Penghakiman terhadap korban 65

OPINI | 24 October 2012 | 22:02 Dibaca: 44   Komentar: 0   Nihil
Didalam ruangan berkapasitas kurang lebih 400 orang, sebuah debat tersaji di hadapan audience yang hadir. Mereka yang hadir didalam ruangan terdiri dari, mahasiswa, anggota LSM ‘pembela’ pancasila, anggota parpol islam, dan korban kekerasan tragedi 65-67 – orang tua renta yang menuntut keadilan – . Tema dalam debat tersebut ialah Pro Kontra rekomendasi Komnas HAM terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca peristiwa 1 Oktober 1965 – Acara ini sendiri, sedianya akan ditayangkan pada tanggal 29 Oktober 2012 -
Narasumber adalah mereka yang pro terhadap rekomendasi Komnas HAM dan mereka yang kontra, serta anggota Komnas HAM, Joni Nelson Simanjuntak. Debat ini sendiri di ‘promotori’ oleh media ternama yang dikenal membuat konflik atas satu fenomena sosial, Tv-One.
Di awal diskusi, pembawa acara (Alfito Dinova) mengajukan pertanyaan ke salah satu korban 65. Bedjo Untung namanya. Ia sedari umur 17 tahun di tangkap ketika tragedi 65-67 meletus. Ia harus mendekam di penjara Salemba dan terus berpindah dari penjara satu ke penjara lainnya, tanpa mengetahui sedikitpun kesalahan apa yang ia diperbuat. Selanjutnya, pembawa acara beralih ke 4 narasumber yang berdiri di depan audience. Pertanyaan pertama dilemparkan ke Komisoener Komnas HAM, Joni Nelson. Pertanyaan singkat, latar belakang Komnas menyebut peristiwa 65-67 sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Joni Nelson memaparkan secara singkat apa yang isi dari rekomendasi Komnas HAM serta latar belakang anggota Komnas HAM yang sekarang mengungkap ke publik persoalan tragedi 65-67.
Debat (red: penghakiman) pun terjadi di tengah-tengah penjelasan dari anggota Komnas HAM. Dua orang yang anti rekomendasi, dari purnawirawan TNI (mantan Jendral) dan golongan ulama. Dengan argumen liar dan penggiringan opini, mereka menghardik dan menyangkal rekomendasi Komnas HAM. Bualan dan pepesan kosong pun mereka sajikan ke hadapan audience, mulai dari peristiwa Madiun 1948, sampai pada aksi congkel mata yang mereka sebut dilakukan oleh orang PKI terhadap para Jendral di 1 Oktober 1965. Mereka menganggap bahwa yang dilakukan Komnas HAM terkait tragedi 65 adalah bentuk keberpihakan Komnas HAM terhadap orang-orang PKI. Bagi mereka apa yang terjadi di tahun 65 adalah akibat dari sebab yang dilakukan oleh PKI karena telah membunuh para Jendral. Mereka pun menggiring opini dengan menyebut Komnas HAM membela kepentingan PKI dan orang-orang Komunis, Singkatnya, mereka menolak jika tragedi 65-67 adalah pelanggaran HAM Berat.
“Komnas HAM tidak memiliki kepentingan politik dan dorongan untuk membela kepentingan politik siapa pun, entah PKI atau pun bukan. Yang dilakukan Komnas adalah penyelidikan yang dilakukan sudah lebih dari 1 tahun, dan itu untuk membela orang-orang yang tercerabut hak dan rasa keadilannya pasca 1 Oktober 1965 sampai sekarang,” jelas Joni Nelson merespon pernyataan liar tersebut.
Disisi lain, fakta sejarah yang coba ditampilkan golongan ini sangat mudah terbantah, bisa terlihat ketika salah satu audience yang berasal dari korban 65, menyebutkan keterlibatan TNI dengan menggunakan ulama, santri, kaum nasionalis sempit, musuh politik PKI, untuk membantai orang-orang PKI. Argumen yang dilemparkan audience dari korban 65 bersandar pada pengakuan (alm) Sarwo Edhi Wibowo, mantan panglima RPKAD – fakta sejarah yang tak mau diterima –
“Kamu menyebut PKI tidak terlibat, dan menyalahkan TNI dan kaum ulama karena memang kamu PKI,” hardik mantan jendral merespon argumen tersebut.
Tepuk tangan meriah pun menggema setelah hardikan itu, tepuk tangan yang berasal dari mahasiswa dan audience yang sesungguhnya tak pernah mau untuk mencari fakta lain soal tragedi 65. Mereka masih ‘nyaman’ dengan fakta sejarah yang mereka dapat, tanpa pernah dan mau mengkritisi.
Salah satu narasumber debat, putra dari DN.Aidit, Ilham Aidit pun memberikan argumen yang cukup mendasar soal tragedi 65. ia memaparkan bagaimana Negara memiliki kewajiban untuk mengakui dan bertanggung jawab dengan adanya tragedi tersebut. Ia juga menyebutkan bagaimana fakta sejarah di tahun 65 dari versi korban PKI, bahwa tidak ada aksi kekerasan terhadap para ulama dan santri di tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, bahwa sudah ada bukti forensik yang menyebut tak pernah ada pencongkelan mata atau bentuk penyiksaan lainnya terhadap tubuh para Jendral. Ia juga mempertanyakan bukti sejarah yang kuat dari argumen yang dilontarkan narasumber lain terkait peristiwa Madiun 1948. Dimana disebutkan oleh narasumber itu bahwa ratusan ribu ulama di daerah Madiun dan sekitarnya dibantai oleh orang PKI.
Tapi yang kemudian respon yang tersaji adalah,
“Beginilah orang PKI selalu mengelurkan argumen tak jelas. Mereka sebenarnya ingin seperti dulu lagi. Anda anak DN Aidit, pasti memiliki niat-niat lain,” kata salah satu audience terhadap paparan yang di sampaikan Ilham Aidit.
Boleh dikatakan bahwa debat tersebut sebenarnya sekedar penghakiman orang-orang yang anti korban tragedi 65. Mereka berasal dari kalangan eks TNI dan eks tukang jagal dari background agama, yang dulu tangan mereka berlumuran darah jutaan orang tak berdosa. Dengan semangat ‘membela’ keutuhan negara dan menginginkan negara ini maju ke depan mereka menghardik dan menghina terkait rekomendasi Komnas HAM. Mereka beragumen dengan sangat barbar, tanpa peduli dengan deretan bangku yang diisi orang-orang tua korban tragedi 65. Benar-benar menjijikkan.
Argumen yang dilemparkan mereka seolah-olah membenarkan apa yang terjadi pasca 1 oktober 1965. Bagi mereka itu hal yang wajar harus terjadi. Artinya pembantaian, penyiksaan, perebutan paksa, dan perbudakkan yang terjadi terhadap jutaan orang pasca 1 Oktober 1965, bagi golongan yang memiliki simbol TNI dan agama ini menjadi lumrah terjadi dan tidak harus diungkap lagi saat ini.
“Luka lama itu biarkan terus membusuk. Ia akan hilang dengan sendirinya,” tutur salah satu peserta debat yang berasal dari parpol Islam.
“Apa yang terjadi di tahun 65-67 adalah akibat dari suatu sebab. Penyebabnya apa? Karena orang PKI, entah itu dari Gerwani, Pemuda Rakjat, dll membunuh para Jendral dan menghina ulama. Jadi wajar terjadi aksi balas dendam di tingkatan masyarakat terhadap orang-orang PKI,” tambah audience lain.
Pertanyaannya apakah begitu barbarnya masyarakat Indonesia di era itu? Menghambisi tanpa pandang bulu, darah di balas darah. Sungguh barbar. Mereka menolak jika rekomendasi Komnas HAM terus digulirkan sampai ke ranah hukum atau sampai pada negara mengakui bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian di tahun 65-67. Alasan penolakan mereka tak berdasar. Tak memiliki argumen yang sangat ilmiah, bahkan terkesan liar dan barbar. Mereka menutup hati, telinga, mata, serta akal pikiran mereka terhadap fakta-fakta menyakitkan yang dialami oleh para korban tragedi 65 – Fakta yang bisa mereka lihat langsung, ketika belasan sepuh korban 65 masih rela datang hanya untuk mendengar hinaan dan makian terhadap mereka di debat itu, tanpa sedikit pun mengeluarkan kata makian dan pembelaan – Sungguh miris.
Di tahun 65-67, negeri ini sudah berumur 20an lebih. Artinya kedewasaan dalam berpikir tentu (wajib) dimiliki oleh masyarakatnya, namun fakta justru memperlihatkan bahwa masyarkat kita masih jauh dari kata manusia dan kedewasaan, ketika tragedi itu terjadi. Atas nama dendam pribadi, beralasan ‘ancaman’ dari tentara, berkedok penyelamatan diri sendiri, mereka para tukang jagal rela menuntup hati nurani mereka untuk kemudian menggorok, menyiksa, memperkosa, merebut paksa mereka yang dicap sebagai bagian dari PKI. Dan 43 tahun berlalu, keturunan para tukang jagal ini masih belum rela jika kotak pandora 65 yang berisi dosa-dosa itu diungkap dan diakui ke ranah publik.
Pembunuhan para Jenderal di 1 Oktober 1965 memang fakta sejarah, tak bisa ditampik. PKI sebagai partai dituduh sebagai otak dari pembunuhan itu adalah isu yang masih bisa diberdebatkan kebenarannya. Pelanggaran HAM berat terhadap jutaan orang yang dituduh PKI, adalah fakta yang juga tak bisa ditampik