LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965
( vereniging ter verdediging van de
slachtoffers van 1965 )
K.v.K. Utrecht 30204241
Sekretariat: Nijenheim 33-38, 3704 SE Zeist,
Nederland
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 08 Oktober 2012
Nomor : 01 / LPK'65 / X
/ 2012
Perihal : Press
Releas
MELAWAN LUPA, MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN
(Sabutan pada Peringatan Tragedi Nasional
1965-66, pada 07 Oktober 2012 di Diemen , Nederland)
Oleh MD Kartaprawira
# Melawan lupa
sejarah tragedi kemanusiaan 1965-66
Rejim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto yang
timbul setelah berhasil menghancurkan Gerakan Tigapuluh September (G30S), dengan
tujuan memuluskan jalan kudetanya terhadap pemerintahan Soekarno, melakukan pembantaian, penahanan, pembuangan, penghilangan dan
penganiayaan masal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan
politiknya: orang yang mereka tuduh anggota PKI atau golongan kiri lainnya - pendukung
Soekarno. Kurang lebih 3 juta orang tak
berdosa menjadi korban keganasan dan kebiadaban rejim tersebut. Demikianlah
berdirinya rejim Orde Baru Suharto dibangun di atas 3 juta mayat orang tidak
berdosa. Inilah kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat yang sangat dahsyat
sesudah kejahatan Nazi Hitler.
Sejarah targedi kemanusiaan 1965-66 telah dijalani oleh
para korban sepanjang 47 tahun lamanya dalam keadaan terpinggirkan,
terpojokkan, dengan menanggung segala penderitaan dan ketidaknyamanan di segala
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Meski sudah 47 tahun berlalu
kasus tersebut sampai detik ini belum mendapatkan
perhatian yang wajar dari penegak hukum di Indonesia, seakan-akan pada tahun
1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat.
Jadi percuma saja dibuat perundang-undangan HAM dalam Negara Indonesia,
kalau perundang-undangan tersebut tidak diterapkan untuk menegakkan keadilan
bagi para korban pelanggaran HAM. Dan sangat terkutuklah para penyelenggara
negara yang sudah lupa akan keberadaan „Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum“.
Sekali lagi perlu diingatkan, bahwa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan serta penahanan
selama puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara
lainnya yang dilakukan tanpa melalui
proses hukum oleh rezim Orde Baru terhadap
rakyat Indonesia tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan
pelanggaran HAM berat - tidak pandang apapun agama, ideologi,
pandangan politik, suku, etnis dari para korban. Bahkan seandainya PKI terbukti
terlibat G30S pun tidak dibenarkan penguasa negara melakukan tindakan sewenang-wenang yang begitu kejam terhadap
para anggota PKI dan simpatisannya tanpa melalui proses hukum. Rezim Orde Baru
tidak mau belajar sejarah masa lalu berkaitan dengan kebijakan pemerintah era
Soekarno terhadap pemberontak PRRI-Permesta,
dimana PSI dan Masyumi tersangkut secara langsung. Tidak hanya tidak ada
pembantaian dan penahanan masal selama belasan tahun terhadap para
anggota kedua partai tersebut, tetapi bahkan mereka yang menyerah oleh
pemerintah diberi amnesti dan dikembalikan ke masyarakat.
Bahkan TAP MPR
No.XXV/1966 pun tidak dapat dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan kekejaman-kekejaman tersebut
di atas. Sebab TAP tersebut hanya menyatakan pembubaran Partai Komunis
Indonesia beserta onderbouwnya dan pelarangan ajaran marxisme-leninisme di
Indonesia. Tidak ada pasal yang langsung maupun tidak langsung bisa diterapkan sebagai
dasar untuk pembenaran tindak kejahatan kemanusiaan terhadap para anggota PKI
beserta onderbouwnya.
Di samping itu, masalah para
korban pelanggaran HAM 1965 tersebut secara faktual tidak ada hubungannya
dengan masalah apa yang dinamakan G30S yang melakukan penculikan para jenderal
dan kemudian pembunuhan terhadap mereka di Lubangbuaya dan tindakan-tindakan lainnya.
Tapi justru rejim Suharto yang sengaja menghubung-hubungkan mereka dengan
masalah G30S melalui penyebaran fitnah
dan kebohongan. Dengan demikian rejim
Suharto mendapatkan dalih untuk menghabisi orang-orang kiri. Misalnya
propaganda bohong Orba bahwa di Lubangbuaya para Gerwani memotong-motong alat
kelamin para jenderal. Tetapi kenyataannya
visum et repertum dengan jelas menyatakan bahwa alat kelamin para jenderal utuh.
Bahkan disebutkan bahwa di antara mereka
ada yang disunat dan ada yang tidak. Jadi terbukalah kebohongan rejim Suharto
untuk membangkitkan rasa marah, dendam dan benci di kalangan masyarakat yang satu
terhadap lainnya sehingga dengan demikian mereka bisa ditunggangi untuk membasmi
lawan politiknya. Akibatnya sangat fatal dan menyedihkan.
Sampai saat ini masih
terus diperdebatkan siapa yang salah dan siapa dalang G30S: PKI kah, CIA kah,
Soekarno kah atau lain-lainnya. Perlu mendapatkan perhatian, bahwa diskusi
tentang dalang G30S memang sangat penting untuk pelurusan sejarah. Tapi hendaknya
jangan sampai meninggalkan atau menelantarkan masalah manusia yang menjadi
korban pelanggaran HAM berat 1965-66, yang penderitaannya selain dirasakan oleh
para korban sendiri, juga oleh puluhan juta keluarga korban.
Tidak dapat diketahui sampai berapa puluh
tahun lagi perdebatan mengenai dalang G30S tersebut akan berakhir. Meskipun
demikian, sudah jelas dan nyata bahwa tidak
tergantung siapa dalang G30S, pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI
dan kiri lainnya, tetap tidak dapat dibenarkan secara hukum (nasional maupun
internasional). Tetap tindakan tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
--pelanggaran HAM berat. Masalah dalang G30S adalaah masalah pelurusan sejarah,
sedang masalah penuntasan kasus korban pelanggaran HAM berat 1965-66 adalah masalah penegakan kebenaran, hukum,
keadilan dan demokrasi bagi para korban. Karena kedua masalah tersebut sangat
penting, maka penanganannya harus berjalan parallel – tidak tergantung satu
sama lain.
Memang harus diakui bahwa sebelum timbulnya peristiwa
G30S telah terjadi konflik-konflik horisontal di kalangan masyarakat di
berbagai daerah (a.l. akibat adanya tindakan aksi sepihak yang berkaitan dengan
masalah landreform) yang menimbulkan korban di kedua belah pihak yang
bersengketa. Konflik-konflik tersebut sedang berada dalam upaya penyelesaiannya oleh
pemerintah kala itu. Tetapi
pada pasca G30S sisa-sisa dendam akibat konflik horisontal tersebut
dimanfaatkan oleh rejim Suharto dengan tujuan untuk membasmi lawan-lawan
politiknya. Maka timbullah satuan-satuan milisi yang melakukan pembunuhan dan
penganiayaan terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan pendukung Soekarno.
Tanpa
ABRI/RPKAD/Kopkamtib berdiri di belakangnya tak mungkin para milisi bisa
melakukan dengan leluasa penangkapan-penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan
massal. Jadi ABRI/RPKAD/Kopkamtib adalah yang memegang peranan utama terjadinya kejahatan
kemanusiaan – pelanggaran HAM berat 1965-66. Jendral Sarwo Edy sendiri telah mengakui
melakukan/terlibat pembantaian 3 juta orang.
Oleh karena itu Jenderal Suharto serta jajaran strukturalnya harus bertanggung jawab. Seharusnya Suharto sebagai pemegang Supersemar
dan Panglima Kopkamtib melakukan kebijakan-kebijakan yang bisa meredam
berkobarnya dendam konflik horisontal masa lalu, sehingga tidak terjadi
pembunuhan massal. Tetapi Suharto justru melakukan kebijakan kebalikannya
seperti tersebut di atas.
Maka dari
itu penguasa baru Republik Indonesia pasca Suharto harus berani mengakui bahwa Negara
(rejim Suharto a/n Negara) telah melakukan pelanggaran HAM berat dan oleh
karena itu harus MINTA MAAF kepada para korban
dan keluarganya. Selanjutnya pemerintah harus berani mengambil
kebijakan-kebijakan untuk menuntaskan kasus tersebut berdasarkan UU No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, demi kebenaran dan keadilan yang manusiawi
bagi para korban dan demi terciptanya rekonsiliasi nasional.
Sejarah
tragedi nasional yang maha dahsyat tersebut tidak bisa dilupakan dan harus
tidak dilupakan, sebagaimana wasiat “jasmerah”-nya Bung Karno – “Jangan
sekali-kali meninggalkan sejarah”. Sebab
dari sejarah tersebut harus ditarik pelajaran, agar kita bisa melihat
yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Suatu kesalahan sejarah
masa lalu yang menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan harus tidak terulang
lagi. Sejarah masa lalu betapa pun pahitnya harus kita pelajari dan diambil
pelajarannya. Jangan sejarah masa lalu malah dilupakan. Segi positifnya terus
dipupuk, sedang segi negatifnya diperbaiki dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Maka dari itu tiap tahun
tragedi kemanusian 1965 tersebut diperingati baik secara diam-diam maupun
secara transparan terbuka, baik di tanah air mau pun di luar negeri. Bahkan
peringatan tersebut sering disertai pernyataan tuntutan kepada pernyelenggara
negara, tanpa khawatir akhirnya tuntutan-tuntutan tersebut hanya dibuang ke
keranjang sampah.
Harus
disayangkan adanya usaha-usaha pihak tertentu yang menyerukan agar kita
melupakan sejarah masa lampau.
# Angin segar
dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan
Para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 menurut perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia mempunyai hak penuh menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM, yang sesungguhnya
merupakan tugas, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (UU No.39/1999 Pasal
8). Tapi sangat disesalkan bahwa pelaksanaan kewajiban tersebut macet selama 47
tahun sampai detik ini. Kalau pada era rejim Suharto selama 32 tahun kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak pernah disinggung adalah wajar, sebab rejim
tersebut tidak mau dituduh sebagai penjahat kemanusiaan. Tetapi setelah lengsernya
Suharto, pemerintah-pemerintah Indonesia era “reformasi” tampak enggan untuk menuntaskan kasus
tersebut. Tentu saja kita juga maklum mengapa demikian. Sebab di era “reformasi” selama ini Suhartoisme/Orbaisme
masih berkibar di semua institusi-institusi
Negara. Baju orba diganti dengan baju „reformasi“, sedang manusia pemakainya
tetap tidak berubah.
Meskipun demikian,
karena gencarnya gerakan-gerakan peduli HAM yang tak kunjung padam menuntut ditegakkannya
kebenaran dan keadilan, maka pada tanggal 6 Maret 2012 turunlah berita bahwa presiden SBY berkeinginan
menyatakan minta maaf kepada para korban pelanggaran HAM 1965-66. Hal tersebut
dinyatakan oleh Albert Hasibuan, anngota Dewan Pertimbangan Presiden di Isatana
Negara. Tentu saja berita tersebut bagi para korban merupakan satu lintasan
sinar cahaya api lilin yang sayup-sayup menerangi 47 tahun kegelapan. Kalau hal tersebut memang akan benar terjadi
maka permintaan maaf presiden adalah
langkah positif pertama dalam usaha penuntasan kasus pelanggaran HAM berat
1965-66. Tetapi pernyataan permintaan
maaf saja tidak cukup, apabila tidak
ditindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan konkrit untuk penuntasan kasus
tersebut secara keseluruhan. Dan dalam menanggapi berita bahwa presiden SBY
berkeinginan menyatakan minta maaf tersebut, kita jangan hanyut dalam ilusi
yang hebat-hebat, mengingat banyak janji-janji SBY yang tidak dipenuhi.
Apalagi kenyataan terbengkalainya kasus tersebut selama
47 tahun, sulit hal itu kalau tidak dikatakan sebagai kesengajaan pemerintah
melalaikan hukum yang berlaku syah di Indonesia, membiarkan berkepanjangan
praktik impunitas, yang oleh karena itu sesungguhnya penyelenggara negara dapat
dimintai pertanggungan jawabnya secara hukum.
Dan tidak salahlah sementara orang berpraduga bahwa
pernyataan SBY mau minta maaf hanyalah
satu mata rantai taktik penguasa negara untuk mengulur-ulur penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66 dengan janji-janji kosong, sampai semua pelaku
dan korbannya habis meninggal semua. Dengan demikian oleh mereka diharapkan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66 tersebut „menguap“ lenyap.
Sejarah juga mencatat bahwa selama 32 tahun berkuasa,
Suharto sengaja tidak mau mengakui tindakan-tindakannya sebagai pelanggaran HAM
berat, dan karenanya merasa tidak perlu meminta maaf. Malah sebaliknya ia melakukan
kebijakan-kebijakan sebagai diktator-militer kejam yang siap menggebuk siapa
saja yang dianggap lawan atau yang berbeda pendapat.
Dan perlu diingatkan bahwa Gusdur ketika masih menjabat
sebagai presiden pernah memberi contoh kepada rakyat Indonesia bagaimana
berlaku bijak dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan kasus pelanggaran
HAM 1965-66 yaitu meminta maaf kepada
para korban. Sebab Gusdur menyadari adanya
sesuatu yang tidak benar telah dilakukan oleh sebagian ummatnya dalam persitiwa
pasca runtuhnya gerakan G30S. Langkah Gusdur tersebut diikuti oleh
pemuda-pemuda intelektual NU yang tergabung dalam organisasi Sarekat, yang
merintis terjadinya komunikasi masyarakat akar rumput yang pada tahun 1965-66
terlibat dalam peristiwa tragedi tersebut dengan tujuan membangun rekonsiliasi
antara masyarakat akar rumput. Jerih payah pemuda-pemuda NU tersebut dapat
dibanggakan.
Kebijakan Gus Dur dilanjutkan dalam kaitannya menangani
korban pelanggaran HAM di luar negeri yaitu warganeagra Indonesia (mahasiswa,
pejabat, wartawan, tamu organisasi internasional dan lain sebagainya) yang
dicabut paspornya oleh kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri karena loyal
kepada presiden RI resmi Soekarno. Gusdur mengutus Menteri Hukum dan HAM untuk
berdialog dengan mereka yang terhalang pulang tersebut untuk ditarik pulang
kembali ke tanah air dalam rangka rekonsiliasi nasional supaya dapat ikut serta
menyumbangkan tenaganya dalam pembangunan negara. Tetapi usaha Gusdur tersebut tidak
terlaksana, sebab keburu dia dilengserkan oleh MPR. Bisakah SBY dan tokoh-tokoh
politik lainnya dewasa ini mengambil contoh-contoh kebijakan arif Gusdur
tersebut?
Pada tgl.8 Nopember 2011 Pengurus LPK65 berkesempatan mengadakan
pertemuan dengan Dirrjen Kementerian Hukum dan HAM Dr. Aidir Amin Daud yang
mengemban pesan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar untuk mendapatkan
informasi langsung sekitar masalah tuntutan para korban pelanggaran HAM di luar
negeri kepada pemerintah. Berkaitan dengan masalah tuntutan agar pemerintah
minta maaf kepada para korban yang selalu diserukan dalam kegiatan-kegiatan
LPK65 (Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland), Aidir Amin Daud menyatakan
bahwa pernyataan minta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat 1965-66 bukanlah
masalah berat. Artinya permintaan maaf kepada para korban tersebut bisa
dilaksanakan. Tapi yang merupakan kendala ialah akibat permintaan maaf tersebut, yaitu kas negara tidak cukup untuk membayar kompensasi, restitusi,
reparasi dan lain-lainnya berkaitan dengan pemulihan hak-hak para korban,
demikian keterangan Aidir Amin Daud. Dan itulah posisi Kementerian Hukum dan
HAM sesuai keterangan Aidir Amin Daud.
Sedang terhadap Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI
dari Partai Golkar dan mereka semua yang menolak presiden meminta maaf sangat
disesalkan dan patut dipertanyakan ketulusan hatinya terhadap rekonsiliasi
nasional. Sebab rekonsiliasi nasional sendiri mensyaratkan adanya „permintaan
maaf pelaku“ (lih. Praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan). Tanpa permintaan
maaf pelaku „luka“ masa lalu tetap tersimpan dalam jiwa, yang pada suatu waktu
bisa kambuh lagi. Tapi dengan pernyataan permintaan maaf luka masa lalu akan terobati.
Udara segar lainnya di samping berita SBY akan minta maaf
adalah berita tentang hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah dilimpahkan
kepada Jaksa Agung. Dari hasil penyelidikannya Komnas HAM menyimpulkan:
terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Oleh Tim Khusus Komnas HAM yang dipimpin
Nurkholis dalam penyelidikannya berdasarkan 439 BAP (Berita Acara Penyelidikan) telah
ditemukan 9 (dari 10) indikasi pelanggaran HAM berat sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu:
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan,
penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Sesungguhnya kalau sudah sesuai dengan indikasi-indikasi
pelanggaran HAM berat, Komnas HAM seharusnya
bisa menyatakan temuannya suatu “bukti pelanggaran HAM berat”, meskipun sebagai
bukti permulaan yang masih akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dengan
langkah-langkah penyidikan.Tetapi anehnya Komnas HAM menyebutkan temuannya
hanya sebagai “bukti untuk MENDUGA terjadinya/adanya pelanggaran HAM berat”. Tentu
saja timbul pertanyaan mengapa demikian?
Misalnya kita setelah mendapat fakta-fakta
tentang ribuan orang ditahan/dibuang ke pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan
dan lain-lainnya tanpa dibuktikan kesalahannya melalui proses hukum, kita tanpa
ragu-ragu bisa menyatakan fakta-fakta tesebut adalah bukti adanya pelanggaran
HAM berat. Kita juga akan langsung bisa mengatakan bukti adanya pelanggaran HAM
berat ketika melihat fakta-fakta adanya kuburan masal di berbagai daerah. Dalam
hal ini bukan dugaan lagi. Fakta-fakta tersebut mudah sekali didapat, sebab
mantan tapol di pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan dan lain-lainnya banyak
yang masih hidup. Bahkan kesaksian para mantan tapol tersebut merupakan bukti-saksi
yang syah dalam pengadilan, bukannya dugaan bukti-saksi.
Bagaimana pun, karena temuan
Komnas HAM tersebut pada tanggal 20 Juli 2012 telah berhasil dilimpahkan ke
Kejaksaan Agung beserta rekomendasinya agar ditindak lanjuti, maka hasil kerja Komnas
HAM tersebut perlu mendapat apresiasi sebagai langkah maju. Selanjutnya nasib
temuan Komnas HAM akan ditentukan oleh
Kejaksaan Agung, yang konon akan membentuk tim yang akan menilai temuan
tersebut. Jadi tampak ada sedikit geseran dari titik mati selama 47 tahun kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66. Masih berapa tahun lagi gerak geseran itu sampai
ke pintu pengadilan HAM ad hoc? Kita tidak tahu. Kita juga tidak tahu kapan masalah
pelanggaran HAM berat 1965-66 sampai ke meja KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Tapi gelagatnya penguasa negara akan menggiring
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 ke meja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dengan bergulirnya hembusan
angin-angin segar tersebut para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 hendaknya
tidak lengah, tetap teguh maju terus dalam perjuangan penuntasan kasus
tersebut. Berhubung dengan timbulnya situasi baru tersebut di atas marilah kita lancarkan seruan agar:
1. Kejaksaan Agung secara konsekwen dan jujur menindak
lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
2. Presiden dan DPR mengusahakan kelancaran terbentuknya
Pengadilan HAM ad hoc atas kasus pelanggaran HAM berat 1965-66.
3. Presiden dan DPR secepat mungkin mengesyahkan RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
4. Semua organisasi peduli HAM memberikan solidaritasnya
demi kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM
berat 1965-66.
5. Semua para korban pelanggaran HAM masa lalu bersatu padu dalam
perjuangan demi tegaknya kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Nederland, 07 Oktober 2012
MD Kartaprawira
Ketua Umum Lembaga Pembela
Korban 1965, Nederland