Sunday 3 March 2013

“LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,...

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 02 Maret 2013
-----------------------------

“LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,
“TAK PERNAH TERLUPAKAN” BAGI PARA KORBAN

Kemarin, Jum'at 02 Maret 2013, di ruangan ini disiarkan tulisan Andjarsari Paramaditha, jurnalis “The Jakarta Globe”, berjudul “The Act of Killing' Reopens Old, Long-Buried Wounds in Indonesia”. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira begini bunyinya“Jagal”, Membuka Kembali Luka-luka Lama Yang Dalam Waktu Panjang Dikubur di Indonesia”.

* * *

Andjarsari Paramadhita menuangkan kesan dan tanggapannya dalam tulisan tentang film produksi film-maker berbangsa Amerika Joshua Oppenheimer, berjudul “The Act of Killing”. Sebuah film yang dewasa ini sudah dipertunjukkan di pelbagai festival film internasional dan memperoleh pengharagaan AWARD. Joshua Oppenheimer mendokumentasikan tutur cerita Anwar Congo dan kawan-kawannya, dari organisasi Pemuda Pancasila. Anwar Congo dan kawan-kawannya yang terlibat dalam pembunuhan masal periode 1965, setelah gagalnya G30S, adalah mantan preman, gangster Medan yang menguasai bioskop-bioskop Medan pada tahun 60-an abad lalu.

Membaca judul artikel yang menggugah dan menyentuh hati nurani ini, -- tersirat dalam fikiran:

Sebenarnya “luka-luka lama” akibat pembantaian masal oleh aparat negara (TNI, Polisi, preman-preman dan regu-regu pembantai yang diregisir oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto pada periode 1965/66/67 dst terhadap warga tak bersalah anggota dan bukan anggota PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno), tak pernah pulih.

Tak terhindarkan fikiran wajar akan berreaksi: Apa para korban pelanggaran HAM terbesar oleh aparat kekuasaan negara RI sekitar periode pertengahan tahun 60-an abad lalu, ---

PERNAH MELUPAKAN PENDERITAAN MEREKA AKIBAT KESEWENANG-WENANGAN APARAT?? Apa luka-luka lama yang disebabkan oleh persekusi rezim Orde Baru, itu pernah “sembuh” ? Apakah luka-luka lama yang dikubur dalam-dalam oleh penguasa tsb PERNAH TERTUTUP??

Masuk di akalkah, -- para korban pelanggaran HAM berat oleh aparat negara di sekitar Peristiwa 1965, akan berhenti mempersoalkan, mengapa bapak, ibu, suami, anak, dan anggota keluarga mereka di “amankan” oleh aparat negara dan dipenjarakan. Dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dibunuh secara ekstra judisial.

Apakah kesalahan mereka, maka sampai diperlakukan sewenang-wenang demikiuan oleh penguasa negara? Selama itu mereka tetap setia pada negara Republik Indonesia dan patuh mendukung politik kepala negara dan pemerintahan Presiden Sukarno? Bisakah dikatakan abnormal, -- bila keluarga para korban itu masih bertanya-tanya dimana bapak, ibu, anak dan keluarga mereka itu? Dan bila dibunuh aparat, dimana kuburan mereka itu?

Jelas luka-luka lama itu tidak mungkin dilupakan terutama oleh para korban. Adalah kewajiban penguasa negara dewasa ini, untuk menjernihkan masalah-masalah sejarah bangsa ini.

Seperti dikatakan a.l oleh Joshua Oppenheimer: "For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators . . . . . ".

Terjemahan bebas: ---- “Untuk orang-orang Indonesia yang cukup umurnya untuk mengingat kembali genosida (1965/66/68dst), film tsb (The Act of Killing''”) tidak memungkinkannya lagi untuk terus-terusan membantah apa yang sudah diketahui oleh semua orang dari generasi tsb. Mereka lebih dekat dengan para pelaku (genosida) itu . . . “

* * *

Sementara petinggi tentara dan birokrasi kekuasaan sekarang dan politisi serta elite yang lahir dalam buaian, dibesarkan dan didewasakan rezim Orde Baru dan sekarang berada dalam posisi kekuasaan dan unggul di bidang finansil dan ekonomi, – – – – lebih-lebih lagi mereka-mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat sekitar periode 1965, ------ dari waktu ke waktu membuat pernyataan absurd sbb:

“Apa yang sudah terjadi di sekitar periode itu (maksudnya pelanggaran HAM berat sekitar Peristiw 1965) itu masa lampau. Kita harus melihat ke depan. Mempersoalkan masalah Peristiwa 1965 akan “membuka kembali luka-luka lama”.

Juga elite di DPR yang golongannya terlibat dalam pelanggaran HAM berat tidak ketiggalan mengeluarkan suara sumbang. Mereka mengkhawatirkan langkah keterbukaan terhadap publik, dikatakannya, yang justru (akan) menimbulkan kegaduhan baru. Ini dikatakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Salim Mengga. Celetuknya: "Keterbukaan dokumen G30S-PKI harus dikoordinasikan dengan lembaga lain, karena (kalau tidak) akan menimbulkan kegaduhan."

Pernyataan dan dalih yang diutarakan oleh mereka-mereka itu, semata-mata untuk mencegah terbukanya bagi masyarakat umum, apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah bangsa ini sekitar Peristiwa 1965. Itulah sebabnya, Kejaksaan Agung menggunakn berbagai taktik dan muslihat, yang hakikatnya menolak Rekomendasi dan Kesimpulan KomansHAMN tertanggal 23 Juli 2012. KomnasHAM dalam rekomendasinya itu mengungkap keterlibatan aparat negara dalam pelanggaran HAM berat, serta menyarankan Kejaksaan Agung mengambil tindakan lanjut.

Itulah pula sebabnya mereka berusaha mencegah dibukanya arsip Lembaga Negara Arsip Nasional Republik Indonesia, ANRI, bagi masyarakat umum. Ingat canang Peneliti Senior LIPI Prof Dr Asvi Warman Adam: “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN?

SENYUM SUHARTO


Senyum Soeharto

Oase-IPJUMAT, 1 Maret 2013. Patung dan Rumah Sejarah Jendral Soeharto diresmikan di desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, tanah kelahirannya. Dengan senyum lebar, putri sulungnya, Tutut Soeharto, membuka selubung patung berbaju militer setinggi 3,5 meter. Para tetamu, di antaranya menteri – menteri zaman Orde Baru, bertepuk tangan penuh haru.
patung-asuharto-2013
Probosutedjo, adik tiri Soeharto pidato berapi-api, tentang tujuan dibangun rumah itu, ‘Agar generasi pelanjut sejarah tidak kehilangan jejak Pak Harto dan selalu mengenang tanda-tanda kepemimpinannya!’ Tak lupa Probosutedjo menyertakan sanjung puji bahwa Soeharto pemimpin sederhana, tegas dan berjiwa besar.
Peresmian pada 1 Maret pun tak lepas dari urusan sanjung puji. Tanggal itu bertepatan dengan peristiwa heroik Serangan Umum 1 Maret 1949, dimana Soeharto mengklaim sebagai penggagas sekaligus aktor sentralnya.
Koran–koran memuat berita peresmian patung itu sebagai peristiwa biasa saja, bahkan tak muncul secuilpun narasi 32 tahun kediktatoran yang lantas ditumbangkan 14 tahun silam. Tapi, rupanya 14 tahun sudah terlalu lama bagi bangsa ini, sehingga  baru 14 tahun para kroni Soeharto sudah bisa memanipulasi sejarah dan membangun simbol-simbolnya.
Padahal Rumah Sejarah Soeharto yang sebenar-benarnya terentang dari Aceh, Timor Leste hingga Papua, yang berisi genangan darah. 1965 adalah fondasi awalnya membangun singgasana dengan rangkaian pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa jutaan orang. Efeknya juga luar biasa. Melumpuhkan keberanian dan nalar. Hingga pembungkaman kolektif yang berlangsung berpuluh-puluh tahun setelahnya.
Eksploitasi perut bumi, dimulai beberapa minggu setelah Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden. 7 April 1967, ia langsung meneken ijin Freeport, raksasa tambang Amerika Serikat untuk mengeruk tembaga di gunung Ertsberg, Papua. Sebagai payung hukum, disahkan UU No 1 tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Setelah itu, berderet-deret praktik pengerukan tambang, laut dan hutan. Semua diobral dan dikorup bersama-sama para kroni.
Parade represi pun berderet di sekujur nusantara. Segala kritik dan suara yang dianggap jadi gangguan dibungkam dengan sepatu lars dan kokang senapan. Ribuan yang mati terjungkal di Aceh, Lampung, Tanjungpriok, Timos Leste, Ambon hingga Papua.
1998, Soeharto tumbang. Foto-fotonya dibakari di jalan-jalan. Simbol-simbol kebesarannya runtuh. Ia mulai diperiksa Kejaksaan Agung dengan tuduhan korupsi. Toh hingga mangkat kasusnya tak pernah diusut tuntas. Kejahatan kemanusiaannya, bahkan tak secuilpun tersentuh.
Soeharto masih bernasib baik, dia melenggang aman hingga liang kubur. Tak seperti  Jenderal Jorge Videla, diktator Argentina divonis seumur hidup atas pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukannya semasa berkuasa. Vonisnya jatuh di usianya ke 85. Atau seperti Jendral Elfrain Rios Mont, mantan presiden Guatemala, di usia 86 ia terduduk kelu di kursi terdakwa untuk kasus pembunuhan massal tahun 1982-1983. Slobodan Milosevic, mantan presiden Yugoslavia diadili untuk kasus genosida dan kejahatan perang. Tahun 2006, ia mati kesepian di sel tahanan sebelum vonis dijatuhkan.
Dan Soeharto, 10 tahun berselang setelah tumbang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat sebuah iklan besar di televisi mengiklankan Soeharto sebagai Guru Bangsa dan Pahlawan Nasional. Tahun 2010, mereka mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Nasibnya sungguh baik bukan?
Kita memang miskin imagi atas Indonesia yang indah dan sejahtera. Orang berkelana mencari pada kemegahan masa silam, lantas terbius kepingan-kepingan palsu : Harga sembako murah, sekolah murah, senyum petani di Klompencapir, dan potret negara yang hirau pada pertanian, hingga harga kentang, cabe keriting dan wortel tanpa daun pun disiarkan radio setiap malam. Lupa bahwa semua dibangun di atas tindak represi dan korupsi.
Orang bosan pada pemimpin memble seperti sekarang. Jengkel setengah mati dengan aneka silat lidah dan retorika politik usang. Sepotong senyum Soeharto kembali berkelebat. ‘Biarpun punya salah, toh dia berandil besar membangun negara ini,’ demikian obrolan yang mampir di terminal dan warung kopi.
Bayangkan 10 tahun mendatang, gambaran apa yang dipunyai anak-anak muda akan sosok Soeharto? Bisa jadi, mereka menganggapnya benar-benar pahlawan. Mungkin mereka mengidolakannya sebagai sosok pengayom dan murah senyum. Mungkin gambarnya muncul di kaos–kaos seperti Che Guevara. Barangkali juga akan segera muncul kasak-kusuk bahwa Soeharto adalah korban sebuah konspirasi busuk.
Di Kemusuk, Bantul, patung Soeharto berdiri mentereng. Berjarak beberapa kilometer, jasad Fuad Muhammad Syafruddin rebah. Udin, wartawan yang mati dibunuh pada Agustus 1996 lantaran mengungkap korupsi bupati Bantul. Belasan tahun, kasusnya tak pernah terungkap. Kasus itu juga melibatkan lurah Kemusuk, kerabat Soeharto.
Piye kabare? Masih enak jamanku to?’ Begitu deretan huruf yang melintang di sebuah bak truk yang melintas di ruas tol Cikampek. Seraut senyum mengembang, seperti mengejek. Mungkin menertawakan bangsanya yang blingsatan tak berdaya. Bingung menentukan mana pahlawan, mana diktator. Siapa pemimpin dan siapa koruptor. Di negeri ini, bahkan kita harus bekerja keras, sangat keras, untuk tidak frustasi, hilang akal, dan hilang ingatan.***

Saturday 2 March 2013

HRW Urges Indonesia to Tackle Religious Violence


Human Rights Watch Urges Indonesia to Tackle Religious Violence
thejakartaglobe.com,  March 01, 2013
Rebecca Lake 
Members of the Ahmadiya Islamic minority have been frequent victims of violence, with little support from the Indonesian government. (JG Photo/Fitri) Members of the Ahmadiya Islamic minority have been frequent victims of violence, with little support from the Indonesian government. (JG Photo/Fitri)
 
 
Failures in government leadership and law enforcement are fueling a surge of religious violence in Indonesia and have rendered religious minorities vulnerable to attack, an international rights group said in a report released on Thursday.

The Human Rights Watch report, “In Religion’s Name,” condemned the Indonesian government for its ignorant and at times “complicit” approach to religious conflict that it says has recently escalated.

Phelim Kine, HRW’s Asia deputy director, told a media gathering on Thursday that addressing religiously motivated violence “isn’t rocket science,” adding that the issue of religious conflict in Indonesia should not be left to the next government to deal with.

“This problem is like a form of toxic osmosis, it can and will spread and become a much more serious problem that will be much more difficult to contain in two years or five years,” Kine warned.

“Compounding the problem of this violence, intimidation and harassment by these mobs of vigilante-style thugs is a complete failure by the government of Indonesia to confront this violence and intimidation and to put a stop to it,” Kine said.

“In several notorious incidents, police and government officials have been passively, if not actively, complicit in acts of religious related intolerance and violence,” he said.

Examples where the Indonesian government and security forces have facilitated harassment and intimidation of religious minorities examined in the report include blatant discriminatory statements made by officials, the refusal to issue building permits for religious minorities’ houses of worship, and pressure forced on congregations to relocate.

Call for action
The damning report, which documents dozens of religiously fueled attacks between August 2011 and December 2012 in 10 provinces, offers recommendations to the government on tackling the problems. These include a demand to review existing laws HRW believes are “at odds with freedom of religion” and also the immediate need for the government to adopt a “zero tolerance” on religious violence. 

But Bahrul Hayat, secretary general of the Ministry of Religious Affairs, said the rise in conflict cannot “simply” be attributed to religious motivations.

“I don’t think it is appropriate to label it as an increase in terms of religious conflict. Conflict is not only related to religion but also other issues, including the election process in the district, and sometimes there are other issues that are beyond our understanding,” Hayat said on Monday, ahead of the report’s release.

In response to several examples of religiously fueled violence, such as recent attacks on churches in West Java, the secretary general admitted that there are “of course one or two cases” but also noted that Indonesia is not the only nation grappling with this issue.

“Of course as I said it’s not a perfect place but I want to say that the achievements [in combating religious conflict] are better and getting better and I expect that the maturity of the people will also improve over time.”

The official reiterated the government’s “very clear” policy on violence. “We condemn any action done by anybody and any group for whatever reason. If it is destructive or against the law.”

‘Only statements’
But public condemnation of violence, including that directed at religious minorities, is not sufficient, said Eva Kusuma Sundari, a member of the House of Representatives Commission III, which oversees legal affairs.

The outspoken Democratic Party of Struggle (PDI-P) lawmaker explained that the president and his ministers for religious affairs and home affairs remain complacent with regard to religious discrimination and all have bigger roles to play in preventing the conflict. 

“Among these people they don’t show a very big political commitment, only statements, statements. There is no real action in place.”

Christian politicians, Eva said, were afraid to speak out against the violence because they feared being seen as having a vested interest. Muslim politicians on the other hand, she said, “did not want to risk losing votes by being seen as anti-Islamic.”

The HRW report documents the recent rise in religious conflict, with interviews from 71 victims of religious violence. It also cites statistics from the Setara Institute, an Indonesia-based research and advocacy group, that found 216 cases of violent attacks on religious minorities in 2010, 244 cases in 2011 and 264 cases in 2012.

The victims of the attacks mentioned in the report belonged to religious communities including Catholic and Protestant Christians, and Islamic groups Shia, Sunni and Ahmadiyah.

The violence these religious minorities endure includes intimidation, destruction of property, arson attacks and extreme physical harm.
Kine said the source of this intolerance and violence stems primarily from militant Islamists. “Groups of militant Islamists such as the FPI (Islamic Defenders Front), which have an uncompromising view of religious purity, are abusive, disparaging and uncompromising toward those who don’t agree with their views.”

Seeking moderation
Traditionally Indonesia has been viewed by the international community as an example of religious harmony and a bastion for religious diversity. World leaders sometimes praise the country as a model of tolerance.

This tolerant image is what Yenny Wahid, director of the Wahid Institute, an organization that promotes development of moderate Islam in Indonesia, fears will be destroyed by the rise of hard-line Islamist groups who are threatening to destroy the reputation of the country’s majority of moderate Muslims.

“I think if these hardliner groups are not put in check and there is no action against them by the government than it will have a tremendous effect on our image internationally as an Islamic society,” said the daughter of former President Abdurrahman Wahid.
The outspoken activist said she was baffled by the government’s complacency on religious violence.

“The majority of Muslims in this country will support the government if they take a strong stance against Islamist groups,” Yenny said, adding that she believed “our constitution and national cohesion is far more important than just one or two [FPI] controversies.

Pemerintah Akui Gagal Upayakan Dialog


Pemerintah Akui Gagal Upayakan Dialog
SH NEWS.com Jumat, 01 Maret 2013 - 15:50:00 WIB   Saiful Rizal 



(Foto:dok/officialwaru.wordpress.com)
Ilustrasi.
Tidak adanya sanksi hukum suburkan tindak kekerasan.

JAKARTA – Pemerintah mengakui aksi-aksi intoleran yang dilakukan gerombolan militan terhadap para penganut agama minoritas masih sering terjadi. Upaya pemerintah untuk mendorong dialog dari pihak yang bertikai selama ini belum membuahkan hasil karena masing-masing pihak menutup pintu dialog. Demikian dikatakan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menanggapi survei Human Right Watch (HRW), lembaga internasional pemerhati hak asasi manusia, yang menuding pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang lembek menghadapi gerombolan militan antipluralisme. 

"Sejauh ini pemerintah telah cukup berkeringat mengatasi masalah ini. Namun selama pintu dialog sulit dibuka oleh semua kelompok, upaya penyelesaian masalah intoleran seperti yang terjadi di beberapa daerah sulit terjadi," ungkapnya, Jumat (1/3).

Menurut Nasaruddin, masyarakat Indonesia sebenarnya sangat menjunjung perdamaian dan keterbukaan. Hal itu dibuktikan dengan kemauan berbagai suku dan budaya di Indonesia yang bersedia bergabung dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bangsa ini, ditambahkannya, sebagai negara maritim tentu lebih egalitarian dan demokratis daripada negara-negara lain. Ini karena sejak dahulu, pesisir pantai di seluruh wilayah kepulauan di negeri ini sudah terbuka terhadap datangnya "tamu-tamu" dari bangsa lain. Dengan dasar itu, dia meyakini seluruh penduduk di negeri ini pada prinsipnya sangat siap untuk berdialog dengan perbedaan.

"Pemerintah akan terus melakukan pendekatan kepada setiap elemen di negeri ini, dengan menggunakan berbagai pendekatan, seperti pendekatan hukum, politik, dan teologi, sebab prinsip semua agama maupun aliran kepercayaan sebenarnya sama, yaitu menjunjung perdamaian," ungkapnya. 

Sebelumnya, riset terbaru yang dirilis HRW di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkap kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama. Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun muslim Syiah. Satu lembaga pemantau kekerasan mencatat 264 kasus kekerasan terjadi tahun lalu.

HRW melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, Sumatera, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Direktur HRW di Asia, Brad Adams, mengatakan, Presiden Yudhoyono harus tegas dan minta zero tolerance terhadap siapa pun yang main hakim sendiri atas nama agama. “Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan tentu saja merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia,” ungkapnya di Jakarta, Kamis. 

Penguatan Identitas 
Sosiolog dari Unika Soegijapranoto, Hermawan Pantjasiwi, melihat adanya peningkatan konflik bernuansa agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran salah satunya disebabkan adanya tuntutan penguatan identitas kelompok pada zaman yang semakin keras. Sementara itu pembiaran yang dilakukan oleh negara terjadi karena kondisi pemerintahan yang rapuh.

“Kondisi negara yang berasal dari partai-partai beraneka warna membuat siapa pun yang berada dalam jaringan kekuasaan menjadi diam saja karena takut. Pemerintah menjadi tidak sehat dan tidak mempunyai wibawa, karena lebih mengutamakan teror dari kelompok-kelompok tertentu yang bisa merongrong partainya,” ungkapnya. Sementara itu dalam waktu yang cepat, kelompok-kelompok berbasis agama tumbuh dengan pesat dan juga ingin menunjukkan keberadaannya. 

Pakar hukum dan politik Universitas Padjajaran Bandung, Indra Perwira, mengatakan tindak kekerasan jelas pelanggaran hukum. Jadi jika pemerintah sengaja melakukan pembiaran, lanjut Indra, itu sama artinya pemerintah tidak mampu menegakkan hukum. Kondisi ini merupakan ironi di negara yang menjunjung tinggi hukum seperti di Indonesia.

"Semestinya pemerintah tegas. Tidak boleh melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang dialami kelompok minoritas," katanya. Tidak adanya sanksi hukum justru menyuburkan aksi kekerasan. 

Namun terkait aksi kekerasan terhadap kaum minoritas, Indra melihat sumber persoalannya semata-mata adalah faktor ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang terjadi mudah menyulut aksi kekerasan dengan dalih apa pun. Terutama aksi kekerasan yang ditujukan ke kaum minoritas yang secara ekonomi dianggap lebih mapan.

Teddy Molindo, seorang pengusaha dari Malang, menyayangkan sikap lembek pemerintah dalam menghadapi  aksi-aksi kekerasan di masyarakat. “Harusnya pemerintah bisa bertindak tegas terhadap ormas keagamaan yang sudah tidak sejalan dengan hukum yang berlaku di negara ini. Janganlah membiarkan terjadinya pelecehan hukum dengan dalih agama atau kelompok tertentu, karena negara ini berdiri atas plural keanekaragaman,” ujarnya. 

Harapan senada disampaikan oleh Uddy Saifudin, seorang pengusaha perhotelan di Kota Batu. “Radikalisme harus dijawab dengan ketegasan. Negara tak boleh kalah dengan pemaksaan kehendak golongan tertentu atas golongan lainnya. Kegagalan atau ketidakmampuan pemerintah mengatasi hal itu akan menumbuhkan ketidakpercayan yang akhirnya akan berujung pada pembenaran dengan tafsir yang berwarna-warni,” ungkapnya. Menurut riset yang dilakukan Setara Institute, Jawa Timur adalah salah satu provinsi di mana tingkat intoleransinya cukup tinggi, selain Jawa Barat.  (Didit Ernanto/Eka Susanti/Retno Manuhoro)
Sumber : Sinar Harapan