Friday 30 December 2011

Pemerintah Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat


Pemerintah Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat
Ary Wibowo | I Made Asdhiana | Kamis, 29 Desember 2011 | 21:27 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Massa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (27/9/2010). Mereka menginap di depan Istana Negara dengan mendirikan tenda dan menuntut penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM.
 
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menilai sepanjang tahun 2011, pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum serius melaksanakan janjinya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih mandek di Kejaksaan Agung.
"Kami menyatakan kekecewaan yang mendalam terhadap Presiden SBY yang tak kunjung menjalankan komitmen politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Sepanjang tahun 2011, perubahan yang diharapkan korban tentang adanya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masih jalan di tempat," ujar Wakil Koordinator Kontras, Indria Fernida di Jakarta, Kamis (29/12/2011).
Sebelumnya, Presiden Yudhoyono pada pertengahan November lalu membentuk Tim Kecil Penangangan kasus Pelanggaran HAM berat. Tim yang mempunyai mandat untuk mencari format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bersama sejumlah Kementerian terkait.
Menurut Indria, beberapa pihak menilai pembentukan tim tersebut merupakan langkah baik pemerintah untuk menjalankan penyelesaian komprehensif terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, sepanjang tahun 2011 ini tidak ada upaya berarti dari pembentukan tim tersebut.
"Hingga akhir tahun, tim hanya merespon dan menampung masukan dan harapan dari komunitas korban dan melakukan kegiatan kunjungan ke korban Talangsari, pertemuan dengan Korban Tanjung Priok dan korban Semanggi I serta melakukan kunjungan ke Kupang untuk melihat kondisi pengungsi eks Timor-Timur," kata Indria.
Oleh karena itu, Indria mengharapkan, Presiden Yudhoyono dapat serius menangani sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi, ia menilai, pada 2012 akan terus terjadi tarik menarik politik nasional yang berpengaruh pada pertarungan politik HAM, khususnya bagi penanganan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
"Dan situasi ini akan semakin mengkhawatirkan jika Presiden tidak mengambil tindakan tegas dan nyata untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai upaya untuk melangkah maju di masa depan. Presiden juga harus desak Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan persoalan ini," tegas Indria.
Seperti diberitakan, sejumlah kasus pelanggaran HAM hingga kini masih berjalan di tempat. Beberapa kasus tersebut diantaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Talangsari 1989 dan Wasior-Wamena, Papua (2001 dan 2003).
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim di Jakarta, Selasa (16/11/2011), mengakui meski beberapa penyelidikan Komnas HAM atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu sudah dilakukan dan diberikan rekomendasi, namun ketika akan ditingkatkan ke penyidikan selalu menemui kendala. Dia mengatakan, Kejaksaan Agung belum mau menindaklanjuti penyidikan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu tersebut karena belum ada pengadilan HAM ad hoc. Sementara untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc harus berdasarkan UU No 26/2000 dimana harus ada rekomendasi dari DPR kepada Presiden.

Sunday 25 December 2011

SURAT TERBUKA Pernyataan Menteri Marty Natalegawa Menyesatkan


http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/22/49725/Pernyataan-Menteri-Marty-Natalegawa-Menyesatkan!-
 

SURAT TERBUKA
Pernyataan Menteri Marty Natalegawa Menyesatkan!Kamis, 22 Desember 2011 , 07:18:00 WIB 

MARTY NATALEGAWA/IST
   
Kepada Yth.
Dr. RM Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta
 
Dengan hormat.
Pada peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan  secara resmi atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947. 
 
Sehubungan dengan hal ini, sebagaiman adikutip oleh Tempo.Co (9/12), Anda mengatakan: "peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949." 
 
Interpretasi Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat menyesatkan.
 
Pertama, langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.
 
Namun dalam putusan Pengadilan Belanda, pada butir dua, sebagai "fakta-fakta" (bahasa belanda: feiten)  tertera:

2. De feiten (fakta-fakta)

2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden (Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)

Dengan demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27 Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:

1. Tentara Belanda tahun 1947 telah membunuh warganya sendiri, bukan warga Indonesia.

2. Meminta maaf kepada mantan warganya.
 
Pengadilan Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945.
 
Kedua, dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah menyatakan mengakui de jure (De Jure Acknowledgement/ recognition), melainkan menerima (accept).

Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942-945 Ben Bot mengatakan dengan jelas, akan menerima 17 Agustus1945 sebagai de facto awal kemerdekaan Republik Indonesia.
 
Sehari kemudian, pada 16 Agustus 2005 di Gedung Kementerian Luar Negeri RI di Jalan. Pejambon, Ben Bor mengatakan: "…Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…" 

Kemudian pada 18 Agutus 2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketika ditanya mengapa dia hanya mengatakan acceptance (menerima), dan bukan Acknowledgement (Pengakuan) terhadap proklamasi 17 Agustus1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara tersebut).
 
Demikian juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. Tuntutan KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005.  

Pernyataan Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat sebagai Negara merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16 Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah anak haram! 

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika "penyerahan wewenang" (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (setara dengan 1,2 milyar dolar AS)
 
Sejarah mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Soekarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo), maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18 butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918 dan Piagam Atlantik yang dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.
 
Proklamasi 17 Agutus1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode antara tahun 1945-1950 juga bukan perang kemerdekaan. 

Memang kita ketahui dilema yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945. Hal ini kami ketahui dari anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan, apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka akibatnya adalah:

1. Yang Belanda namakan "aksi polisional" tak lain adalah agresi militer terhadap satu negara merdeka dan berdaulat.

2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, antara lain, di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dan lain-lian., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusian.

3. Republik Indonesia berhak menuntut rampasan perang, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.

4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 miliar dolar AS, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950-1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 miliar dolar AS). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 miliar dolar AS! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak
persetujuan KMB.

Sangat disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.
 
Dalam kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini, yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.
 
Kami sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
 
Kami juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28 Oktober 2011.
 
Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.
 
Hormat kami,
 
Ttd.
 
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum KNPMBI/ Ketua KUKB

Sunday 18 December 2011

Topeng Buram Penegakan HAM


12.12.2011 09:50
Topeng Buram Penegakan HAM
Penulis : M Bachtiar Nur/ Lili Sunardi/Tutut Herlina

Di depan Istana Negara, seorang ibu masih setia berdiri beberapa jam setiap Kamis sore. Seluruh rambutnya telah memutih dan tubuhnya selalu berbalut kain hitam.
Di sana ia tak sendiri, beberapa kawan aktivis selalu setia menemaninya. Perempuan itu adalah Sumiarsih, ibunda Bemardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan. Anak laki-laki itu meninggal karena peluru aparat yang bersarang di tubuhnya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Kegiatan itu rutin ia lakukan. Ia berharap, suatu saat penguasa di dalam Istana bisa tergugah dan kasus kematian anaknya suatu saat nanti bisa dibawa ke pengadilan hak asasi manusia (HAM).

Asa yang sama bersemai di diri keluarga maupun kawan-kawan Widji Toekoel, penyair yang puisi-puisinya menggelorakan semangat melawan rezim diktator di bawah Soeharto. Syair-syairnya itu pula yang membuatnya harus “menghilang”. Hingga kini, Widji Toekoel tidak pernah ketahuan nasibnya. Sejumlah saksi menyebut ia diculik aparat keamanan.
“Sekarang sudah banyak orang yang tidak ingat. Tapi usaha untuk mengingatkan terus-menerus perlu dilakukan walapun kecil tetap diperlukan supaya kita tidak benar-benar lupa,” kata Aan Rusdianto, korban penculikan Aktivis 1998.
Kasus pelanggaran HAM saat ini memang kecil kemungkinannya untuk bisa berujung ke pengadilan. Bahkan, kasus-kasus baru banyak yang muncul, sementara kasus lama tak jelas penanganannya.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdal Kasim mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM kian meredup. Ini terjadi karena ketiadaan kemauan politik dari penguasa.
Pukum kasus pelanggaran berat terhadap HAM pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan 0 persen. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terlihat takut memproses kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya telah masuk ke pihak mereka.

Sejak lama, berkas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat sebenarnya telah masuk ke Kejagung. Namun hingga kini, berkas tersebut tidak diproses. Bahkan, jika dihitung, berkas itu menumpuk di Kejagung sudah lebih dari lima tahun. "Ada beberapa pelanggaran HAM berat sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung,” kata Ifdal ketika dihubungi, Minggu (11/12).

Kasus itu antara lain penculikan aktivis 98 pro demokrasi, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Talang Sari Lampung tahun 1984, Kasus Trisakti (Semanggi I dan II), serta Kasus Wasior dan Wamena tahun 2005. "Sampai sekarang tidak ada kelanjutannya di Jaksa Agung. Kasus-kasus ini sudah lebih dari lima tahun," ujarnya.
Ia sangat berharap Jaksa Agung berani membuka kasus-kasus tersebut kembali, meski pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. "Pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk bukan kendala. Kalau memang tidak bisa diajukan ke pengadilan, harus dikeluarkan surat penghentian penyidikan (SP-3) sehingga ada kejelasan. Masyarakat jadi tidak menunggu yang tak pasti," papar Ifdal.

Kejagung belum melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat karena adanya kekhawatiran sensitivitas dalam politik. Pelaku pelanggaran HAM itu umumnya adalah tokoh-tokoh yang masih berkuasa di panggung politik saat ini.
Oleh karena itu, upaya menyeret pelaku ke pengadilan tidak pernah menjadi prioritas utama. "Langkah (penegakan HAM) sepertinya tidak menjadi upaya utama oleh pemerintah dibandingkan pemberantasan korupsi.
Yang banyak terjadi hanyalah perbaikan kerangka melalui legislasi, tapi pemerintah sangat menahan diri untuk tidak melakukan penyelidikan atau tidak mau menyentuh kasus-kasus pelanggaran HAM yang sensitif," katanya.

Hak Ekosob

Pembentukan Pengadilan HAM di empat kota menjadi ruang kosong akibat hanya menjadi simbol belaka, tanpa realiasi penegakan HAM yang sesungguhnya. Padahal, pengadilan HAM yang berada di Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya itu seharusnya mampu menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 2000 ke atas.
Namun faktanya, kasus Wasior dan Wamena yang terjadi pada 2005 hingga kini belum dapat disidangkan karena belum mulainya penyidikan oleh Kejagung. "Pelanggaran HAM di wilayah Papua, pengadilan HAM di Makassar. Seharusnya kejaksaan langsung menyidik kasus itu (kasus Wasior-Wamena). Jika dianggap tidak ada bukti yang kuat, keluarkan SP3," papar Ifdal.

Ifdal menjelaskan, sejak kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, praktis tidak ada lagi pengadilan HAM yang berlangsung. "Pada zaman Megawati, pernah ada satu kali pengadilan HAM di Makassar. Pada era Gus Dur, pengadilan HAM banyak dilakukan. Pada jaman SBY 0 persen," katanya.
Selain bentuk pelanggaran HAM berupa fisik seperti kekerasan dan penculikan, Komnas HAM pada 2011 juga menerima ribuan laporan pelanggaran HAM terkait ekonomi, sosial, dan budaya.
"Tahun ini, kita terima 6.000-an kasus dalam bentuk pelanggaran hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sengketa lahan perkebunan, pertambangan. Paling banyak akibat pertikaian di perkebunan," ujar Ifdal.

Angka laporan yang diterima Komnas HAM tinggi karena berbagai faktor, seperti tingginya PHK di berbagai pekerjaan serta keleluasaan dari pemerintah terhadap mereka yang hendak berinvestasi di perkebunan dan pertambangan besar.
"Fasilitas terlalu banyak pada pihak perkebunan dan mengabaikan hak masyarakat asli. Pemerintah daerah diberikan kewenangan terutama dalam hal tambang. Konsesi tambang yang diberikan justru merusak lingkungan dan merugikan masyarakat," imbuhnya.
Namun Jaksa Agung, Basrief Arief mengatakan, pembentukan pengadilan HAM sangat sulit dilakukan. Saat ini masih belum ada kejelasan mengenai aturan, meski telah ada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Pasal tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur proses pembentukan pengadilan yang didirikan secara ad hoc. Aturan itu mengharuskan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang diserahkan ke penyidik untuk dilakukan penyelidikan, padahal penyelidikan tersebut perlu pengadilan HAM itu sendiri.

Selain itu, kemauan politik dari DPR dan pemerintah pun ikut memengaruhi penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan. Ini karena dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, disyaratkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc tergantung dari rekomendasi DPR dan yang kemudian ditindaklanjuti dalam keputusan presiden.
Tak hanya itu, kewenangan aparat hukum ad hoc yang tidak dapat menyangkakan tindak pidana lain di luar pelanggaran HAM juga ikut mempersulit pengadilan HAM tersebut.
"Bagaimana jika terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi cukup bukti melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang berdasarkan delik pembunuhan yang diatur dalam KUHP," jelas Basrief.

Thursday 15 December 2011


KASUS RAWAGEDE  DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA
(Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63)
Oleh MD Kartaprawira*
# Kasus Rawagede yang terlantar 64 tahun
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63 tahun ini bertepatan dengan peristiwa penting sehubungan dengan Putusan Pengadilan Den Haag tanggal 14 September 2011 yang memenangkan gugatan para korban kejahatan kemanusiaan oleh tentara Belanda tahun 1947 atas 431 orang penduduk Rawagede dan pernyataan maaf Pemerintah Belanda secara resmi kepada para korban penduduk Rawagede, yang dilakukan oleh  Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada tanggal 9 Desember 2011. Siapapun tidak mungkin bisa menyangkal kenyataan adanya peristiwa   kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa Indonesia di Rawagede. Yang masih bisa diperdebatkan hanya masalah jumlah korban, yang menurut versi Indonesia 431 orang, sedang versi Belanda kira-kira 150 orang.
Selama 64 tahun pemerintah Belanda tidak punya kepedulian serius atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentaranya di Rawagede. Pada hal dalam hubungan internasional Belanda (dan Negara-negara Barat lainnya) selalu teriak keras mengkritisi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara lain. Apakah hal tersebut bukan kemunafikan? Yang lebih memalukan lagi  adalah tidak-adanya usaha dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Rawagede tersebut demi  kebenaran dan keadilan bagi para korban, yang notabene adalah warganegaranya sendiri.
Dari tahun 1947 sampai 1965 memang Indonesia selain berjuang untuk pembangunan negara di segala lapangan, tapi juga menghadapi banyak masalah berat, yang tidak hanya menjadi penghalang  perjuangan pembangunan Negara, tapi juga mengakibatkan tidak adanya kesempatan menangani kasus Rawagede. Masalah-masalah berat yang dimaksud  adalah: 1. Konfrontasi dengan Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai th. 1962 (kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI), 2. Perjuangan menumpas pemberontakan-pemberontakan RMS, DI-TII-Batalion 426, PRRI-Permesta, 3. Pertentangan antara parpol-parpol akibat diberlakukannya sistem parlementer sejak Oktober 1945, yang hanya menciptakan kabinet-kabinet „seumur jagung“, yang berakibat tidak pernah bisa melaksanakan plan pembangunan negara (terutama dalam bidang ekonomi),  4. Perjuangan menghadapi politik intrig kaum nekolim yang mengancam kedaulatan RI di bidang politik dan ekonomi.
Tapi ketika jenderal Suharto berhasil melakukan kudeta (merangkak) melawan Pemerintahan Soekarno, rejim tersebut hanya sibuk membabati musuh-musuh politiknya (kaum komunis dan kaum nasionalis-Soekarnoist) demi melindungi kekuasaannya yang mengabdi kepada kepentingan kaum neoliberalis. Juga pada jaman „reformasi“ para penguasa negara sibuk mengurusi kepentingan pribadi, baik dengan cara2 KKN maupun  sibuk memafaatkan „aji mumpung berkuasa“ untuk menyukseskan  bisnis pribadinya. Sehingga  kebijakan politik pemerintah di era reformasi dalam hal penegakan hak asasi manusia tidak bisa dibanggakan hasilnya, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-66). Begitu pula  kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede, Makasar dan lain-lainnya.
Pemerintaah hanya menonjol-nonjolkan ke mana-mana bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menghormati hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam UUD, UU beserta peraturan-peraturan organiknya, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dll. Tapi pelaksanaannya ternyata  minim sekali. Dapat dikatakan bahwa norma-norma hukum hak asasi manusia tersebut hanya jadi pajangan saja untuk menghiasi negara Indonesia agar disebut negara hukum.
Ketidak pedulian pemerintah Indonesia menangani dan membela korban pelanggaran HAM/kejahatan kemanusiaan atas penduduk Rawagede suatu hal yang tak mengherankan karenanya. Maka salut sebesar-besarnya harus diberikan kepada Sdr. Jeffry Pondaag bersama  koleganya di yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dengan gigih memperjuangkan digelarnya kasus Rawagede di Pengadilan Negeri Den Haag dengan sukses kemenangan bagi  para korban. Seandainya Pemerintah Belanda tidak mau menerima putusan Hakim Pengadilan Den Haag, bisa naik banding. Tetapi kalau naik banding Pemerintah Belanda akan tambah tidak terhormat lagi di mata internasional, sebab ngotot membela tindak kriminal (kejahatan perang/kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat) yang merupakan aib di mata dunia internasional. Dan Pengadilan Banding pun kemungkinan besar akan membenarkan putusan Pengadilan Den Haag. Sebab sulit sekali untuk membenarkan tindak kejahatan kemanusiaan – pembantaian 431 pendudk Rawagede tersebut, yang tidak dapat dibedakan dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan  yang diadili di Mahkamah pengadilan PBB bagi bekas  Yugoslavia, Mahkamah Kejahatan Ininternasional di Den Haag, Mahkamah Pengadilan PBB di Ruanda dan lain-lainnya. Jadi logislah sikap pemerintah Belanda yang tidak mengajukan naik banding atas putusan Pengadilan Den Haag.
# Kasus Rawagede dan Pernyataan Maaf Pemerintah Belanda
Pernyataan permintaan maaf Pemerintah Belanda memang selayaknya dinilai positif secara wajar, tidak perlu berlebih-lebihan. Sebab permintaan maaf tersebut bukan tindakan suka rela, melainkan karena Pemerintah Belanda kalah dalam perkara perdata atas gugatan para korban yg jumlahnya 7 orang. Artinya, mau atau tidak mau harus mengakui kesalahannya. Tentang pernyataan minta maaf hanyalah masalah moral, yang sepatutnya diberikan oleh mereka yang melakukan kesalahan, terutama bagi mereka yang menamakan dirinya bangsa beradab. Lain halnya kalau tanpa gugatan di Pengadilan Pemerintah Belanda dengan sukarela dan ketulusan hati meminta maaf dan kemudian membayar ganti rugi, meskipun sudah terlambat 64 tahun. Langkah Pemerintah Belanda yang demikianlah yang bisa disebut langkah besar dan terpuji.
Tentu saja setiap permintaan maaf dari siapa saja yang merasa berbuat salah harus diterima dengan baik.  Berkaitan dengan permintaan maaf pemerintah Belanda kepada para korban pembantaian di Rawagede kita harus tidak kehilangan obyektifitas historis dan yuridis. Pembantaian di Rawagede tersebut tidak bisa dikatakan bukan kejahatan kemanusiaan, apalagi dari sudut peradaban Eropa yang dianggap tinggi. Tetapi kenyataannya pernyataan maaf atas pembantaian tersebut, yang berarti juga pengakuan kesalahan atas tindak kejahatan kemanusiaan, baru dilakukan secara resmi tahun ini (09 Desember 2011), sesudah selama  64 tahun tidak digubris. Jelasnya, seperti telah disinggung di atas permintaan maaf tersebut adalah akibat adanya putusan Pengadilan Den Haag yang memenangkan kasus perdata para korban Rawagede yang menuntut ganti kerugian kepada pemerintah Belanda.
Kalau tidak ada putusan Pengadilan Den Haag tentu saja tidak jelas sampai kapan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut diakui dan permintaan maaf dinyatakan oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu, penulis sama sekali tidak setuju atas pendapat bahwa sikap pemerintah Belanda tersebut harus dicontoh sebagai pelajaran bagi pemerintah Indonesia (SBY dan lain-lainnya) dalam menangani kasus  korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi pemerintah Indonesia siapapun presidennya harus tegas, jujur dan adil melaksanakan hukum tentang hak asasi manusia tanpa ditunda-tunda (apalagi sampai puluhan tahun), tanpa manipulasi dan diskriminasi.
# Masalah ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede
Perlu dicatat bahwa ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede hanya diberikan kepada 7 orang penggugat (keluarganya) masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per keluarga.  Karena kasus tersebut adalah kasus perdata, maka yang bukan penggugat tentu saja tidak masuk hitungan dalam daftar yang berhak menerima ganti rugi.  Mungkin dalam kasus tersebut pihak KUKB kurang teliti dalam membicarakannya dengan DR Liesbeth  Zegveld (advokat).  Padahal jumlah korban  di Rawagede sebanyak 431 orang, yang semuanya (keluarganya) berdasarkan keadilan seharusnya berhak juga menerima ganti rugi.  Adalah suatu langkah terpuji apabila  Pemerintah Belanda berinisiatif sendiri untuk memberikan ganti rugi tidak hanya kepada 7 orang penggugat saja, tetapi kepada semua korban di Rawagede lainnya, tanpa melalui proses pengadilan. Barulah hal tersebut bisa dikatakan langkah besar.
Ada baiknya kita ketahui, bahwa dalam kasus ganti rugi kepada para korban pemboman oleh teroris terhadap pesawat Pan Am di Lockerbie, Scotland pada 1988 yang membawa korban 270 orang, Ghadafi (yang tersangkut dengan kasus tersebut) diwajibkan membayar ganti rugi kepada setiap keluarga korban sebanyak 10 juta US Dollar (Rp.90 milyar). Sungguh jumlah ganti rugi yang sangat luar biasa besarnya, jika dibandingkan dengan ganti rugi yang akan diterima setiap keluarga korban Rawagede hanya sejumlah 20.000 Ero (Rp. 220 juta). Meskipun demikian, kalau pemerintah Belanda dengan sukarela tanpa melalui pengadilan bersedia memberikan ganti rugi kepada seluruh korban Rawagede (431 keluarga) yang jumlahnya hanya kurang lebih 7 milyun Ero (Rp.75 milyar) saja,  bangsa Indonesia akan memberi apresiasi tinggi.
Bagi pemerintah Belanda dengan putusan Pengadilan Den Haag tersebut masih ada kesempatan untuk memperbaiki citranya atas kejahatan kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di daerah-daerah Indonesia lainnya setelah berdirinya Republik Indonesia (a.l. pembantaian ribuan penduduk di Makasar oleh tentara Belanda yang dipimpin kapten Westerling).  , yaitu tanpa melalui pengadilan mengakui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut, meminta maaf kepada para korban dan kemudian memberikan ganti rugi. Hal itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan nama baik Belanda sesuai norme dan warde (norma dan nilai)  hak asasi manusia yang beradab.
Tentu saja masih banyak masalah hubungan Indonesia-Belanda yang harus diselesaikan, misalnya masalah pengakuan kedaulataan Republik Indonesia, di mana Belanda tetap tidak mengakui de jure pada 17 Agustus 1945. Tapi ini adalah masalah perselisihan hukum antara dua negara yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Untuk itu harus maju ke Mahkamah Pengadilan Internasional PBB (The International Court of Justice) di Den Haag. Apakah Indonesia cukup siap berhadapan  dengan Belanda di Mahkamah tersebut,  mengingat dalam sengketa dengan Malaysia mengenai kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (tahun 2003) saja Indonesia kalah. Tampaknya pemerintah Indonesia tidak berniat untuk mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah PBB, sebab tidak mau berisiko kalah dalam pengadilan atau rusaknya hubungan Indonesia-Belanda dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya yang sudah berjalan lancar. Misalnya dalam bidang pendidikan ribuan mahasiswa Indonesia mendapatkan fasilitas belajar di Negeri Belanda. Tapi yang pasti, baik Indonesia mau pun Belanda berusaha memelihara baik-baik hubungan bilateral yang saling menguntungkan dewasa ini.
#  Penegak hukum Indonesia, belajarlah meski ke Argentina!!!
Harus diakui bahwa putusan pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede ini menunjukkan keobyektifan para hakim dalam memproses kasus tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (pemerintah Belanda) yang selama ini masih berat untuk melepaskan tekanan-tekanan psikologis dari para veteran KNIL yang tidak mau disebut penjahat dalam kasus Rawagede dan daerah-daerah lainnya ketika melakukan agresi ke Indonesia. Dalam kasus Rawagede tersebut asas trias politica betul-betul ditegakkan: kekuasaan yudikatif membuktikan fungsinya yang tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif. Dalam kaitan inilah Institusi Yudikatif di Indonesia masih harus kerja keras untuk membuktikan bahwa tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif, tidak menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif dan bersih dari kendali mafia hukum.
Dengan dimenangkannya para penggugat terbukti juga bahwa Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede tidak menempuh arus yang bertentangan dengan praktek-praktek  di mahkamah-mahkamah Internasional (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan International Criminal Court) yang telah atau sedang berjalan di Den Haag, yang mengadili kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat di Yugoslavia, Sera Leon dan lain-lainnya. Sayangnya kasus Rawagede di Pengadilan Den Haag tersebut hanya diproses  dalam bingkai kasus perdata, yang menuntut ganti rugi kepada 7 korban. Maka dari itu bobotnya terlalu ringan, tidak sebanding dengan korban jiwa 431 orang penduduk Rawagede, yang seharusnya diproses dalam bingkai kasus pidana internasional.
Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional kita perlu prihatin atas ketidak-berdayaan dan ketidak-pedulian penegak hukum atau institusi yudikatif Indonesia menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara serius, terutama kasus-kasus masa lalu, dengan jujur dan adil. Kalau benar-benar institusi yudikatif/penegak hukum Indonesia mau menegakkan kebenaran dan keadilan seharusnya belajar dari kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Argentina, Peru dan negara-negara Amerika Latin lainnya.  Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne (yang terpilih dalam pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html). Beranikah para penegak hukum di Indonesia mengambil pelajaran dari pengalaman penegakan kebenaran dan keadilan di Argentina? Belajarlah, meski ke Argentina!!!
Nederland, 10 Desember 2011
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.