlah yang harus dituntut untuk mengucapkan ‘pengakuan dosa’ mereka!

Bahwa sekarang anak-cucu dari kedua belah pihak, pihak korban di satu pihak dan pihak pelaku (pembunuhan) di pihak lain, pada saling berangkulan – bahkan mau berpacaran sekalipun! – silakanlah dan itu boleh-boleh saja dan ‘baik-baik’ saja (‘baik’ untuk siapa?). Tapi bayangkanlah, bagaimana dengan korban-korban yang tidak punya akses berdekatan dengan anak-cucu para jamhur? Lebih dari itu, korban-korban yang sudah lenyap menyatu dalam tanah!? Bisakah mereka itu kita lupakan, dan kita lupakan tindak kejahatan yang telah menimpa mereka?

            Kejahatan Suharto dan kroninya bukan kejahatan yang bersifat perseorangan dan terjadi tanpa sengaja (not by act). Kejahatan itu kejahatan terhadap sejarah. Maka tidak akan ada gunanya permaafan diberikan secara antar-individu – berapa juta orang harus memberikan kata-kata permaafan mereka kepadanya? Biarkanlah Suharto pribadi dan pengikut-pengikutnya itu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka kepada Tuhan seru sekalian alam di akhirat, dan biarkanlah Sejarah memberikan neraca perhitungan atas perilaku Suharto dan para pengikutnya itu di dunia fana – kalaupun belum bisa sekarang, saya yakin ada suatu hari ketika Mahkamah Sejarah akan bisa menegakkan keadilannya.

Pe-er kita bersama

Kejahatan HAM pada hakikatnya adalah kejahatan Kemanusiaan. Dan kejahatan Kemanusiaan tentu saja, dalam praktiknya, adalah kejahatan Sejarah. Maka jika anak-judul di atas ada dua kata ‘kita bersama’, tentulah tidak bersama dengan mereka-mereka yang anti-HAM, mereka-mereka yang anti-Kemanusiaan, dan mereka-mereka yang anti-Sejarah – apa pun dalil dan dalih mereka.

            Kejahatan HAM telah terjadi, atau dilakukan, secara sistematis. Maka butir pertama pe-er kita bersama ialah, melakukan kampanye penegakan HAM secara sistematis pula. Terutama di tengah masyarakat Indonesia yang sebenarnya, kecuali satu-dua hari saja sesudah gerakan Reformasi berhasil menumbangkan Suharto, belum pernah terbebas samasekali dari praktik kekuasaan dan budaya otoritarianisme rejim Suharto. Maka kita tidak usah heran jika setiap bentuk aksi pembelaan terhadap HAM, oleh sekelompok masyarakat tertentu ditengarai, ditindak dan ditindas sebagai ‘gerakan kiri’ dan bahkan ‘gerakan komunis’. ‘Peristiwa Banyuwangi’ yang terjadi beberapa  waktu lalu ini, yang menimpa dua tokoh perempuan anggota DPR – Ribka Tjiptaning dan Rieke Pitaloka – kiranya cukup menjadi contoh jelas-jemelas. 
            Butir kedua pe-er kita bersama ialah gerakan penyadaran masyarakat, agar HAM jangan diidentikkan dengan ‘hantu komunis’. Tapi di samping itu juga jangan sekedar diwacanakan sebagai jampi-jampi pelengkap asesori ‘negara demokrasi’. Mengapa? Karena HAM bukanlah berupa setumpuk ‘nilai jadi’ yang dibebankan atau di-imposed dari atas. HAM ialah nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita gugah dan bangkitkan dari bawah – dari tengah-tengah haribaan Manusia, bukan dari mejakerja dan corong-corong para penguasa. 
HAM harus kita kembangkan, ini butir ketiga pe-er kita bersama, demi kepentingan the powerless atau kaum duafa, dan bukan demi kepentingan the powerfull atau kaum penguasa.

Adapun butir pe-er kita bersama ke depan ialah menegakkan secara konsekuen hukum keadilan. Hukum keadilan harus dijatuhkan kepada barangsiapa saja yang bersalah. Karena hukum keadilan itulah wujud sejati dari ‘permaafan’ yang kita bicarakan di atas. Jika hukum keadilan tidak ditegakkan secara konsekuen, maka akibatnya si Salah akan dibiarkan melenggang bebas, atau divonis sekian tahun lalu, dengan segala dalih dan dalil, segera diberi grasi atau remisi. Vonis model pengadilan kanguru! Itu berarti, bahwa orang-banyak atau masyarakat, khususnya yang diposisikan sebagai korban, dipaksa sedemikian rupa agar mereka melupakan masa lalu. Melupakan Sejarah!
Hanya dengan penegakan secara konsekuen hukum keadilan, akan terbangun pergaulan hidup rukun dan damai yang berlandaskan keadilan, dan bukan berlandaskan keputusan pengadilan – apalagi keputusan pengadilan kanguru! Keadilan atau justice merupakan konsep yang jauh lebih luas dan mendasarketimbang pengadilan atau law.

         Walhasil, menjadi agenda kita bersama ialah membangun kesadaran budaya dan kesadaran politik bersama, melalui jalan gerakan penyadaran sejarah. Gerakan penyadaran sejarah. Dan gerakan ini bisa ditempuh terutama melalui, antara lain, penggalakan sejarah lisan.

          Dengan melalui jalan sejarah lisan ‘ruang’ yang selapang-lapangnya harus diberikan kepada para korban-sejarah dan saksi-sejarah, agar mereka bisa menuturkan pengalaman dan kesaksian masing-masing.

Akhirulkalam:  Apakah Suharto dan semua penjahat kemanusiaan lainnya, harus dimaafkan? Jawaban saya satu: Tegakkan Hukum Keadilan!
Apakah Suharto dan semua penjahat kemanusiaan patut diberi gelar pahlawan bangsa? Jawaban saya tegas: Pahlawan Bangsa Indonesia jelas tidak! Pahlawan Dajal Nasional sangat patut!***    

Sumber: Facebook Md Kartaprawira  www.facebook.com/md.kartaprawira