Tuesday 21 August 2012





Mengapa Aidit Dan Soekarno Tidak Dibawa Ke Pengadilan?

(Swadesi, 02 Sep 1998)


Menurut tabloid SWADESI (No 1542/th XXX/Juli 1998), matinya Sekjen CCPKI DN Aidit, masih menyisakan kontroversi. Mengapa DN Aidit mesti ditembak mati. Padahal sebagai tokoh nomor satu partai berlambang palu arit itu, Aidit harus diproses hukum di mahkamah pengadilan.

Aidit jelas banyak mengetahui liku-liku tragedi nasional itu. Tapi anehnya dia segera "diamankan" sebelum rakyat mendengar pengakuan Aidit secara tuntas. Nyatanya Aidit ditumpas habis dengan muntahan peluru tanpa melalui vonis meja hijau untuk mengorek pengakuan dan keterangannya.

Bagaimana pun, Aidit merupakan kunci utama membongkar kejahatan politik itu sampai serinci-rincinya.

Sebuah pertanyaan, kata Swadesi, pun akhirnya mencuat: apakah dibunuhnya DN Aidit ini atas perintah Soeharto? Spekulasi semacam itu berkembang belakangan setelah menurut manuver-manuver Soeharto yang sangat tinggi intensitasnya untuk menumpas PKI dan ormas pendukungnya sampai ke akar-akarnya.

Sayangnya, Swadesi tak sampai mempertanyakan mengapa Aidit dibunuh tanpa proses hukum dan apa yang dituju dengan pembunuhan semacam itu?

Mulyana W Kusumah menjawab pertanyaan Swadesi mengatakan bahwa sebagian besar dari tokoh-tokoh PKI pada saat itu terbunuh tanpa proses peradilan.

Sepengetahuan saya hanya Nyono yang melalui proses peradilan Mahmilub.

Bahkan DN Aidit serta Nyoto tidak melalui proses peradilan dan juga sebagian tokoh-tokoh PKI di daerah. Apakah memang, katakanlah penghilangan atau kematian tokoh kunci PKI berkaitan dengan 'peran mereka' atau dengan 'pengetahuan' yang mereka punyai. Itu yang harus diungkapkan".

"Kalau diurut ke belakang," kata Mulyana, "saya kira pada saat itu tentu adalah Pak Harto yang bertanggung jawab terhadap kejadian-kejadian ini".

BUKAN HANYA AIDIT, TAPI JUGA SOEKARNO

Sesungguhnya yang tidak dibawa ke pengadilan bukan hanya Aidit, tapi juga Soekarno sendiri, padahal Soekarno telah dianggap terlibat dalam G30S, malah dijuluki sebagai "Gestapu Agung". Padahal TAP No XXXIII/MPRS/1967, Bab II pasal 6 menegaskan, "Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan keadilan dan menyerahkan pelaksanaaanya pada pejabat presiden."

Mengapa tidak segera Soekarno diajukan ke pengadilan? Seorang mantan tapol G30S, yang ketika Bung Karno meninggal dunia, ia sedang menghuni Nusakambangan sebagai tahanan politik, menceritakan reaksi seorang rekannya tatkala mendengar berita Bung Karno meninggal dan tanggapan pribadinya atas reaksi rekannya itu.

Inilah yang diceritakannya.

INDONESIA MENGGUGAT II

Pada tanggal 22 Juni 1970 kulihat Bendera Merah Putih berkibar setengah tiang. Timbul pertanyaan di hatiku: siapa yang meninggal dunia? Tak lama kemudian tersiar berita bahwa Bung Karno telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bendera setengah tiang berkibar beberapa hari lamanya.

Tak sampai seminggu kemudian, masuk lah berita tentang betapa besarnya perhatian massa rakyat atas pemakaman jenazah Bung Karno. Dari jauh massa datang berbondong-bondong ke Blitar guna menunjukkan simpatinya.

Padahal oleh pihak yang berkuasa beliau telah ditahan, dianggap terlibat dalam Peristiwa G30S, sehingga dijuluki "Gestapu Agung".

Menanggapi berita kematian Bung Karno ini, Suhaimi Rachman mengatakan kepadaku: mungkin kematian beliau itu bukan secara wajar. Bisa saja dibunuh secara langsung atau tidak langsung. Sebab, kalau Bung Karno masih hidup, satu waktu pemerintah Soeharto tentu harus menghadapkan Bung Karno di depan pengadilan Orba, dengan tuduhan terlibat G30S. Dan bila itu terjadi, akan lahir lah Indonesia Menggugat II. Yang pertamanya di depan Pengadilan Belanda di tahun 1930-an. Dan lahirnya Indonesia Menggugat II itu lah yang tidak dikehendaki Jenderal Soeharto.

PELENGKAP NAWAKSARA

Menurut tanggapanku pendapat Suhaimi Rachman itu tepat sekali. Bila Indonesia Menggugat II lahir, maka akan terlihat dengan jelas benang merah yang menjelujuri G30S itu. Akan terungkap lah bahwa di belakang G30S itu bukan PKI, bukan Bung Karno, tapi Soeharto. Situasi akan berubah.

Pukulan balik akan diterima Jenderal Soeharto.

Dengan mengikuti gaya Bung Karno dalam "Indonesia Menggugat" kolonialisme Belanda, maka dalam "Indonesia Menggugat" Orde Baru Soeharto, mudah diperkirakan beliau akan memperjelas apa yang secara tertulis telah beliau sampaikan pada MPRS, yaitu pelengkap Nawaksara 1966. Ada tiga (3) faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Pertama, pimpinan PKI telah masuk perangkap. Ke dua, neo kolonialisme secara licik telah melancarkan subversi. Ke tiga, terdapat unsur tertentu yang telah melakukan hal-hal yang salah.

Tentang hal yang pertama tentu akan beliau kemukakan bahwa pimpinan PKI (Aidit cs) telah terperangkap dengan isu Dewan Jenderal yang hendak melakukan kup sekitar hari ulang tahun ABRI (5 Oktober 1965). Diperkirakan pimpinan PKI, bila kup itu sampai terjadi dan berhasil, kekuasaan Presiden Soekarno tumbang, sekaligus merupakan pukulan berat bagi PKI.

Untuk menghindari pukulan itu, muncul ide "mendahului daripada didahului". Padahal sebelum itu di kalangan pimpinan PKI yang terdapat ialah "memukul bila dipukul". Tampaknya ide "mendahului" berasal dari orang yang telah disusupkan ke dalam PKI oleh kekuatan yang hendak melancarkan kudeta. Dan pimpinan PKI tak mengetahui kalau mereka telah "didahului" (dimasuki) agen lain. PKI masuk perangkap. Tentang hal yang ke dua tentu oleh Bung Karno akan dibeberkan rencana neo kolonialisme (Inggeris-Amerika) untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Baik melalui membantu kaum pemberontak PRRI/Permesta, maupun mendirikan proyek Nekolim Malaysia. Juga akan dijelaskan adanya persekongkolan neo kolonialisme dengan orang tertentu di Indonesia.

Juga akan dibongkar kasak-kusuk Duta Desar AS Howard P Jones serta atase militer AS Kolonel Benson pada MBAD, yang tujuannya untuk mempengaruhi agar MBAD menolak rencana Presiden Soekarno untuk membentuk Kabinet Nasakom. Suatu kegiatan subversi untuk mengantarkan kekuasaan Presiden Soekarno ke bara api, seperti yang dikemukakan Frank Wisner, deputi Direktur Perencanaan (CIA? Red.)

Kepala Divisi Timur Jauh pada tahun 1956.

Presiden Soekarno tentu juga akan membuka kembali "dokumen rahasia" yang beliau temui pada tahun 1965, yang telah beliau sampaikan pada rapat para Panglima Daerah Militer. Dokumen rahasia itu berisi rencana untuk membunuh Presiden Soekarno, Dr Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani sebelum Konferensi AA ke-II dimulai. Jika rencana Limited Attack itu gagal juga, maka akan dipakai cara lain, yaitu dengan jalan membuka rahasia Presiden Soekarno, Dr Soebandrio dan Letjen A Yani, terutama rahasia-rahasia pribadi.

Tentang hal yang ke tiga tentu akan beliau jelaskan adanya sementara perwira tinggi Indonesia yang berusaha menyabot pengganyangan Malaysia dengan secara diam-diam (tanpa sepengetahuan pemerintah RI) melalui perundingan dengan Malaysia. Usaha menyabot pengganyangan Malaysia diorganisasi oleh kelompok Soeharto-Ali Murtopo-Yoga Sugama. Usaha penyabotan itu telah dimulai sejak tahun 1964. Karena mereka tak setuju dengan politik luar negeri Presiden Soekarno. Kelompok penyabot ini juga yang berperan dalam Peristiwa G30S ini.

Besar kemungkinan, bila sampai lahir Indonesia Menggugat II, yang berisi gugatan terhadap Orde Baru bahwa Jenderal Soeharto lah yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Jenderal Ahmad Yani cs. Sebab, beberapa jam sebelum operasi G3OS, Jenderal Soeharto telah diberitahu oleh kolonel Latief dari G30S bahwa akan dilakukan operasi terhadap Dewan Jenderal yang akan melakukan kup tersebut. Ternyata Jenderal Soeharto tidak melarang atau mencegah kelompok perwira Kolonel Latief meneruskan rencana operasinya. Malahan dengan tenang Soeharto pergi tidur.

Presiden Soekarno tentu juga akan mengemukakan bahwa jenderal Soeharto lah yang bertanggungjawab atas terbunuhnya ratusan ribu (malah pers luar negeri menyatakan 1 juta lebih) anggota PKI dan massa yang dianggap bersimpati pada PKI. Pembantaian massal dilakukan, dimulai dengan hasutan dan fitnah bahwa PKI telah melakukan penganiayaan yang keji terhadap para jenderal dengan mencukil mata dan memotong kemaluannya. Fitnahan busuk itu selama bulan Oktober, November, Desember 1965 dilansir oleh harian "Angkatan Bersenjata", "Berita Yudha" dan harian satelitnya. Pembantaian massa ini adalah pembantaian yang terbesar sesudah pembantaian yang dilakukan fasis Jerman dalam masa Perang Dunia II.

Padahal tim ahli forensik yang terdiri atas dua orang dokter tentara (di antaranya dr Rubiono Kertopati, pendiri Lembaga Sandi negara Indonesia, red.) dan 3 orang dokter sipil ahli forensik (yang tertua dr Sutomo Tjokronegoro) telah melaporkan pada tanggal 5 Oktober pagi pada jenderal Soeharto (menjelang dimakamkan mayat para korban di Kalibata) bahwa tidak ada tanda-tanda kekejian semacam itu. Bila ada tanda-tanda, tak mungkin dalam laporannya akan dikatakan bahwa 4 orang di antara mereka pernah sunat dan yang 3 orang tidak. Presiden Soekarno tentu akan mengingatkan kembali (bahwa karena beliau muak melihat hasutan dan fitnahan itu) maka pada 12 Desember 1965 melalui pidatonya, telah menegor para wartawan yang menyiarkan berita fitnahan tersebut. Dengan tegas Presiden Soekarno mengatakan bahwa para Dokter yang memeriksa tubuh para korban telah melaporkan tidak ada kerusakan pada mata dan bagian kelamin, seperti yang telah disiarkan pers kuning saat itu.

Bung Karno tentu juga akan mengemukakan bukan gerakan Untung yang merebut kekuasaan dari beliau, tapi justru jenderal Soeharto yang secara merayap menggulingkannya. Kolonel Untung segera menghentikan operasi militernya, setelah Presiden Soekarno memerintahkan dengan lisan melalui Birigjen Supardjo untuk menghentikan gerakannya.

Merupakan salah satu puncak tersendiri perayapan perebutan kekuasaan yang dilakukan jenderal Soeharto melalui "penyerangan" terhadap sidang Kabinet yang berlangsung tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka. Serangan itu melalui penyusupan pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa identitas (di bawah pimpinan Jenderal Kemal Idris yang hebatnya, belakangan menjadi tokoh Barisan Nasional!) ke dalam demonstrasi mahasiswa dan pemuda di Istana Merdeka. Serangan ke istana itu lah yang kemudian melahirkan Supersemar. Tekanan Supersemar supaya "secara pasti melaksanakan ajaran Bung Karno", dikentuti. Yang dilaksanakan justru sebaliknya.

KESIMPULAN

Menurut BBS dalam Swadesi tersebut, Aidit berhasil ditangkap tanggal 22 November 1965 pukul 21.00. Setelah keluar dari tempat persembunyiannya, ia bilang "Saya Menko Aidit". Tapi kata-kata Aidit itu tidak diperdulikan, sampai akhirnya Aidit dibunuh dan habislah riwayat Aidit. Matinya Aidit diberitakan koran-koran pada waktu itu dengan riuh rendah. Kolonel Yasir Hadibroto mengumumkan tewasnya Aidit dengan suasana kemenangan.

Sebab, kalau Aidit tidak segera dibunuhnya, tentu juga akan muncul "Aidit Menggugat II", yang akan menelanjangi bahwa Soeharto lah yang menggunakan G30S untuk bisa menjadi orang pertama di Indonesia.

"Aidit Menggugat I" juga lahir dari sidang pengadilan, yang isinya menggugat provokasi Madiun, yang dilancarkan Hatta untuk melaksanakan Red Drive Proposals dari Amerika.

Begitu pula meninggalnya Bung Karno sangat menggembirakan jenderal Soeharto. Tak akan ada lagi yang akan membukakan belang jenderal Soeharto di depan pengadilan. Bila di kemudian hari ada yang membukakannya, tentu nilai atau efeknya tidak setajam bila Bung Karno sendiri yang membongkarnya. Bagi massa rakyat, meninggalnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar, yang sukar didapat penggantinya, sebagai tokoh pemersatu bangsa.

Jelasnya Aidit dan Soekarno tidak diajukan ke pengadilan, bukan karena "peran mereka" dalam peristiwa, tetapi karena "pengetahuan mereka" tentang Peristiwa G30S yang sesungguhnya, yaitu G30S/Soeharto.

Mengajukan Aidit dan Soekarno ke pengadilan bagi Soeharto berarti bunuh diri! Karena itu Aidit segera dibunuh begitu tertangkap, sedang Bung Karno dibunuh secara perlahan-lahan melalui berbagai tekanan, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung.
 http://www.geocities.com/simpang_kiri/G30S/mengapa-aidit.html

Saturday 18 August 2012

MATA NAJWA  (MetroTV) - KESAKSIAN 1965  -  Video

http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/08/01/13582/308/Kesaksian-1965


Peristiwa berdarah di akhir Bulan September 1965, terus menghantui sejarah negeri ini. Permusuhan yang dipelihara atas pertentangan ideologi telah menguras habis energi bangsa ini, meninggalkan torehan luka di setiap hati korban dan keluarganya. Kengerian terus terjadi pasca pembunuhan para Jenderal malam itu. Partai Komunis Indonesia disebut-sebut sebagai dalang pemberontakan. Ribuan orang yang berafiliasi dengan partai tersebut, ditangkap, dipenjarakan tanpa pengadilan. Tidak sedikit yang dibunuh, diperkosa, dan dihilangkan paksa.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berupaya menguraikan benang kusut tragedi ini dengan membentuk tim ad hoc untuk menginvestigasi fakta yang terjadi di lapangan. Pekan ini,
Komnas HAM telah merilis kesimpulan penyelidikan ini, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di tahun 1965 yang berlanjut di tahun-tahun berikutnya sebelum era reformasi.

Di episode ini, Mata Najwa menghadirkan salah seorang korban peristiwa 1965 yang dipenjarakan dan disiksa tanpa melalui proses peradilan. Saksi sejarah tersebut, N.H. Atmoko juga menorehkan pengalaman getirnya ke dalam sebuah buku memoar berjudul "Banjir Darah di Kamp Konsentrasi". Kami juga mengundang putra tokoh PKI DN. Aidit, Ilham Aidit untu bersaksi tentang kesulitan hidup yg harus ia alami pasca peristiwa 1965. Mata Najwa juga merangkum kontroversi sejarah episode kelam bangsa ini dengan mengundang sejarawan, Taufik Abdullah dan Wakil Ketua Komnas HAM untuk menyampaikan data-data hasil investigasi Tim Ad Hoc Komnas HAM.

Thursday 16 August 2012

Komnas HAM Nyatakan Ada Pelanggaran HAM Berat


SELASA, 24 JULI 2012
Kasus 1965-1966:
Komnas HAM Nyatakan Ada Pelanggaran HAM Berat
Ada sembilan dari 10 kejahatan dalam pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam kasus 1965.
ADY TD ACHMAD/NOVRIEZA RAHMI
Dibaca: 731 Tanggapan2
PDF  Print  E-mail
http://images.hukumonline.com/frontend/lt500e667c540ba/lt500ea52e50ae4.jpg
Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM, Nur Kholis. Foto: Sgp
Komnas HAM akhirnya mengumumkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yang dilakukan sejak tahun 2008. Hasilnya, Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang meluas dan sistemik.

Berdasarkan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ada 10 perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.

Dari 10 kejahatan tersebut, hanya kejahatan apartheid yang tak ditemukan bukti-buktinya dalam penyelidikan Komnas HAM ini.

Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM, Nur Kholis mengatakan kesimpulan ini didapat dari sekira 340 berita acara pemeriksaaan dan ratusan bukti dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan dalam kurun empat tahun itu. Sebagian besar data diperoleh dari wawancara dengan para saksi dan korban serta pihak terkait lainnya di berbagai daerah kecuali Papua.

Nur Kholis menyebut berkas hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012 untuk ditindaklanjuti.

“Yang terpenting, kita temukan terjadi di berbagai tempat,” kata Nur Kholis ketika menjelaskan serangan terhadap para korban peristiwa 1965 terjadi bukan hanya sistemik, tapi juga meluas dalam jumpa pers di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (23/7).

Mayoritas korban yang menerima serangan menurut Nur Kholis bukan hanya terdiri dari satu jenis serangan, tapi banyak jenis. “Jadi satu orang bisa mengalami lebih dari satu tindak pidana,” ujarnya. Selain itu Nur Kholis menemukan bahwa dimana tempat pemeriksaan terjadi, di situ diindikasikan tempat penyiksaan. Pemeriksaan itu sebagian besar dilakukan di gedung milik militer. Bahkan gedung Komnas HAM Jakarta, yang dulu sebagai salah satu gedung milik Sandi Negara (badan intelijen,-red), sempat digunakan sebagai tempat penyiksaan.

Serangan terhadap korban 1965 itu menurut Nur Kholis berasal dari kebijakan yang diterbitkan penguasa ketika itu dan sejumlah lembaga militer yang melaksanakannya. Para pejabat tinggi di sejumlah lembaga militer menurut Nur Kholis dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa 1965.

Salah satunya adalah Kopkamtib, baik di kota maupun daerah. Namun, Nur Kholis mengaku tidak dapat menyebutkan siapa saja nama pejabat militer yang mesti bertanggung jawab. Menurut dia itu menjadi kewenangan Kejagung untuk menindaklanjuti penyelidikan tersebut dengan penyidikan. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (5) UU Pengadilan HAM.

Namun, Nur Kholis mengatakan rekomendasi Komnas HAM untuk memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya pada peristiwa 1965 bukan hanya lewat pengadilan. Terdapat mekanisme lain yaitu non yudisial lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan HAM.

Pada kesempatan yang sama Sekretaris Tim Penyelidikan, Kabul Supriyadhi, mengatakan alasan tidak ditemukannya kejahatan apartheid. Pasalnya, para korban terdiri dari lintas etnis, agama dan lainnya. Sedangkan kejahatan apartheid yaitu pemusnahan terhadap suatu kelompok etnis tertentu atau agama tertentu serta kelompok sejenis lainnya.

Walau lembaga yang dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa 1965 sudah tidak ada misalnya Kopkamtib, bukan berarti para pelaku dapat bebas dari jerat hukum. Kabul mengatakan bahwa dalam pengadilan HAM yang disasar adalah individu yang melakukan tindakan pelanggaran HAM saat peristiwa 1965 terjadi. Sedangkan untuk para pelaku yang meninggal dunia, Kabul mengatakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

Sementara anggota komisioner Komnas HAM lainnya yang juga menjadi angota tim penyelidikan, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan terdapat istilah yang digunakan dalam serangan terhadap para korban 1965 dan bertahan hingga masa kekuasaan Orde Baru berakhir.

Misalnya “diamankan”, yaitu sebuah proses dimana orang ditangkap tanpa lewat proses hukum yang harus dilakukan. Ada pula istilah “dibon”, yaitu ketika terdapat tahanan yang ditahan suatu instansi, lalu instansi lain meminjam tahanan itu untuk diminta keterangan. Bahkan ketika dipinjam tak jarang terjadi penyiksaan.

Pria yang akrab disapa Stanley itu pun menyebutkan disekitar tahun 1970-an, penjara yang ada tidak dapat lagi menampung para tahanan yang dituduh terlibat G30S. Sehingga mayoritas tahanan dipindah ke pulau Buru dan di tempat itu para tahanan diperintah untuk melakukan kerja paksa. Misalnya menanam sejumlah tanaman yang dapat dikonsumsi sehingga dapat digunakan untuk menghidupi para penjaga tahanan di penjara.

Stanley mengingatkan, status tahanan politik (tapol) terhadap para korban sifatnya tidak jelas. Pasalnya, para tahanan tidak pernah dibuktikan pidananya. Selain itu Stanley mengingatkan agar pemerintah memperhatikan pemulihan hak para korban. Karena para korban dan keluarganya telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM dalam kurun waktu cukup lama. “Mereka dirampas tanahnya oleh militer, hak produktifnya juga dihilangkan,” ungkap Stanley.

Anggota Komnas HAM lainnya, Johny Nelson Simanjuntak, menyebutkan proses penyelidikan adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan Komnas HAM untuk membantu upaya pemenuhan hak para korban peristiwa 1965. Upaya penyelesaian yudisial selanjutnya menurut Johny ada di Kejagung. Namun Johny mengingatkan ada upaya di luar pengadilan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pemenuhan hak bagi korban. “Komnas HAM hanya melakukan penyelidikan pro yustisia,” ujarnya.

Terpisah, Jaksa Agung Basrief Arief belum mau mengomentari hasil penyelidikan Komnas HAM. “Itu belum saya baca. Itu tugas mereka untuk penyelidikan. Nanti saya lihat dulu.”

Monday 13 August 2012

Press Release, Petisi dan Selebaran KUKB


Teman-teman yang budiman,
saya kirim di attachment:

1. Press Release, pemberitahuan rencana unjukrasa Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) ke kedutaan Belanda pada 15 Agustus 2012.
2. Petisi kepada pemerintah Belanda, yang akan disampaikan pada 15 Agustus 2012.
3. Selebaran yang akan dibagikan kepada masyarakat pada 15.8.2012.
 
Sejak tahun 2005, pada 15 Agustus setiap tahun kami melakukan unjukrasa ke kedutaan Belanda. Pada 15 Desember 2005 saya membawa kasus pembantaian di desa Rawagede ke parlemen Belanda,
 
15 Agustus merupakan hari bersejarah. Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu, yang berarti berakhirnya pendudukan militer Jepang di bumi Nusantara. 
Ratusan ribu warga Belanda dan Eropa lainnya merayakan hari pembebasan mereka dari kamp-kamp interniran di India-Belanda dari tahun 1942 - 1945.
 
Sekarang kami membawa seluruh kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
 
Di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, empat jenis kejahatan tidak mengenal azas kadaluarsa:
1.    Pembantaian etnis,
2.    Kejahatan atas kemanusiaan,
3.    Kejahatan perang, dan
4.    Kejahatan agresi
 
Oleh karena itu, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta agresi mkiliter Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950 masih dapat dibuka kembali, sebagaimana telah kami buktikan dengan membawa kasus pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa tanpa adanya proses pengadilan.
Selain itu, keluarga korban agresi militer Belanda juga masih menuntut keadilan. Diperkirakan, korban tewas antara tahun 1945 – 1950 mencapai satu juta jiwa!
 
Yang telah menyatakan kesediaan untuk berpartisipasi dalam unjukrasa ke kedutaan Belanda, selain keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Galung Lombok (Sulawesi Barat), Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, “Gerbong Maut Bondowoso”, juga Ibu Lilly Wahid, anggota Komisi I DPR RI dan Ir. Ilham Aidit, putra alm. DN Aidit, Ketua CC PKI.
 
Mengenai Pembantaian di Galung Lombok, lihat:
dan The Galung Lombok Massacre (bahasa Inggris):
 
Mengenai ‘Gerbong Maut Bondowoso”, lihat:
 
Atas perhatian yang diberikan, saya sampaikan terima kasih.
 
Wassalam,
 
Batara R. Hutagalung
Ketua KUKB
 
__._,_.___
Attachment(s) from Batara Hutagalung
2 of 2 File(s)