Monday 20 May 2013

Tak Lelah Berjuang Bersama Korban Pelanggaran HAM


Tak Lelah Berjuang Bersama Korban Pelanggaran HAM
Nofanolo Zagoto | Sabtu, 18 Mei 2013 - 12:52:17 WIB
 

(SH/Muniroh)
Di tengah lelah, perjuangan melawan lupa tetap harus dilakukan.

"Saya akan terus berjuang bersama korban", kata Mugiyanto Sipin. Begitulah pria kelahiran 2 November 1973 itu memastikan komitmennya untuk tetap membantu korban penculikan dan keluarganya, meski satu persatu teman-temannya dilihatnya telah tergiur bergabung bersama partai politik.
Komitmen itu terlontar lantaran ia melihat masih banyak yang harus diperjuangkan terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, termasuk pencegahannya agar tak lagi terulang di masa mendatang.
Di mata Mugiyanto, apa yang terjadi di masa 15 tahun setelah peristiwa reformasi di tahun 1998 masih jauh dari harapan ketika melihat tindakan-tindakan yang seharusnya pemerintah lakukan terkait pelanggaran HAM. “Bagaimana pun tujuan reformasi mengsyaratkan kalau problem-problem masa lalu dapat terselesaikan,” begitu ujarnya.
Memang pada masa pemerintahan presiden Gus Dur dan Megawati, sempat ada tindakan pengadilan terhadap pelanggaran HAM. Ia mencontohkan seperti pelanggaran yang terjadi Timtim tahun 1999. Hanya saja, kata Mugiyanto, pada periode itu pun sebetulnya tidak berbuah hasil karena semuanya dibebaskan dan para korban tidak mendapatkan hak-hak mereka seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi.
“Ironisnya kegagalan itu berlanjut dan paling terasa pada pemerintahan sekarang yang berlangsung dalam dua periode. Sama sekali tidak ada pengadilan pelanggaran HAM, jadi kesannya malah mundur,” ucap Mugiyanto. Belum lagi, dijelaskannya, soal niat untuk menghidupkan kembali UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), dulu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MA) pada tahun 2006, yang nyatanya masih mengambang.
Biarpun masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berakhir pada tahun 2014 nanti, Mugiyanto masih menyimpan sebuah harapan. Diharapkannya presiden SBY setidaknya mau membuat landasan politik penyelesaian. Misalnya, membentuk komite kepresidenan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Harapan Ratifikasi
Perjuangan agar semua kasus dapat terselesaikan memang melelahkan buatnya dan teman-teman seperjuangan yang lain. Sebab selain harus mengawal kasus HAM yang belum terselesaikan, seiring berjalannya waktu mereka terus menerus harus mencari metode melawan lupa dari pelbagai pihak, termasuk pemerintah.
“Ini harus diselesaikan, karena bila tidak, bisa jadi kita atau siapa pun yang dapat menjadi korban berikutnya,” ungkap ayah dari Mentari Malahayati dan Kirana Luna Nauli tersebut.
Nah sebagai jaminan agar pelanggaran HAM itu tidak terjadi lagi di masa mendatang, Mugiyanto menjelaskan harus ada tindakan pemerintah untuk melakukan proses adopsi atau meratifikasi Statuta Roma yang merupakan dasar pendirian bagi Mahkamah Kejahatan Internasional atau International Criminal Court (ICC).
Kasus-kasus pelanggaran HAM dijelaskan Mugiyanto, yang merupakan ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) itu, harus selesai karena peristiwa yang dialami para korban berdampak serius dalam kehidupan mereka.
Masalah-masalah itu terjadi pada rusaknya mental, ekonomi hingga fisik para korban. Lantaran melihat kenyataan itulah Mugiyanto mengaku tidaklah adil melihat mereka harus berjuang sendirian, apalagi ia juga pernah merasakan jadi korban penculikan pada tahun 1998.
“Saat ini, saya merasa kalau hidup saya ini adalah hidup yang kedua. Dulu ketika disiksa, lalu mata ditutup, saya merasa sudah mati, tapi ternyata masih hidup. Jadi saya merasa ini merupakan hidup kedua yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya merasa dekat dengan keluarga korban, seperti mbak Sipon,” begitu pria yang dulu menempuh pendidikan sastra Inggris di Univesitas Gajah Mada (UGM) angkatan tahun 1992 itu.
Mugiyanto mengaku berjuang bersama IKOHI memang tidak ada keuntungan material. Meski begitu ia juga tak tertarik masuk dunia politik mengikuti jejak beberapa teman seperjuangannya di tahun 1998. Ia mau berjuang karena merasa kadung dekat dengan mereka, para korban.
“Saya ini tidak punya mimpi mewah-mewah. Saya ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak sejak dulu mengajarkan kesederhanaan. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan negara di Jepara selalu bilang intinya manusia itu harus berbuat baik untuk sesama,” katanya.
Sumber : Sinar Harapan

Saturday 18 May 2013

15 Tahun Reformasi, Apa Kabar Kasus HAM?


 
15 Tahun Reformasi, Apa Kabar Kasus HAM?
Ninuk Cucu Suwanti | Senin, 13 Mei 2013 - 14:52:38 WIB
 

(Foto:dok/ist)
Insiden Trisakti 1998.
Berkas kasus Trisakti dan Semanggi sudah tujuh kali bolak-balik Komnas HAM-Kejaksaan Agung.

Pada peristiwa Mei 1998, seluruh Indonesia membuka rezim baru. Reformasi lahir. Hal itu ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto setelah berkuasa hampir 32 tahun. Era reformasi tidak muncul dengan sendirinya, tapi melalui perjuangan panjang. 

Ada harga yang mahal dan harus dibayar untuk sebuah tekad reformasi. Menurut data yang ada, dari beberapa lokasi kejadian di Jakarta, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 293 orang meninggal dunia, 1.334 bangunan, 1.009 kendaraan roda empat dan 205 kendaraan roda dua rusak dibakar. Di Solo, pada 14-15 Mei 1998 mengakibatkan 19 orang meninggal dunia, 694 bangunan dan 324 kendaraan bermotor rusak dibakar. Kemudian di Palembang, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 1.232 bangunan dan 49 kendaraan bermotor rusak dibakar.

Namun, harga mahal itu tidak dibarengi dengan menjadikan reformasi sebagai pertaruhan masa depan bangsa Indonesia. Salah satunya, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi ketika proses lahirnya reformasi. 

Bahkan di usia 15 tahun reformasi, penegakan hukum atas pelanggaran HAM belum ada yang berhasil dilakukan. Kenyataan ini semakin melegalkan jika menegakkan hukum terhadap pelanggaran HAM seperti jalan panjang dan berliku dalam mencari kebenaran dan keadilan. Padahal, menegakkan hukum atas pelanggaran HAM juga sama pentingnya dengan memerangi dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ironis, 15 tahun usia reformasi ternyata masih tercatat sejarah kekerasan dan belum ada penyelesaiannya. Tentu ini akan tetap mengapung selama Kejaksaan Agung dan Komnas HAM belum mampu menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM. Bahkan, hasil penyelidikan yang dilaporkan Komnas HAM terkait pelanggaran 1965/1966 ke Kejaksaan Agung dan dikembalikan kejaksaan agar dilengkapi sesuai petunjuk tidak jelas keberadaannya.

Ketika itu, Jaksa Agung Basrief Arief menganggap laporan Komnas HAM belum memenuhi syarat pro-justicia setelah menunjuk 12 jaksa untuk meneliti. Pada 9 November, Basrief Arief mengutarakan jika laporan tersebut telah dikembalikan ke Komnas HAM. Selanjutnya, Basrief memastikan terkait keseriusan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM dengan membentuk Direktorat Khusus Kasus Pelanggaran HAM.

Jumat (10/5), saat ditanya SH apakah laporan dugaan pelanggaran HAM yang dikembalikan ke Komnas HAM sudah diserahkan lagi kejaksaan, Basrief menjawab, laporan yang disertai petunjuk tersebut belum dikembalikan ke Kejaksaan Agung.

"Dia (Komnas HAM-red) belum memenuhi petunjuk yang sudah diberikan oleh Kejaksaan Agung," ujarnya.

Siti Noorlaila, Ketua Komnas HAM yang dikonfirmasi oleh SH, Minggu (12/5), membantah jika laporan tersebut belum dilengkapi. Tidak memastikan tanggal berapa, Siti Noorlaila mengaku Komnas HAM sudah mengembalikan laporan tersebut.

Terlepas dari hal itu, Siti Noorlaila menuturkan sesuai dengan UU, kewenangan Komnas HAM telah melakukan penyelidikan. Jika dalam laporan yang disampaikan Komnas HAM dianggap kurang, maka hal tersebut menjadi kewenangan Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk mendalami.

"Jadi gini, Kejaksaan Agung itu kan meminta untuk dilakukan sumpah terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Nah kita melihatnya, tidak ada itu aturannya penyelidikan harus dilakukan di bawah sumpah. Kasus Priuk yang sudah disidangkan di Pengadilan itu tidak di bawah sumpah dan itu masuk ranah pengadilan. Kenapa ada double standart gitu Kejaksaan Agung," kata Siti Noorlaila.

Bukan hanya itu, Siti Noorlaila mengkritik peran kosong Kejaksaan Agung terkait kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang diduga ada peran jenderal. Ia juga mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM lain tapi tidak ada Direktorat Khusus Kasus Pelanggaran HAM. 

Butuh Keberanian
Reformasi sudah 15 tahun, Siti Noorlaila mengimbau Kejaksaan Agung mempunyai keberanian dan niat baik untuk mengungkap pelanggaran HAM berat sehingga masyarakat tidak punya beban sejarah.

Bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, 15 tahun reformasi tidak ada perbaikan di penanganan hukum kasus pelanggaran HAM. Eva justru merasa ragu hingga pemerintahan berakhir akan ada terobosan. Itu karena yang muncul hanya pernyataan minta maaf sementara pendirian pengadilan HAM ad hoc dianulir semua.

"Ini berkaitan dengan politik atau komitmen penegakan HAM oleh pemerintah saat ini yang lemah. Rekomendasi Komnas HAM dan DPR tidak ada yang ditindaklanjuti. Presiden tidak mementingkan penyelesaian kasus-kasus HAM. Terbukti dalam 10 tahun pemerintahan tidak ada satu pun yang diselesaikan (bahkan kasus OKU, geng motor, dan Cebongan melenyap)," kata Eva Kusuma Sundari.

Padahal, rekomendasi Komisi III DPR  sudah diangkat jadi rekomendasi paripurna untuk penuntasan. Apalagi dikuatkan rekomendasi Pansus Orang Hilang, terutama untuk pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc juga tidak ada wujudnya hingga kekuasaan mau berakhir, ia menambahkan. Hal tersebut tak lain karena sikap presiden yang tidak serius ke soal HAM dan menular ke kementerian dan lembaga.

Merunut data yang diperoleh SH, perkara pelanggaran HAM yang berat 2004 sampai dengan sekarang telah dilakukan penanganan hukum oleh Kejaksaan Agung, seperti perkara Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, Trisakti (Semanggi I dan Semanggi II), Kerusuhan Mei 98, Wasior dan Wamena, Penghilangan Orang Secara Paksa, dan Talangsari.

Lantas, peristiwa pelanggaran HAM yang berat atas perkara Trisakti pada 12 Mei 1998 bertempat di Universitas Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan 517 orang luka-luka, Semanggi I pada 13-14 November 1998 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka, serta Semanggi II pada 23-24 September 1999 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka dalam perkembangan penanganan perkaranya sejak 2002, terjadi pengembalian berkas perkara hingga tujuh kali antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

Berkaitan dengan permasalahan penangan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS), yaitu DPR (periode 1999-2004) telah memutuskan bahwa kasus tersebut direkomendasikan untuk ditangani oleh Pengadilan Umum/Militer yang penanganannya sudah dilakukan. 

Komisi III DPR (periode 2004-2009) akan mengirim surat kepada Pimpinan Dewan tentang Pendapat Komisi III yang menyetujui untuk diadakan Peninjauan Kembali terhadap Keputusan DPR periode 1999-2004 berdasarkan mekanisme yang ada di DPR. Hingga saat ini, belum ada usulan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Sumber : Sinar Harapan
__._,_.___

Friday 17 May 2013

Mantan Diktator Argentina Meninggal Di Penjara



Mantan Diktator Argentina Meninggal Di Penjara

Jumat, 17 Mei 2013 | 21:07 WIB  

Mantan diktator Argentina, Jorge Videla, 87 tahun, dijatuhi hukuman penjara seumumur hidup atas kejahatan HAM di masa kediktatorannya, meninggal dunia pada hari Jumat (17/5/2013)
Mantan diktator Argentina, Jorge Videla, 87 tahun, dijatuhi hukuman penjara seumumur hidup atas kejahatan HAM di masa kediktatorannya, meninggal dunia pada hari Jumat (17/5/2013)
Mantan diktator Argentina, Jorge Rafael Videla, dinyatakan telah meninggal dunia dalam usia 87 tahun di sebuah penjara di luar kota Buenos Aires, Argentina, Jumat (17/5/2023).

Jorge, yang bekas petinggi militer, sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup terkait berbagai kejahatn HAM yang dilakukannya selama “perang kotor” di Argentina dan Amerika Latin.

Ia mulai dipenjara sejak tahun 2010 lalu. Pihak pengadilan menemukan fakta keterlibatan Videla dalam eksekusi mati terhadap 30 Tahanan Politik pada tahun 1976.

Lalu, baru-baru ini, pengadilan Argentina kembali menuntut hukuman penjara 50 tahun atas keterlibatan Videla dalam kasus tuduhan pencurian bayi para tahanan politik pada era kediktatorannya.
Terakhir, pada Maret 2013 lalu, Jorge Videla kembali diseret ke pengadilan terkait “Operasi Condor” di tahun 1970-an dan 1980-an.  “Rencana Condor” atau “Operasi Condor” adalah perjanjian kerjasama antara semua kediktatoran di Amerika Selatan untuk membasmi kaum kiri, khususnya sosialis dan komunis, dari benua tersebut.

Di bawah kediktatoran Jenderal Jorge Videla, sebanyak 30.000 aktivis buruh, petani, mahasiswa, dan Hak Azasi Manusia dibunuh secara keji. Tidak sedikit pula yang dipenjara dan diasingkan.
Di bawah payung “operasi condor”, rezim Vinela juga bekerjasama dengan rezim sayap kanan tetangganya untuk membunuh banyak pejuang kiri Amerika Latin.

“Dia menghabiskan hidupnya (di penjara) karena melakukan kerusakan besar, yang meninggalkan bekas pada kehidupan negara ini,” kata aktivis HAM Argentina sekaligus peraih nobel perdamaian tahun 1980, Adolfo Pérez Esquivel. Lebih lanjut dia bilang, “kematiannya mengakhiri kehadiran secara fisik, tetapi tidak atas apa yang dilakukan terhadap negara ini.”
Raymond Samuel


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130517/mantan-diktator-argentina-meninggal-di-penjara.html#ixzz2TcJbRThd

Wednesday 15 May 2013

Ragil Nugroho - Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis


Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis

Oleh: Ragil Nugroho
Dalam menghidangkan makanan perlu dipersiapkan dengan baik agar tak membunuh selera makan. Pun, dengan sebuah pembantaian.
Kira-kira umur saya baru 12 tahun. Ibu saya sering bercerita kalau dirinya membenci Banser—sayap pemuda Ansor yang beralifiasi dengan Nahdathul Ulama [NU]. Penggambaran ibu saya terhadap Banser tak simpatik: berambut gondrong, memakai peci dan selalu membawa kelewang, parang dan linggis kemana-mana. Kala itu saya belum tahu apa yang terjadi. Saat umur saya bertambah, baru mendapatkan cerita yang utuh.

Seperti ini peristiwanya: Suatu malam di bulan Desember 1965, adik ibu saya, Suroso—Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] Kabupaten Blitar—dicokok oleh segerombolan anggota Banser di rumah kami di sebuah desa di Blitar. Konon Suroso dibawa ke Koramil, tak jauh dari kantor kecamatan. Dan, sejak saat itu tak kembali sampai sekarang.

Seingat saya, sampai bertahun-tahun orang-orang yang senasib dengan ibu saya, setiap malam Jumat meletakkan bunga sesajian pada mangkok daun pisang di perempatan kampung kami. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan suami, istri, anak, orangtua maupun saudara yang terjadi dalam epik pengejaran orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965.

Paman saya yang lain, Sihono, juga mempunyai kebencian yang sama terhadap Ansor. Ia punya pengalaman sendiri sehingga rasa tak suka itu muncul. Ketika balik ke kampung untuk liburan dari tugas mengajar di Jember menjelang peristiwa 1965, paman saya didatangi kawannya. Maksud kedatangan sang kawan untuk meminjam uang. Peristiwa itu berlangsung biasa-biasa saja. Sampai akhirnya awal tahun 1966 paman saya dijemput tentara. Ia dibawa ke kantor Koramil, diintrograsi, dihajar dan dijebloskan ke penjara. Apa masalahnya? Padahal paman saya tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Usut punya usut, paman saya ditangkap karena meminjami uang kawannya yang ternyata anggota BTI [Barisan Tani Indonesia]. Dan yang melaporkan adalah tetangganya sendiri, seorang anggota Ansor. Sejak saat itu paman saya keluar masuk penjara; tiga bulan di penjara, dilepaskan, diambil lagi, begitu seturusnya sampai tahun 1970. Dan dipecat dari tugasnya sebagai guru.

Begitulah kebencian itu muncul. Mungkin sedikit yang perlu saya ceritakan adalah saat-saat menjelang pembantaian dimulai. Bahan cerita ini saya kumpulkan dari obrolan tidak resmi dengan orang-orang kampung sewaktu saya SMA dulu. Kira-kira 500 meter dari rumah saya dilahirkan, segerombolan pemuda Ansor berkumpul. Senjata tajam diasah. Setelah selai, senjata tersebut dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana ketajamannya. Caranya, buah nangka muda—di desa saya disebut tewel—dipegang tangkainya kemudian ditebas dengan sajam pas tengah-tengahnya. Kalau sekali tebas sudah langsung terbagi dua tewel itu, pertanda senjata sudah tajam, kalau belum maka senjata perlu diasah lagi. Setelah siap kemudian digunakan untuk berburu orang-orang komunis. Mengapa saya pakai kata “berburu”? Karena tingkah mereka memang persis orang berburu binatang: sasaran diintai, kemudian dikepung, dilumpuhkan, dan akhirnya dibantai. Persis tingkah orang-orang pada tarap Zaman Kebuasaan—tahap perkembangan peradaban menurut Engels—ketika peradaban masih dalam masa transisi dari hewan ke manusia.

Sekarang saya baru tahu, Banser merupakan bagian dari ampat hidjau seperti yang disampaikan W.F. Wertheim. Sebagaimana dikutip  Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya  Indonesia; Law, Propaganda and Terror, Wertheim menyatakan ada ampat hidjau yang menghancurkan dan terlibat dalam perburuan terhadap orang-orang Komunis tahun 1965. Apa saja empat hidjau itu? Ungkap Wertheim: â€œHijau adalah warna Islam, warna baret tentara, warna kesatuan mahasiswa KAMI dan terakhir tapi yang tidak kalah pentingnya, Duta Besar Kebangsaan Amerika Marshall Green.”
Sebelum ampat hidjau muncul, situasi di desa saya baik-baik saja. Bapak saya anggota Masyumi (Islam), ibu saya anggota PNI (Nasionalis), dan paman saya anggota PKI (Komunis). Tak pernah saya mendengar mereka ribut masalah beda ideologi dan partai. Baru setelah ampat hidjau merajalela, situasi jadi ruyam. Sesama keluarga bisa saling curiga, dengan tetangga saling mengawasi. Situasi mendidih.

Nah, sebetulnya bagaimana tata cara pembantaian terhadap orang-orang komunis itu? Agar cerita saya di muka tidak dianggap mengada-ada, akan saya tunjukkan beberapa rujukan. Tentu saja sumbernya buku-buku yang sudah terbit.
Saya berangkat dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966: Studies from Jawa and Bali, yang dieditori Robert Cribb. Pada halaman 279 [edisi Indonesia] terdapat tulisan berjudul Data Tambabahan Tentang Kekejaman Kontra Revolusoner di Indonesia Khususnya di Jawa Timur. Penulisnya anonim. Menurut keterangan editor, rentang waktu dalam tulisan itu antara Desember 1965 sampai Januari 1966. Data-data yang disampaikan cukup mengasyikkan untuk dibaca. Beberapa saya cuplik di sini agar kita tahu bagaimana sih cara membantai orang-orang komunis itu. Asyik ga sih caranya. Ayo kita simak.
  • Lawang, Kabupaten Malang:
“Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh diikat tanggannya. Kemudian segerombolan pemuda Ansor, dengan disertai dan dilindungi oleh satu unit tentara,…, membawa mereka ke tempat pembantaian, yaitu di desa Sentong dan Kebun Raya di  Purwodadi…Kemudian mereka dipukuli dengan pentungan-pentungan dan besi dan benda-benda keras lainnya. Setelah para korban tewas, kepala mereka dipenggal.”[halaman 280]

Metode di atas umum digunakan. Orang-orang komunis dikumpulkan. Diikat seperti binatang ternak. Dikumpulkan di tempat tertetu. Dipukuli dulu dengan beraneka macam alat. Baru setelah klenger dibantai. Kepalanya dipenggal. Tak mengherankan kalau di beberapa desa Jawa setelah pembantaian 1965 kemudian muncul hantu yang disebut “gundul pringis”. Hantu ini konon berbentuk kepala saja [persis dengan kelapa] yang mringis mulutnya. Katanya banyak penduduk yang sering ditemui ketika berjalan malam-malam di tempat sepi. Tentu saja di mana pun hantu berkaitan dengan konteks sosial. Di Eropa tidak ada hantu pocong sedangkan di Indonesia ada karena memang lingkungan sosial berbeda; di Indonesia orang mati sebagian besar [karena mayoritas Islam] maka dikubur dengan cara dikafani, sedangkan Eropa yang mayoritas Kristen tidak mengenal cara penguburan seperti itu. Pun, dengan hantu “gundul pringis” di atas; ia muncul setelah 1965 ketika banyak kepala-kepala orang-orang komunis [atau yang dianggap ada sangkutpautnya] dipenggal dan seringkali tidak dikuburkan, digeletakkan begitu saja atau dibuang ke sungai.
Ayo ndak usah berlama-lama dengan hantu “gundul pringis”. Kita lanjut ke metode yang lain. Siapa tahu lebih asyik.
  • Singosari, Kabupaten Malang:
“Seorang remaja lelaki anggota IPI [Ikatan Pelajar Indonesia] dan anak Pak Tjokrodiharjo, yang adalah seorang anggota komite PKI setempat [CSS] di Kecamatan Singosari, ditangkap oleh Ansor. Kemudian tubuhnya diikat ke sebuah jib dan diseret di belakanggnya hingga tewas.”[halaman 281]
Metode yang tak kalah serunya. Silakan dibaca sambil menyereput kopi atau teh. Saya pernah membaca salah satu cerpen Pramoedya Ananta Toer dalam Percikan Revolusi dan Subuh, sebuah kisah yang terjadi pada masa revolusi. Seorang yang dianggap mata-mata ditangkap oleh warga. Kemudian dipukuli ramai-ramai tapi tidak mati-mati. Akhirnya terduga mata-mata Belanda itu diikat di belakang truk dan kemudian diseret. Sama persis dengan pemuda di Singosari tadi cara membantainya. Kalau zaman Belanda dulu bukan pakai mobil, tapi pakai kuda. Terhukum diikat kakinya pada dua kuda yang kemudian ditarik dengan arah berlawanan. Sang korban pun terbelah tubuhnya. Tentang bagaimana darah yang berceceran dan organ-organ tubuh yang terburai, silakan bayangkan sendiri.

Baiklah, kita tinggalkan kuda, lanjut ke metode yang lain. Tak kalah ngeri-ngeri sedapnya:
“Oerip Kalsum, seorang wanita lurah desa Dongkol di Singosari, adalah seorang anggota PKI. Sebelum dibunuh, dia disuruh membuka semua pakaiannya. Tubuh dan kehormatannya [kemaluannya] dibakar. Lalu dia diikat, dibawa ke desa Sentong di Lawang, di mana lehernya diikat dan dia disiksa sampai tewas.”[halaman 281]
Tata cara mengasyikkan bukan? Para pembaca sudah makan siang belum? Ini ada metode yang lain lagi. Nah, ini di daerah saya, Blitar.
  • Nglegok
“Japik, seorang tokoh terkemuka di Gerwani cabang setempat…dibunuh bersama suaminya…. Japik diperkosa berkali-kali dan kemudian tubuhnya dibelah mulai dari payudara hingga kemaluannya.”[halaman 283]
Wow, dibelah. Kayak belah durian saja. Mungkin ada yang kelewatan saya baca. Sebelum pembantaian 1965 metode “pembelahan” ini sepertinya belum dikenal. Bisa saja saya salah. Tapi yang pasti metode “belah tengah” ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai urat saraf seperti Hanibbal. Kita lanjut. Metode berikut ini juga menarik untuk disimak oleh para pembaca yang budiman:

“Nursam, juga seorang anggota PGRI Non Vaksentral dipotong-potong tubuhnya dan potongan-potongan tubuhnya itu digantung di rumah-rumah kawan-kawannya.”[halaman 283]
Anggap saja seperti memotong-motong kambing di Hari Raya Kurban. Memotong tubuh alias memutilasi tentu membutuhkan keahlian khusus. Saya pernah membaca novel Out karya Natsuo Kirino, sebuah kisah tentang kasus mutilasi di Jepang. Ternyata perlu metode-motode tertentu untuk melakukan mutilasi. Dan, di novel tersebut dikisahkan perempuan yang jago karena sudah terbiasa memotong-motong daging ketika memasak. Tapi sepertinya para pembantai orang-orang komunis itu tidak memiliki kemampuan seperti itu. Dari situ dapat diduga Nursam dipotong-potong secara serampangan saja. Alangkah mengerikannya.

Nah, metode berikut ini asyik dibaca sembari makan malam:
“Sutjipto, bekas lurah Nglegok dan seorang anggota PKI,dikebiri dan kemudian dibunuh. Ini dilakukan oleh segerombolan Ansor.”[halaman 283]
Ansor lagi pelakunya. Bagaimana mereka memperlakukan seorang perempuan? Nikmati berikut ini:
  • Garum
“Ny. Djajus, seorang perempuan yang menjadi lurah desa Tawangsari di Garum…., sedang hamil pada saat terjadinya kudeta. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. Pak Djajus, suaminya, dicacah wajahnya dengan belati hingga tewas.”[halaman 283]
Lagi-lagi dibelah, Bro. Weh, ini dibelah dulu baru dibunuh. Bagaimana klejet-klejetnya Ny. Djayus waktu dibelah, ya? Sekarang para humanis gadungan sudah bengok-bengok [teriak-teriak] ketika ada aksi perusakan ini itu—seolah-olah paling humanis sedunia akhirat. Dulu ada yang lebih dahsyat,Men. Dan sekarang mereka hanya usul saling memaafkan dan salam-salaman saja antara korban ’65 dengan pelaku pembantaian. Maaf, para humanis gadungan di Indonesia memang para murid Srimulat sejati: pandai ndagel.
Sekarang pindah ke Kediri, Jawa Timur. Dijamin tak ada dalam film Jagal metode pembunuhannya. Mari diikuti. Jangan lupa pisang gorengnya dinikmati sebelum dingin.
  • Pare
“…Di tengah perjalan pulang, mereka [Suranto dan istrinya] dicegat dan ditangkap oleh segerombolan Ansor….Kepala Suranto dipenggal dan perut istrinya dibelah, janinnya dikeluarkan dan dicincang.”[halaman 285]
Berani mefilmkan adegan seperti itu? Janin dicincang, saudara-saudaraku terkasih. Sungguh luar biasa. Saya kadang tak yakin ini kisah nyata atau mimpi. Kita lanjutkan saja lah daripada membayangkan janin yang tentu belum lengkap organ tubuhnya itu dicincang. Oke, lanjut. Berikut ini juga aduhai tata cara membunuh orang komunis
  • Gurah
“Kasman, seorang guru di desa Ngasem, …ditangkap oleh sekelompok pemuda Ansor…Ketika akhirnya dia ambruk, mereka memenggal kepalanya, menusuknya pada sebilah bambu runcing dan meletakkannya di sebuah pos jaga…”[halaman 283]

Tak perlu dibahas lebih lanjut kan? Silakan renungkan sendiri bagaimana kepala yang ditusuk dengan bambu runcing itu. Itulah sedikit cuplikan dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966.Lebih lengkapanya silakan baca sendiri bukunya. Sekarang ada baiknya kita pindah ke buku yang lain agar lebih bervariasi pengetahuan kita tentang tata cara membantai orang komunis.
Sekarang ke buku Making Indonesia yang dieditori oleh Daniel S. Lev dan Ruth McVey. Di halaman 201 [versi bahasa Indonesia] terdapat tulisan Geoffrey Robinson yang berjudul Pembantai Pasca Kup di Bali. Begini beberapa uraiannya:

“Kaum komunis itu ditangkap dan diangkut dengan truk ke sebuah desa lain di mana mereka dibantai dengan kelewang atau di tembak mati…Untuk mencegah tindakan-tindakan balas dendam di kemudian hari, dalam bagian besar kejadian, seluruh keluarga, atau bahkan keluarga besar dibunuh.” [halaman 240]

Metode yang hampir serupa:
“Kemudian berlangsunglah esekusi-esekusi komunal setelah desa itu mengumpulkan kaum komunis dan memukuli atau menikam mereka hingga mati.” [halaman 240]
Cara lainnya:

“Seorang akan menikam seorang korban sedangkan seorang lainnya akan memukulnya di atas kepala dengan batu karang.” [halaman 241]
Pembantaian terhadap orang-orang komunis tersebut kadang disebut sebagai nyupat, yaitu penyingkatan hidup seseorang agar segera terlepas dari penderitaan. Dengan begitu membunuh orang komunis bisa disebut sebagai amal karena telah membantu si komunis cepat kelar dari derita dunia. Luar biasa.

Sekarang ke buku Saskia Eleonora Wieringa, The Politization of Gender Relations in Indonesia Women’s Movement and gerwani Until the New Order State [edisi Indonesia berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia]. Pada halaman 510 tertulis begini:
“Kira-kira satu kilometer di utara pabrik gula Ngadiluwih [Kediri], di sana banyak terdapat tempat-tempat pelacuran. Pada waktu pembersihan terhadap orang-orang Komunis sedang berlangsung, banyak langganan yang tidak muncul untuk mencari kepuasaan seks. Alasannya: langganan itu—dan juga para pelacur—umunya sangat ketakutan. Karena di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis—seperti gantungan pisang-pisang yang dijual…”[cetak tebal dari saya]

Saya dulu pernah kuliah dua semester di Fakultas Kedokteran Hewan. Sebagai bahan pratikum beberapa kali pernah menyayat kodok, merpati, ular sampai kambing. Dalam menyayat dibutuhkan kehati-hatian karena ingin melihat struktur anatomi hewan-hewan tersebut. Tapi saya belum bisa membayangkan bagaimana menyayat vagina seperti yang dilakukan para pembantai orang-orang komunis itu. Struktur vagina berlapis-lapis tentu akan rumit melakukan penyayatan sehingga didapatkan hasil yang baik; bahkan seperti yang ditulis Saskia: seperti gantungan pisang-pisang.
Paling tidak dari tiga buku tersebut kita bisa melihat tata cara membantai orang-orang komunis. Unik-unik bukan metodenya? Seorang anggota Ansor mengungkapkan kepada Hughes sebagai berikut [dalam buku Indonesia; Law, Propaganda and Terror]“Tidak sulit membunuh mereka. Mereka bagaikan burung yang ketakutan. Sungguh puitis: bagaikan burung yang ketakutan. Betul banget. Dengan ketakutan mereka kemudian disembelih.

Banser merupakan sayap paramiliter Ansor, menurut Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya digambarkan berpakaian hitam-hitam dalam melakukan operasi perburuan orang-orang komunis. Mereka begitu kuat di Jawa Timur sehingga tanpa bantuan tentara bisa melakukan pembantaian. Para korban hasil buruan dikumpulkan di tanah lapang di sebuah desa, dan kemudian diesekusi dengan cara yang telah dibabar di atas.

Lantas sekarang yang mucul adalah kata “memaafkan” dan “rekonsiliasi”. Orang-orang komunis yang lolos dari pembantaian tapi di penjara, yang sekarang umurnya sudah tua, dikumpulkan oleh anak-anak muda. Mereka diberikan pengertian agar mau menerima rekonsiliasi. Hasilnya kemudian di foto atau dijadikan buku. Lantas dikirim pada ndoro panding di Eropa sana sembari dikasih sedikit penyedap: telah terjadi rekonsiliasi. Lantas anak-anak muda itu menambahkan dalam kurikulum vitainya: telah terlibat dalam proses rekonsiliasi. Lantas dikirimkan sebagai pelengkap mencari beasiswa untuk sekolah di Eropa sana. Asyik. Tak tahu saya, masih muda sudah korup intelektualitasnya. Entalah.

Semua ini adalah masalah keberanian mengatakan apa adanya. Pada akhirnya saya bisa memahami mengapa Pramoedya Ananta Toer tak mau menerima maaf-maafan dan rekonsiliasi omong kosong itu. Kalau ada anak muda kampaye rekonsiliasi di depan saya, pada detik itu juga akan saya injak-injak mulutnya.***

Lereng Merapi.11.05.2013 
 
 

Monday 13 May 2013

Setahun Argentina Adili 400 Penjahat HAM


Setahun Argentina Adili 400 Penjahat HAM

Jumat, 28 Desember 2012 | 13:30 WIB   · 
 Diktator Argentina
Tak banyak negara yang berhasil menyeret para penjahat HAM, terutama dari pejabat tinggi militer, ke kursi pesakitan pengadilan. Tetapi tidak demikian dengan Argentina.
Dalam satu tahun terakhir, pengadilan Argentina telah menciptakan kemajuan penting dalam mempercepat proses pengadilan terhadap para penjahat HAM.
Catatan Unit Kejaksaan untuk koordinasi dan pengawasan kasus pelanggaran HAM menyebutkan, pengadilan Argentina telah mengadili 400-an penjahat HAM tahun ini. Ada 86 diantaranya sudah dijatuhi hukuman. Dan ada 72 orang yang ‘muka baru’.
Sebagian besar tersangka adalah bekas pejabat militer dan kepolisian. Mereka disangka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti penculikan, penahanan illegal, penyiksaan, pelecehan seksual, pencurian bayi tapol, pembunuhan, dan penghilangan paksa.
Sebagian besar pelaku kejahatan ini terkait dengan kediktatoran militer Argentina pada tahun 1976-1983. Praktis, setelah era demokrasi sudah dibuka, proses pengusutan terhadap kejahatan HAM di era kediktatoran pun segera dimulai.
Sayang, proses ini sempat terinterupsi di era rejim neoliberal, yakni kepemimpinan Presiden Carlos Menem. Carlos Menem mengeluarkan pengampunan terhadap para penjahat HAM itu.
Beruntung, pada tahun 2003, kekuasaan progressif Nestor Kichner segera membatalkan UU pengampunan tersebut. Bagi Kichner, UU tersebut sangat inkonstitusional.
Daftar resmi korban penghilangan paksa mulai disebar. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan banyaknya pelaporan. Kelompok HAM memperkirakan jumlah korban mencapai 30 ribu orang.
Pablo Parenti, seorang pejabat di unit Kejaksaan, menceritakan, “ketika unit kami baru beroperasi (2007), sebagian besar kasus HAM itu tersebar dan terpisah-pisah.”
Pada tahap awal, kata Parenti, para terdakwa diadili satu per satu. Dan cakupan korbannya pun sangat terbatas. Tentu saja proses ini sangat lamban dan gagal menciptakan efek “shock” bagi penjahat HAM.
Akhirnya, muncul tuntutan pengadilan besar-besaran. Tetapi keinginan itu ditentang para hakim dan jaksa. Maklum, pengadilan Argentina memang sudah terbiasa bekerja dengan proses berskala kecil.
Namun, desakan publik terus menguat, terutama setelah diketahui bahwa pengadilan massal jauh lebih efektif untuk mengungkap kasus yang jalin-menjalin dan menambah daftar tersangka baru.
Dan salah satu pengadilan terbesar di mulai awal November lalu. Ini menggabungkan semua kejahatan yang dilakukan di Sekolah Mekanika Angkatan Laut (ESMA). Terletak di kota Buenos Aires, ESMA menjadi pusat penyiksaan terbesar di era kediktatoran, dengan jumlah Tapol kurang-lebih 5000 orang. Hanya segelintir Tapol yang berhasil keluar dari tempat itu. Kini, untuk mengenang tragedi itu, ESMA dijadikan museum HAM.
Salah seorang pelaku penyiksaan yang diadili tahun 2007, Héctor Febres, adalah seorang penjaga pantai. Dia mengakhiri hidupnya di dalam sel penjara. Pada tahun 2011, 16 orang pelanggar HAM kasus ESMA diadili untuk tahap kedua.
Untuk tahun ini, ada 68 pelanggar HAM kasus ESMA yang diseret ke pengadilan, termasuk 6 orang bekas pilot pelaku “penerbangan maut”, yakni modus pembunuhan Tapol dengan cara dibius, diangkut menggunakan helicopter, dan dibuang ke tengah laut.
Awal bulan Desember ini, pengadilan HAM besar-besaran juga berlangsung di Provinsi Cordoba, yang menggabungkan 16 kasus pelanggaran HAM dengan 46 tersangka dan 450 korban. Proses pengadilan ini direncanakan tuntas pada tahun 2013.
Pengadilan besar-besaran lainnya juga berlangsung bulan ini di Provinsi Tucuman, yang melibatkan 43 terdakwa dan 235 korban dari dua pusat penahahan terbesar.
Sementara di Buenos Aires, pada 19 Desember lalu, telah mengakhiri proses persidangan dengan menjatuhi hukuman pada 23 orang penjahat HAM, termasuk hukuma mati terhadap 16 terdakwa. Kasus ini mencakup 280 korban yang disiksa di penjara illegal—disebut kamp Circuito.
Menurut unit Kejaksaan, saat ini ada 20 proses persidangan terhadap pelanggar HAM yang sedang berlangsung. “Pada tahun 2008, hanya 70 terdakwa yang dijatuhi hukuman. Namun, pada tahun ini, ada 339 yang dijatuhi hukuman,” kata Parenti.
Bagi Parenti, proses peradilan massal, yang melibatkan banyak terdakwa, sangat efektif untuk melihat gambaran utuh mengenai sebuah kasus pelanggaran HAM.
“Membawa 50 orang ke pengadilan tidak sama dengan membawa satu atau dua orang” tegasnya.
Langkah maju penegakan HAM di Argentina patut dijadikan contoh. Indonesia, negeri dengan segunung kasus pelanggaran HAM, patut mengambil pelajaran dari Argentina.
Namun, sekali lagi, proses di Argentina tidak terlepas dari kekuasaan politik yang sedang berkuasa. Cristina Fernandez, Presiden Argentina saat ini, punya komitmen kuat untuk membongkar berbagai pelanggaran HAM di negerinya di masa lalu.
Raymond Samuel

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20121228/setahun-argentina-adili-400-penjahat-ham.html#ixzz2TBE8Dnza

Diktator Argentina Diadili Terkait Operasi Condor


Diktator Argentina Diadili Terkait Operasi Condor

18 Maret 2013 | 2:25 WIB
Mantan diktator Argentine, Jorge Videla (jas hitam), sedang diadili.
Mantan diktator Argentine, Jorge Videla (jas hitam), sedang diadili.
Mantan Diktator Argentina, Jorge Rafael Videla, yang sudah menjalani sejumlah tuntutan terkait kejahatan HAM di negerinya, kembali diseret ke pengadilan terkait “Operasi Condor” di tahun 1970-an dan 1980-an.
Selain Jorge Videla, pemimpin militer di era kediktatoran Videla, Reynaldo Bignone, juga diseret ke pengadilan. Keduanya berada diantara 25 terdakwa penjahat HAM. Termasuk bekas Menteri Dalam Negeri di era kediktatoran dari 1976 sampai 1983, Albano Harguindeguy.
Pengadilan ini juga menyeret sejumlah Jenderal Purnawirawan, seperti Benjamín Menéndez, Antonio Bussi, Santiago Riveros dan Ramón Díaz Bessone.
Amnesti Internasional memuji langkah pengadilan Argentina ini sidang bersejarah melawan impunitas, yang dilakukan oleh kediktatoran militer pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Pada pengadilan pertama, para terdakwa akan diperhadapkan terhadap tuduhan pembunuhan 108 aktivis dan pejabat politik. Sekitar 500-an saksi akan dihadirkan di persidangan. Dengan demikian, proses persidangan akan memakan waktu setidaknya 2 tahun.
Sebagian besar korban adalah warga Uruguay, yang dibawa ke sebuah pusat penyiksaan rahasia di Argentina, Automotores Orletti—bekas sebuah bengkel. Namun, kasus penculikan terhadap warga negara Paraguay, Chili, Bolivia dan Peru juga akan diadili.
Korban kejahatan operasi Condor memang lintas negara. “Rencana Condor” atau “Operasi Condor” adalah perjanjian kerjasama antara semua kediktatoran di Amerika Selatan untuk membasmi kaum kiri, khususnya sosialis dan komunis, dari benua tersebut.
Melalui operasi ini, pelarian politik di negara lain bisa dibunuh atau dihilangkan. Ini juga menyangkut kerjasaman penukaran tapol antara negara yang diperintah kediktatoran militer.
Salah satu korban dari operasi ini adalah Jenderal Carlos Prats, seorang petinggi militer Chile yang loyal pada Salvador Allende. Carlos Prats melarikan diri ke Argentina. Namun, Namun, ia dibunuh di Buenos Aires pada September 1973 bersama istrinya, Sofia Cuthbert.
Diktator Argentina Jorge Videla, yang sudah berusia 80 tahun, sebetulnya sudah divonis hukuman seumur hidup terkait kejahatan HAM. Pihak pengadilan menemukan fakta keterlibatan Videla dalam eksekusi mati terhadap 30 Tahanan Politik pada tahun 1976.
Lalu, baru-baru ini, pengadilan Argentina kembali menuntut hukuman penjara 50 tahun atas keterlibatan Videla dalam kasus tuduhan pencurian bayi para tahanan politik pada era kediktatorannya.
Dengan demikian, hingga saat ini, Jorge Videla tengah menghadapi pengadilan HAM yang berlapis-lapis. Terkait atas berbagai tuduhan atas dirinya itu, diktator Argentina ini telah menyerukan rekan-rekannya untuk mengangkat senjata melawan Kirchnerisme dan Marxisme.
Memang, diktator berusia 86 tahun ini merasa tidak menyesal atas perbuatannya. Ia menganggap tindakannya sebagai penyelamatan terhadap Republik dari kekacauan akibat warisan Juan Peron. Sebaliknya, ia menuding pengadilan itu bukan sebagai proses keadilan, melainkan balas dendam terhadap Angkatan Bersenjata.
Meski demikian, pemerintah dan pengadilan HAM Argentina tidak gentar. Tahun lalu saja, ada 400-an penjahat HAM yang diseret ke pengadilan terkait kejahatan HAM di era kediktatoran militer Argentina pada tahun 1976-1983.
Raymond Samuel

El Salvador Berjuang Melawan Lupa

Aksi massa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di El Salvador


El Salvador Berjuang Melawan Lupa

Minggu, 31 Maret 2013 | 10:19 WIB
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Sejarah panjang perjuangan rakyat El Salvador penuh dengan represi dan teror. Dalam catatan sejarah, sejak 1931 hingga 1992, El Salvador diperintah oleh kediktatoran militer. Dalam kurun waktu itu, gerakan rakyat mengalami represi sangat keji dan brutal.
Pada tahun 1931, Presiden yang terpilih secara demokratis, Arturo Araujo, digulingkan oleh Jenderal Maximiliano Hernández Martínez. Setahun kemudian, meletus pemberontakan petani yang dipimpin oleh seorang komunis bernama Farabundo Marti.
Namun, pemberontakan itu direpresi secara brutal oleh kekuatan militer. Tidak kurang dari 30.000 dibantai dalam peristiwa yang disebut “La Matanza”. Sejak itu, El Salvador hidup dalam kegelapan yang penuh teror dan represi.
Partai politik tidak diijinkan berdiri hingga 1960. Namun, di tahun 1960-an, kaum buruh, petani, mahasiswa terus melakukan mobilisasi untuk menuntut perubahan politik. Pada tahun 1972, kandidat kiri-tengah yang diusung oleh koalisi oposisi,  José Napoleón Duarte, memenangkan pemilu Presiden. Namun, ia dilarang menduduki jabatannya. Ia ditangkap, disiksa, dan kemudian diasingkan ke Venezuela.
Pada tahun 1977, oposisi kembali nyaris memenangi pemilu. Sayang, rezim militer segera melakukan kecurangan. Tak hanya itu, mereka langsung menunjuk Jenderal Carlos Humberto Romero sebagai Presiden tanpa melalui proses demokratis.
Ini memicu perlawanan rakyat. Akhirnya, pada tahun 1950, lima organisasi revolusioner sepakat membentuk Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN). Dalam perjuangannya, FMLN menggunakan metode perjuangan bersenjata.
Kebangkitan FMLN mengkhawatirkan AS. Akhirnya, atas nama perang melawan komunisme, AS menyokong penuh rezim militer El Salvador menumpas habis gerilyawan FMLN. Inilah yang mendorong El Salvador ke dalam perang saudara selama 12 tahun.
Perang saudara baru berakhir tahun 1992. Perang itu menyebabkan 75.000 orang tewas dan 8000 orang lainnya hilang. Jutaan orang melarikan diri keluar negeri untuk menghindari represi. Tak hanya itu, rezim militer juga membunuh para imam atau pemuka agama yang progressif. Yang terkenal adalah pembunuhan Uskup Oscar Romero tahun 1980.
Pada tahun 1993, Komisi Kebenaran dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran HAM semasa perang sipil. Komisi ini mendapat sokongan penuh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah bekerja, pada Maret 1993, Komisi Kebenaran mulai mempresentasikan hasil investigasi awalnya. Hasilnya cukup menakjubkan: mereka mendokumentasikan ribuan kasus pembunuhan, penghilangan paksa, penculikan, dan penyiksaaan selama era perang sipil.
Komisi Kebenaran juga merekomendasikan perlunya penyelidikan terhadap mereka yang diduga terlibat dalam kejahatan HAM tersebut. Sayang, seperti juga Komnas HAM di Indonesia, Komisi Kebenaran ini punya kewenangan yang sangat terbatas, yakni mengeluarkan rekomendasi.
Lebih parah lagi, satu minggu setelah laporan itu, rezim berkuasa di El Salvador mengeluarkan UU amnesti kepada semua yang dianggap pelaku kejahatan HAM di masa lalu. Sejak saat itu, perjuangan korban dan keluarga korban kejahatan HAM seakan menemui jalan buntu.
Memang, setelah berakhirnya perang sipil, kekuasaan politik El Salvador tetap di tangan kontrol segelintir elit politik sayap kanan dan petinggi militer. Mereka berkuasa melalui kendaraan politik mereka, Aliansi Republikan Nasional (ARENA). Mereka terus memblokir setiap upaya dan perjuangan korban untuk mengungkap kebenaran. File-file militer tak tersentuh. Bahkan, hingga tahun 2009, kasus pembunuhan Uskup Oscar Romero tak tersingkap dan pelakunya tak kunjung diadili.
Namun, para korban dan aktivis HAM tak menyerah. Mereka terus berjuang melawan impunitas. Tak hanya itu, mereka juga mendorong para keluarga korban untuk melakukan testimoni.
Pada tahun 2009, kandidat dari Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN), Mauricio Funes, berhasil memenangkan pemilu. Kemenangan itu mengakhiri 20 tahun lebih kekuasaan ARENA.
Kemenangan FMLN membuat para korban seakan melihat cahaya. Sayang, Presiden Mauricio Funes terlalu moderat untuk didorong menghapus UU Amnesti itu dan menyeret para pelanggar HAM ke pengadilan. Ia terperangkap dalam pertimbangan politik, bahwa membongkar UU Amnesti itu akan membuka kembali luka lama dan perseteruan politik dengan sayap kanan yang masih sangat kuat.
Para korban kejahatan HAM, termasuk banyak pendukung FMLN sendiri, harus menelan pil pahit. Namun, langkah para korban tidak pernah terhenti. Mereka kemudian meminta bantuan pengadilan internasional untuk menegakkan keadilan bagi para keluarga korban.
Akhrinya, Pengadilan HAM Inter-Amerika yang berbasis di Kosta Rika berhasil menemukan pelanggaran HAM di El Salvador dalam kasus pembantaian di El Mozote. Kemudian, pada tahun 2011, Pengadilan Spanyol juga mendakwa 20 pejabat militer yang diduga terlibat pembunuhan terhadap 6 Imam Yesuit, pembantu rumah, dan anak-anaknya.
Belakangan ini, seruan untuk menghapus UU Amnesti makin menguat. Roberto Cañas, salah seorang penandatangan perjanjian damai antara pemerintah dan FMLN tahun 1992, menyatakan bahwa negara tidak boleh “melempar handuk” dalam memenangkan hak-hak korban kejahatan HAM di masa lalu.
Sánchez Cerén, Wakil Presiden saat ini dan sekaligus kandidat Capres FMLN  pada pemilu 2014 mendatang, meminta Mahkamah Konstitusi segera membatalkan UU Amnesti itu. “UU Amnesti harus dicabut untuk menutup kembali luka bangsa. Tanpa itu, rekonsialisasi tidak mungkin terjadi,” kata Sánchez.
Sementara itu, Komisi Hak Azasi Manusia El Salvador (CDHES) baru-baru ini mempublikasikan laporan berisis terstimoni para korban kejahatan HAM selama perang sipil (1980-1992). Laporan setebal 197 halaman itu diberi judul “La tortura en El Salvador” (penyiksaan di El Salvador). Rencananya, laporan itu akan diluncurkan pada April mendatang.
Bagi para korban dan pejuang HAM, laporan tersebut akan menjadi semacam lilin penerang bagi generasi sekarang untuk membaca sejarah gelap bangsanya di masa lalu.
Yang menarik dari laporan itu, ada 270 kesaksian korban dilakukan pada tahun 1986, ketika perang sipil masih bergolak, dimana korban dan aktivis CDHES sama-sama dipenjara. “Pada tahun 1980, kita tidak mungkin mempublikasi laporan ini, karena represi. Tetapi hari ini kita melihat cahaya,” kata Direktur CDHES, Miguel Montenegro.
Dengan kesaksian para korban, masyarakat tidak lupa akan kejahatan HAM masa lalu yang belum terkuak. Dan, seperti dikatakan oleh Milan Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.
El Salvador memang terbilang lamban. Negara-negara lain, seperti Argentina, Chile dan Guatemala, sudah bergerak lebih maju. Akhir Januari lalu, mantan diktator Guetemala Efrain Rios Montt diseret ke pengadilan. Mantan diktator Argentina, Jorge Rafael Videla, juga sedang menjalani pengadilan atas berbagai kejahatannya.
Raymond Samuel
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130331/el-salvador-berjuang-melawan-lupa.html#ixzz2TBA4qEzr

Mantan Diktator Guatemala Dihukum Penjara 80 Tahun



Mantan Diktator Guatemala Dihukum Penjara 80 Tahun

Senin, 13 Mei 2013 | 12:39 WIB   ·  

Mantan diktator Guetemala, Efraín Ríos Montt, divonis bersalah atas kejahatan genosida dan dihukum penjara 80 tahun.
Mantan diktator Guetemala, Efraín Ríos Montt, divonis bersalah atas kejahatan genosida dan dihukum penjara 80 tahun.
Mantan diktator Guetemala, Efraín Ríos Montt, yang dianggap bertanggung jawab atas pembantaian 1771 orang masyarakat adat di tahun 1980-an, divonis bersalah oleh oleh pengadilan, Jumat (10/5/2013). Dia dihukum penjara 50 tahun untuk kejahatan genosida dan 30 tahun untuk kejahatan kemanusiaan.
Bagi Guetemala, keputusan itu merupakan kemenangan besar bagi demokrasi dan penegakan HAM. Maklum, ini pertama kalinya mantan kepala negara dinyatakan bersalah atas kejahatan genosida di negerinya sendiri.
“Kami yakin, tindakannya terhadap Ixil (Suku Indian Maya di Guetemala) sebagai kejahatan genosida. Rios Montt mengetahui apa yang terjadi dan tidak melakukan apapun untuk menghentikannya,” kata hakim Yazmin Barrios, yang menangani kasus ini.
Antara 1960-an hingga 1980-an, pemerintah Guetemala melancarkan perang terhadap gerilyawan marxis. Dalam perang tersebut, pasukan pemerintah seringkali menargetkan simpatisan kaum marxis, seperti buruh, petani, dan masyarakat adat.
Laporan PBB memperkirakan, sedikitnya 200.000 orang tewas akibat perang tersebut. Sementara 45.000 orang lainnya dinyatakan “hilang” di bawah rezim diktator itu.
Proses pengungkapan kejahatan ini sendiri berlangsung cukup panjang. Pada tahun 1986, pengganti Rios Montt,  Óscar Humberto Mejía Victores, mengeluarkan UU pengampunan (amnesti) massal kepada mereka yang dianggap terlibat kejahatan HAM tahun 1982-1986.
Namun, pada tahun 1996, Kongres mempertimbangkan bahwa pemberian amnesti itu tidak tepat dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM internasional. Setahun kemudian, Kongres mengeluarkan dekrit untuk mencabut semua UU amnesti sebelum 1996.
Sebelumnya, para pelanggar HAM di Guetemala, termasuk Rios Montt, menjadikan UU Amnesti itu sebagai tameng perlindungan.
Awalnya, sekelompok aktivis HAM membawa kasus ini ke pengadilan Spanyol dengan menggunakan yurisdiksi internasional, tetapi tidak membawa hasil. Lalu, pada tahun 2001, Asosiasi untuk Rekonsiliasi dan Keadilan bersama dengan kelompok HAM Guatemala mengajukan protes resmi kepada otoritas berkuasa terkait investigasi terhadap kejahatan HAM tersebut.
Bersamaan dengan proses itu, dokumen-dokumen mengenai kejahatan HAM tersebut mulai terbuka ke publik. Akhirnya, pada tahun 2007, Guetemala dan PBB membentuk badan internasional untuk melakukan investigasi mengenai kejahatan itu.
Tahun 2009, pengadilan mulai digelar. Sejumlah pejabat polisi, anggota militer, dan bekas paramiliter menjadi target pertama. Lalu, pada tahun 2001, Mejia Victores mulai dibawa ke pengadilan. Namun, tak lama kemudian kasusnya dihentikan karena kesehatannya memburuk.
Lalu, giliran kepala intelijen era Rios Montt, Jose Mauricio Rodriguez Sanchez, yang diseret ke pengadilan. Dan akhirnya, pada Januari tahun lalu, seorang hakim federal mulai mengajukan nama Rios Montt sebagai pelaku genosida dan kejahatan HAM lainnya.
Aktivis HAM dan keluarga korban menyambut gembira vonis terhadap Rios Montt tersebut. Hugo Pomposo, seorang profesor sejarah di University of Belgrano di Buenos Aires, mengatakan, keputusan itu berpengaruh sangat signifikan untuk mengakhiri impunitias pelaku kejahaan HAM di Amerika Latin.
Raymond Samuel


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130513/mantan-diktator-guatemala-dihukum-penjara-80-tahun.html#ixzz2TB3UUAOg
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook