Saturday 23 February 2013

AMBA, SEBUAH NOVEL LAKSMI PAMUNCAK



INDONESIA

Laksmi Pamuntjak: Pulau Buru & Normalisasi Kejahatan 65

Sebuah novel berjudul AMBA tentang gejolak 65 dan pulau Buru baru saja terbit. Inilah buku yang menurut pengarangnya, ingin menampilkan sejarah tentang orang-orang biasa yang dilindas arus kekerasan di Indonesia.
Sejarah kadang dan bahkan sering menempuh jalan tak terduga.
AMBA bercerita tentang sejarah kekerasan di Indonesia.
Apa yang terjadi setelah orde baru mengirim ribuan tahanan politik ke Buru? Pulau itu berubah: bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah tempat “permukiman“ para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku.
Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata orde baru. Tapi ada banyak pula orang dari generasi itu yang “melenceng“ dari cita-cita orde baru, paling tidak itu terjadi pada Laksmi Pamuntjak, yang baru saja menerbitkan novel “AMBA“.
Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.
Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia,“ kata Laksmi Pamuntjak kepada Deutsche Welle.
“Sebuah novel bukan untuk mengoreksi Sejarah. Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah,“ kata Laksmi.
Deutsche Welle:
Mengapa anda menulis tentang 1965?
Laksmi Pamuntjak:
Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu ‘benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu “sang musuh negara.” Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan – generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, human rights violations yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, ada generasi baru yang sama sekali buta sejarah. Survey The Jakarta Globe tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!
Deutsche Welle:
Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang pulau Buru?
Laksmi Pamuntjak:
Laksmi Pamuntjak: tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah.
Yang jelas bukan untuk mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol, saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga, amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu lama. All the silences around you. Itu juga bagian dari duka itu sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang budi.
Deutsche Welle:
Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda lihat?
Laksmi Pamuntjak:
Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan. Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana. Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak mengerti nilai sejarahnya.
Deutsche Welle:
Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat pulau Buru?
Laksmi Pamuntjak:
Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing survivor. Ada yang merasa bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan body languagenya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini, dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau Buru…apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi the power game-nya sudah berubah. Tapi body language para eks tapol begitu kental, seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan merupakan “masa lalu” saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam pengalaman para survivor.
Deutsche Welle:
Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari orang-orang dekat anda?
Laksmi Pamuntjak:
Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah belonging. Dia selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling kental memang Zulfikar.
Deutsche Welle:
Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?
Laksmi Pamuntjak:
Sulit ya… karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya sendiri. Soal style beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis. Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan.

Tuesday 19 February 2013

Menguak Sejarah Pasca G30S/PKI


http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/menguak-sejarah-pasca-g30spki/1026002

Menguak Sejarah Pasca G30S/PKI

Diperbaharui 5 October 2012, 12:48 AEST
Tidak banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam penumpasan gerakan komunisme di Indonesia.
"Biasanya kita hanya terfokus pada pembunuhan para tujuh jenderalsaat Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), tapi melupakan tragedi pembunuhan massal setelah itu yang lebih memakan korban," ujar Dr Katharine (Kate) McGregor.
Kate adalah penulis buku 'Contours of Mass Violance in Indonesia 1965-1968'.

Buku ini berisi kumpulan studi kasus mengenai G30S/PKI dimana ia mengungkapkan adanya upaya untuk menghancurkan kekuatan sosial yang diusung Bung Karno dengan rezim militer yang otoriter dan mendukung Barat.

"Banyak sekali ditemukan adanya propaganda politik pada masa Orde Baru. Pemerintahan saat itu jelas-jelas menyatakan bahaya gerakan Komunisme dan pemikiran kiri," kata Kate yang juga dosen senior dari Fakultas Pengkajian Sejarah dan Filsafat di University of Melbourne.

"Ada beberapa sejarah yang belum dapat dibuktikan, bahkan dianggap fiktif. Misalnya saja saat disebutkan adanya penyiksaan di lubang buaya. Hasil otopsi tidak berhasil membuktikannya."

"Tapi justru buku ini akan lebih fokus pada pembantaian mereka yang dianggap komunis."

Simak wawancara Radio Australia bersama Dr Katharine (Kate) McGregor (5/12), yang juga sudah menerbitkan buku "Ketika Sejarah Berseragam: Ideologi Militer dalam Menyusun Masa Lampau Indonesia".

Monday 18 February 2013

ARGENTINA ADILI 68 PENJAHAT HAM


Argentina Adili 68 Penjahat HAM

BERDIKARI Online, Sabtu, 1 Desember 2012 | 17:51 WIB   ·   0 Komentar
Argentina kembali melakukan terobosan besar dalam upaya menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) di negerinya. Pada hari Rabu, 28 November lalu, Argentina memulai pengadilan besar-besaran terhadap pelaku kejahatan HAM selama kediktatoran militer di tahun 1976-1983.
Tidak tanggung-tanggung, 68 tersangka pelanggar HAM, yang sebagian besar mantan pejabat militer dan sipil, langsung diadili. Mereka dituding terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan terhadap 800 orang oposan politik jaman itu.
Untuk pertama kalinya, enam pilot yang terlibat dalam kasus “penerbangan maut” turut diadili. “Penerbangan maut” mengacu pada pembunuhan terhadap sejumlah tahanan politik dengan cara dibius dan dibuang ke sungai Rio de la Plata dan Samudera Atlantik.
Sementara 60-an terdakwa lainnya dituding terlibat dalam penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap korban/aktivis politik di kamp penyiksaan bernama ESMA (Sekolah Mekanika Angkatan Laut). Diperkirakan 5000 tahanan politik ditahan dan mengalami penyiksaaan di ESMA selama bertahun-tahun.
Sebagian besar terdakwa adalah bekas Angkatan Laut, 5 orang penjaga pantai, bekas tentara dan polisi, bekas petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP), dan dua orang sipil, yakni Pengacara Gonzalo Torres de Tolosa dan mantan sekretaris keuangan Juan Alemann.
“Ini akan menjadi pengadilan terbesar sejauh ini, karena jumlah korban, terdakwa, dan saksi,” kata Carolina Varsky, seorang pengacara dengan Pusat Studi Hukum dan Sosial (CELS).
“Perang kotor” mulai meletus di Argentina setelah meninggalnya Presiden Juan Peron tahun 1974 dan digantikan oleh istri ketiganya, Isabel Peron. Isabel Peron menggunakan cara represif untuk menindas Monteneros, gerilyawan yang keluar dari sayap kiri Peronis.
Di bawah kediktatoran Jenderal Jorge Videla, sebanyak 30.000 aktivis buruh, petani, mahasiswa, dan Hak Azasi Manusia dibunuh secara keji. Tidak sedikit pula yang dipenjara dan diasingkan. Di bawah payung “operasi condor”, rezim Vinela juga bekerjasama dengan rezim sayap kanan tetangganya untuk membunuh banyak pejuang kiri Amerika Latin. Diantaranya bekas Presiden berhaluan kiri di Bolivia, Juan José Torres, dan mantan panglima Angkatan Bersenjata Chile di era Allende, Jenderal Carlos Prats, yang sedang menjalani pengasingan di Argentina.
Begitu kekuasaan militer berakhir tahun 1983, para aktivis berupaya membawa para penculik, pembunuh, penyiksa, dan pemerkosa ke pengadilan. Akan tetapi, upaya itu ditentang oleh para perwira di Angkatan Bersenjata, yang telah mengancam melakukan kudeta kalau hal itu dilakukan.
Lalu, di era Presiden Carlos Menem, yang dikenal neoliberal itu, para penjahat HAM itu justru diberi pengampunan. Namun, situasi segera berbalik pada tahun 2003, ketika Nestor Kirchner, yang mewakili sayap kiri Peronis, naik ke puncak kekuasaan. Ia menyatakan UU yang memberi pengampunan dan perlindungan terhadap penjahat HAM itu sebagai inkonstitusional.
Dan sekarang, di bawah kepemimpinan Cristina Fernandez, istri presiden Nestor Kirchner, proses pengusutan dan pengadilan terhadap penjahat HAM berlangsung cukup progressif. Bahkan, Cristina Fernandez membuat semacam sayembara nasional untuk mencari penjahat HAM. Pemerintah memberi penghargaan sebesar 100.000 peso (20.000 dolar) kepada siapa saja yang memberi informasi mengenai penjahat HAM.
Tahun ini, Jenderal Vinela, sang diktator, sudah dinyatakan bersalah dalam kasus penculikan terhadap anak-anak di masa kekuasaannya. Ia pun telah dijatuhi hukuman penjara 50 tahun. Artinya, sang diktator akan menunggu kematiannya di dalam penjara.
Jika  Argentina berhasil menyeret pelanggar HAM ke pengadilan dan menjatuhinya hukuman berat, maka di Indonesia justru kebalikannya: jangankan mengadili para penjahat HAM, mengakui kejahatan saja negara enggan melakukannya. Di Indonesia, pada tahun 1965 hingga 1970-an, ada jutaan orang yang dibunuh dan dihilangkan paksa. Namun, seperti anda ketahui, tak satupun pelaku kejahatan yang pernah diadili dan dijatuhi hukuman.
Begitu pelitnya negeri ini mengakui kebenaran, sampai-sampai banyak orang yang mulai lupa—atau pura-pura lupa–dengan kejahatan itu. Akhirnya, saya teringat kata-kata Milan Kundera: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Raymond Samuel

TAHANAN PENJAHAT HAM DI ARGENTINA

Pengetatan Tahanan Rumah Bagi Penjahat HAM Di Argentina

BERDIKARI Online, Minggu, 17 Februari 2013 | 1:12 WIB   ·   0 Komentar
aktivis HAM
Tahun 2012 lalu, Argentina membuat gebrakan besar dalam menegakkan Hak Azasi Manusia.  Dalam setahun, negeri Tango itu menyeret 400-an penjahat HAM diseret ke pengadilan.
Namun, ada sedikit kerikil kecil yang menyandung proses itu. Banyak penjahat HAM diberi perlakuan khusus: tahanan rumah. Pendekatan lunak ini dilakukan karena berbagai alasan.
Pengadilan Argentina membolehkan tahanan rumah karena beberapa syarat, seperti usia di atas 70 tahun, melakukan pengobatan rutin, atau mengalami gangguan kesehatan yang tak bisa diobati di rumah sakit.
Unit Penuntutan untuk Monitoring dan Pengawasan Kasus Pelanggaran HAM Argentina menyebutkan, hingga akhir tahun 2012 ada 37,8 persen dari 813 tersangka pelanggar HAM yang dikenakan tahanan rumah.
“Kau mendengar beberapa kasus dimana keluarga korban melihat mereka (penjahat HAM) dan mengutuknya. Dan jika mereka tidak mengutuknya karena mereka tak melihatnya,” kata Alan Iud, seorang pengacara dan sekaligus anggota Las Madres dPlaza de Mayo, kepada IPS News.
Las Madres de Plaza de Mayo adalah organisasi yang berjuang mencari anak-anak mereka yang hilang atau ditahan selama kediktatoran militer 1976-1983 di Argentina.
Pada bulan Januari lalu, mantan anggota intejen militer Argentina, Carlos Hidalgo, yang dituntut karena 200-an kasus kejahatan HAM, terlihat sedang bersepeda di jalanan Buenos Aires.
Hidalgo ini juga tersangka kasus penculikan bagi bernama Laura Catalina de Sanctis, anak perempuan dari pasangan aktivis yang dihilangkan saat berlangsungnya kediktatoran. Hidalgo kemudian mendaftarkan Laura sebagai anak kandungnya.
Ketika Hidalgo bersepeda di jalanan itu, Laura melihatnya. Laura kemudian melaporkan hal itu ke pengadilan. Menurut Laura, Hildago seharusnya dirawat di sebuah pusat  geriatri di Buenos Aires.
Karena kasus itu, pengadilan Argentina mencabut status tahanan rumah Hidalgo dan kemudian menempatkannya di rumah sakit penjara Ezeiza, yang terletak di pinggiran kota Buenos Aires.
Bulan ini, Jorge Luis Magnacco, dokter kandungan yang dituduh terlibat dalam berbagai kasus pencurian bayi selama kediktatoran, juga terlihat sedang berjalan-jalan bersama istrinya.
Bahkan, salah seorang anggota HIJOS (Anak untuk Identitas dan Keadilan, Melawan Lupa dan Pembisuan) mengambil gambar  Magnacco sedang memasuki pusat perbelanjaan dan sebuah restoran.
Pengadilan Argentina juga langsung mencabut tahanan rumah Magnacco dan memesan dokter untuk merawatnya di dalam penjara.
Sebagian aktivis HAM mengaku mereka tidak menolak pemberian status tahanan rumah untuk kasus tertentu. Hanya saja, mereka mendesak agar ada kontrol dan pengawasan ketat terhadap para tahanan tersebut.
“Hakim harus membuat aturan soal Tahanan Rumah. Dan itu tidak sama dengan penangguhan penahanan,” kata Lorena Balardini, kepala peneliti di Pusat Studi Sosial dan Hukum (CELS), sebuah NGO yang bergerak dalam isu-isu hukum dan HAM.
Bagi Balardini, mengurangi jaminan tanahan rumah bukanlah pilihan, karena itu bagian dari jaminan dalam proses mengadili kejahatan. “Tetapi tidak bisa tahanan itu dibiarkan bebas sesuai kehendak mereka,” katanya.
Menurut Balardini, hak tahanan rumah bisa segera dicabut apabila yang bersangkutan (pelanggar HAM yang menerima hak itu) melakukan pelanggaran, seperti bepergian, atau melanggar kesepakatan yang sudah dibuat dengan hakim.
“Tahanan rumah adalah hak istimewa karena si tahanan hidup nyaman di dalam rumahnya sendiri. Tetapi ini juga berdasarkan kriteria hukum dan kemanusiaan,” kata dia.
Alan Iud juga tak menolak pemberian status tahanan rumah tersebut kepada tahanan karena pertimbangan kemanusiaan. Namun, menurut dia, si tersangka harus dipastikan benar-benar menjalani tahanan rumah tersebut. “Masalahnya hari ini tidak ada kontrol terhadap mereka,” kata Lud.
Menurut Lud, para hakim, sekretaris atau petugas yang ditunjuk pengadilan harus ditugaskan untuk melakukan verifikasi sesuai perintah pengadilan. “Mereka bisa melakukan kunjungan dadakan, melakukan panggilan telpon dadakan, atau mengirimkan penjaga,” ujar Lud.
“Pokoknya harus ada mekanisme untuk mereka. Karena saat ini tidak ada kontrol sama sekali. Dan mereka (para tahanan) tahu betul hal itu,” tambahnya.
Lud pun menolak alasan hakim bahwa mereka kekurangan personel. Sebab, bagi Lud, panggilan telpon mendadak pun sudah cukup untuk mengecek keberadaan mereka.
Kalau hal itu tidak bisa juga, Lud mengusulkan agar ada lembaga khusus yang ditugaskan melakukan pengawasan. Ia mengusulkan Patronato de Liberados (Lembaga Pemasyarakatan), yang berada di bawah Kementerian Hukum dan anggarannya disediakan oleh Kementerian.
Namun, di luar pro-kontra di atas, Argentina terus membuat kemajuan dalam penegakan HAM. Baru-baru ini Argentina menambah lagi  1,013 orang tersangka baru, baik dari militer maupun sipil, terkait kejahatan HAM di era kediktatoran. Dan sebanyak 378 orang sudah dijatuhi hukuman. Jumlah ini telah meningkat lima kali lipat sejak tahun 2008.
Raymond Samuel

Thursday 14 February 2013

Komnas HAM yang Memalukan


Komnas HAM yang Memalukan

OPINI | 14 February 2013 | 16:45
Dibaca: 211   Komentar: 0   1 aktual
13608350501887045495
(sumber: Antaranews.com)
Memalukan!
Cemoohan itu sangat pantas dilontarkan ke Komnas HAM yang sekarang (periode 2012 – 2016).
Betapa tidak baru tiga bulan menjalankan tugasnya para komisionernya sudah bertikai hanya gara-gara cemburuan dan rebutan fasilitas mewah.
Semula masa jabatan pimpinan Komnas HAM adalah dua setengah tahun, setelah periode itu akan diganti olah salah satu dari tiga belas komisioner yang ada.
Tetapi, di internal para komisioner itu kini bertikai. Sembilan di antara tiga belas komisioner itu bersikukuh untuk merevisi tata tertib tentang masa jabatan pimpinan Komnas HAM menjadi satu tahun. Jadi, setiap tahun di antara mereka akan bergilir menjadi pimpinan Komnas HAM.
Gara-gara berbeda pendapat soal perlu-tidaknya revisi masa jabatan pimpinan itu, para komisioner itu terpecah dua. Yang pertama, dikenal dengan sebutan “kelompok sembilan,” karena terdiri dari sembilan orang, yang berkehendak kuat mengrevisi, dan yang kedua “kelompok empat,” yang menentangnya.
Lewat rapat yang ricuh, pada 23 November 2012, akhirnya disetujui usulan revisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu. Maklum saja, sembilan melawan empat, tentu saja kalah suara.
Kenapa mereka begitu antusias untuk mengrevisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu? Baru saja menjabat, sudah mengadakan rapat untuk mengrevisi masa jabatan tersebut. Bukan mempriotitaskan pembicaraan tentang visi dan misi mereka dalam menjalankan tugasnya di Komnas HAM.
Ternyata, seperti yang diutarakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang (Kontras) Haris Azhar, selain ada muatan politis menjelang Pemilu 2014, mereka rebutan menjadi pimpinan Komnas HAM itu karena komisioner yang menjabat jabatan itu akan memperoleh mobil dinas Camry! (MajalahTempo, 27 Januari 2013).
Karena, hanya ada satu mobil dinas Camry untuk pimpinan, maka komisioner yang lain tidak bisa ikut menikmati mobil mewah tersebut. Maka, terjadilah rebutan menjadi pimpinan itu. Supaya “adil” mereka berinisiatif untuk mengrevisi masa jabatan pimpinan itu dari dua setengah tahun, menjadi satu tahun. Jadi, dengan bergilir menjadi pimpinan, para komisioner itu berharap bisa bergilir menikmati mobil Camry.
Dengarkan keluhan salah satu komisioner dari kelompok sembilan, Imdadun Rahmat: Kelompok sembilan mengaku kecewa terhadap koleganya yang duduk di kursi pimpinan. Mereka dinilai tidak solider dan ingkar janji. “Dulu Sandra berjanji tidak akan menerima fasilitas mobil kecuali semua komisioner mendapatkannya.”
Belakangan Sandra meminta maaf karena lupa mengklarifikasi bahwa mobil dinas yang ia terima karena mengira semua komisioner memperoleh fasilitas yang sama.  … (Tempo, 27 Januari 2013).
Seperti kanak-kanak merengek-rengek rebutan permen, bukan? Sangat tidak dewasa, dan sangat memalukan. Semua ingin menikmati kemewahan birokrasi, tetapi karena kemewahan itu tidak bisa dibagi rata, maka ada komitmen di antara mereka: Jika tidak bisa berbagi, maka semua harus tidak dapat. Yang dapat, harus menolak dengan alasan tolrenasi. Dangkal dan memalukan!
Komnas HAM periode ini rupanya diisi oleh komisioner-komisionernya bermental  matre, yang hanya berburu kenikmatan kemewahan birokrasi ketimbang memikirkan tugas utamanya dalam perjuangan  penegakan HAM di negara ini.
Tajuk Rencana, Kompas, Rabu, 13 Februari 2013, menulis: “Gagasan reformasi birokrasi yang digulirkan dengan cara menggilir masa jabatan pimpinan Komnas HAM selama setahun sama sekali tidak punya logika dan korelasi dengan isu penghormatan HAM, selain hanya giliran kapan menjadi ketua.
Dengan kondisi Komnas HAM yang diisi oleh para komisionernya yang hanya mengutamakan ambisi mengejar kenikmatan kemewahan birokrasi seperti ini, sangat rentan membuat Komnas HAM diperalat dan mau diperalat oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Apalagi menjelang Pemilu/Pilpres 2014. Ketika harus ada verifikasi kelayakan seorang tokoh tertentu untuk maju sebagai capres/cawapres, bisa jadi dengan mendekati Komnas HAM akan keluar semacam “rekomendasi” tentang kebersihan tokoh tersebut dari tindakan pelanggaran HAM (masa lalu).
Dengan mental hedonisme para komisioner Komnas HAM ini, maka mereka akan dengan mudah dipengaruhi dengan imbalan materi yang bisa memenuhi nafsu kenikmatan hidup mereka itu. Bayangkan saja, “hanya” sebuah Camry (yang bernilai Rp. 500 jutaan – Rp. 600 jutaan) saja tanpa malu menjadi rebutan di antara mereka. Apalagi dengan materi yang jumlahnya berlipat-lipat kali dari itu, yang akan dengan mudah diberikan oleh tokoh-tokoh tertentu yang hendak nyapres, ataupun kepentingan-kepentingan politik tertentu dari parpol-parpol yang ada.
Sementara tugas-tugas sebenarnya sebagai Konas HAM mereka lupakan saking terlena dengan kenikmatan dan kemewahan birokrasi yang terus dikejar. Problem hak asasi manusia yang di Indonesia akan semakin jauh dari terpecahkan, bahkan semakin destruktif, seperti kebebasan beribadah, kebebasan atas keyakinan tertentu, intoleran, konflik agraria, pelanggaran HAM masa lalu, misteri pembunuhan aktivis HAM dari Kontras, Munir, konflik Poso, dan lain-lain bisa jadi di periode Komnas HAM akan semakin buruk, karena kurang diperhatikan.
Pengaruh politik di Komnas HAM, yang seharusnya sangat independen itu sudah terkontaminasi sejak awal di proses pemilihan para komisionernya. Betapa tidak, yang memilih mereka itu anggota DPR. Sedangkan kita sendiri tahu bagaimana rata-rata kualitas anggota DPR itu? Mereka itu juga menjabat sebagai anggota DPR demi mengejar kepentingan politik parpol-nya, termasuk dalam memajukan capres-capres-nya, demi kepentingan mengejar kekayaan pribadi dan kemewahan fasilitas jabatatan, dan sebagainya. Bagaimana bisa, filter kotor menghasilkan sesuatu yang bersih?
Dari sinilah berawal terpilihnya beberapa anggota komisoner yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, karena rekam jejak perjuangan HAM-nya nyaris tak terdengar. Hasilnya, begitu menjabat yang mereka perjuangkan adalah “hak asasinya” untuk bisa  menikmati kemewahan Camry, dan tentu saja fasilitas mewah lainnya.
Tajuk Rencana Kompas tersebut di atas menulis sebuah ironisme. Justru di masa rezim Orde Baru yang otoriter dan represif, Komnas HAM jauh lebih bergigi daripada yang di masa reformasi. Apalagi yang di periode 2012-2016 ini, yang semakin redup dan kehilangan orientasinya sebagai  pejuang penegakan HAM di negeri ini.
Komnas HAM dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1993. Di era pemerintahan Soeharto yang sering dikecam sebagai tirani dan diktator itu, prestasi Komnas HAM justru luar biasa. Sehingga orang menyebut mereka sebagai “anak nakal” Orde Baru.
Kompas menulis: “Awalnya, Komnas HAM yang dipimpin mantan Jaksa Agung Ali Said dipandang aktivis HAM hanya sebagai pemanis wajah otoriter Orde Baru. Namun, dalam perkembangannya, di tengah iklim otoriter, Komnas HAM justru mampu mendobrak hegemoni negara Orde Baru. Komnas HAM begitu independen terhadap negara, termasuk terhadap Presiden Soeharto. Ia mengungkapkan praktik peradilan sesat persidangan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang melibatkan militer. Komnas HAM juga menangani isu Timor Timur , menginvestigasi penyerangan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juni 1996, dan mengungkap penculikan aktivis mahasiswa di penghujung Orde Baru. Sejumlah perwira militer diadili untuk kasus tersebut meskipun sejumlah korban penculikanmasih hilang sampai sekarang.
Seandainya Komnas HAM dari era Orde Baru ini masih bekerja, bisa jadi kasus misteri pembunuhan Munir, konflik Poso, dan lain-lain sejenisnya,  akan bisa lebih cepat terungkap daripada yang sekarang.
Komnas HAM yang sekarang sudah tidak tahu diri rebutan Camry, malah marah ketika hal itu diungkapkan ke publik.
Komisioner  Nur Kholis, membantah semua tudingan tentang rebutan Camry itu. Kata dia, mereka sebelumnya sudah mempelajari komisi-komisi nasional yang lain, yang masa kerja pimpinannya berganti setiap tahun. “Tidak ada masalah di sana,” katanya (Tempo, 27 Januari 2013).
Komisi nasional manapun yang dimaksud Nur Kholis itu, tetap saja apa yang mereka lakukan dalam merivisi masa jabatan pimpinan Komnas HAM itu tidak pantas. Karena yang lazim terjadi di komisi nasional lain, bukankah selama ini tidak lazim di Komnas HAM? Mengapa mau ditiru? Apa relevansi dan substantifnya dengan tugas inti Komnas HAM itu? Dengan perilaku mereka seperti ini, maka seharusnya yang direvisi adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Direvisi agar masa jabatan seorang pimpinan Komnas HAM ditentukan secara pasti lamanya. Bukan malah menjadi “piala bergilir” di tangan para komisionernya yang oportunis dan pragmatis.
Nur Kholis marah kepada pihak-pihak tertentu di LSM-LSM HAM yang mengungkapak rebutan Camry dan konflik internal di Komnas HAM. Nur Kholis menyebutkan Imparsial, anggota koalisi pemantau, semstinya menghormati kesepakatan bersama untuk tidak mencampurim urusan internal masing-masing. “Saya kecewa,” katanya (Tempo, 27 Januari 2013).
Padahal, tentu saja publik harus tahu, meskipun itu konflik internal komisi. Karena dampak konflik itu sangat buruk secara nasional. Dengan terabainya perjuangan penegakan HAM, dan terkontaminasinya Komnas HAM dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Misalnya, perbedaan sikap di Komnas HAM periode ini dalam penanganan kasus Poso.
Menurut laporan Tempo, seperti yang diutarakan Komisioner Natalius Pigai, pimpinan Komnas HAM Otto Nur Abdullah “tidak melindungi dan mendukung kerja tim dalam penanganan kasus Poso.”
Otto menegur komisioner Siane Indriani, yang tengah menyelidiki konflik Poso yang kian memanas. Langkah itu dilakukan sang ketua setelah menerima telepon dari seseorang di Mabes Polri. “Dia masuk ke ruang Siane dan bilang pernyataan di media bukan sikap resmi Komnas HAM,” kata Natalius. Hal ini dibantah oleh Otto, tetapi dibenarkan oleh sumber Tempo yang lain.
Jadi, akan jadi apa Komnas HAM di bawah para komisionernya yang sekarang? Madesu-lah, masa depan suram lah penegakan HAM di NKRI ini. ***