Wednesday 30 November 2011


KEBENARAN DAN KEADILAN DI GELAPKAN, SEDANG IMPUNITAS DILANGGENGKAN

Timbulnya “ Gerakan Tigapuluh September” (G30S) pada pagi hari 01 Oktober 1965 dan peristiwa-peristiwa  politik pasca dihancurkannya gerakan tersebut, mengakibatkan perubahan drastis  tata kehidupan negara dan bangsa Indonesia – Indonesia praktis di bawah kekuasaan militer jenderal Suharto.  Dengan tujuan memuluskan jalan kudeta terhadap pemerintah Soekarno, rejim militer melakukan pembantaian dan penahanan massal tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dianggap lawan politiknya .  Inilah kejahatan kemanusian yang maha dahsyat  yang  hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler dalam Perang Dunia II. Meski sudah 46 tahun berlalu kasus kurang lebih 3 juta orang korban kejahatan kemanusiaan  tersebut  sampai detik ini tidak mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Padahal Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).

Penguasa Negara dengan segala cara memutar-balikkan fakta sejarah seakan-akan pada tahun 1965-66 tidak pernah terjadi kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat. Demikianlah  kebenaran dan keadilan digelapkan, sedang  impunitas dilanggengkan.  Percuma dicantumkan norma-norma hukum HAM dalam perundang-undangan Negara Indonesia kalau hanya untuk pajangan saja. Percuma dibentuk UU Peradilan HAM, Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM kalau sampai sekarang  tidak bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (terutama yang berkaitan  peristiwa 1965-66). Dan sangat disesalkan justru institusi-institusi  penegak hukum  malah menjadi sarang mafia-hukum?

Juga sangat memalukan bahwa Penyelenggara Negara Indonesia sedikitpun tidak mempunyai kepedulian terhadap para korban kejahatan kemanusiaan (pembantaian massal) yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 atas 431 orang penduduk  di Rawagede. Tetapi pada tanggal  14 September 2011 Pengadilan Den Haag (Belanda) yang mengadili Kasus Rawagede atas gugatan para janda korban telah menjatuhkan putusan yang memenangkan para janda korban. Putusan Pengadilan di Den Haag tersebut  membuktikan bahwa institusi yudikatif  Negeri Belanda telah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak respek kepada Republik Indonesia dan tidak rela dirinya dinamakan aggressor berhubung  keterlibatannya dalam  agresi terhadap negara  muda Indonesia  pada tahun 1945-1949  yang mengorbankan  ribuan rakyat.  Putusan Pengadilan Den Haag tersebut merupakan suatu tamparan muka bagi penegak hukum Indonesia yang sampai sekarang tidak juga mau menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap warganegara Indonesia sendiri, bangsanya sendiri.

Semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (kasus 1965-66) dan  juga Kasus Rawagede ternyata  bukan masalah gede bagi penyelenggara Negara Indonesia. Dari penyelenggra Negara belum ada yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mata hatinya masih tertutup dengan kenikmatan hasil penghambaan pada neoliberalisme-neokolonialisme, meskipun mengorbankan rakyat banyak. Mereka masih asyik menginjak-injak Pasal 33 UUD 1945, sebab jiwa Orde Baru pada hakekatnya masih erat melekat sampai dewasa ini.

Pembunuhan,  penyiksaan, penahanan puluhan tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan penjara-penjara lainnya  yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap 3 juta rakyat Indonesia tanpa proses hukum  tidak boleh tidak adalah Kejahatan Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat -  tidak pandang apapun agama, ideologi, pandangan politik, suku, etnis  para korban.  Kejahatan Kemanusiaan tersebut, seperti halnya kejahatan rejim NAZI Hitler, adalah kejahatan yang  tidak berampun,  harus dituntaskan demi penegakan kebenaran dan keadilan. Para penjahat NAZI Hitler di mana pun bersembunyi dikejar terus, ditangkap kemudian dihadapkan di depan pengadilan.  Di Argentina  para jenderal yang tersangkut dalam tindak kejahatan kemanusiaan  30 tahun yang lalu telah dan sedang antri  untuk diadili. Tidak seperti halnya di Indonesia, penjahatnya sudah jelas, bukti kejahatannya di depan mata, tapi mereka dibiarkan saja leha-leha menikmatkan surga kehidupan dunia di atas kesengsaraan jutaan rakyat tak berdosa. Jadi, hukum  tidak berjalan secara semestinya di Indonesia, sebagai Negara Hukum.

Kapan pun para korban berhak menuntut penuntasan kasus tersebut kepada institusi penegak hukum, sebaliknya penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan penuntasan kasus tersebut di atas. Kalau kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, berarti mereka melalaikan tugasnya. Kalau pelalaian tugas terjadi secara umum  maka dapat dikatakan  penyelenggara Negara telah gagal melakukan tugasnya seperti yang tertera dalam UUD 1945. Inilah yang terjadi selama 46 tahun, sampai detik ini di Indonesia.

Menuntut keadilan adalah hak para korban pelanggaran HAM, maka demi menegakkan keadilan  perlu hak tersebut dilaksanakan dalam segala bentuknya. Jangan kita takut pada “hantu” yang diciptakan oleh berbagai pihak tertentu agar para korban tidak melakukan tuntutan, membiarkan penjahat selamat dari tanggung jawab hukum.

Masyarakat Indonesia korban pelanggaran HAM berat 1965-66 baik di tanah air maupun di luar negeri (a.l. yang tergabung dalam Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia, Lembaga Pembela Korban 1965, dan lain-lainnya) tetap menjunjung tinggi prinsip pemisahan 3 kekuasaan – legislative, eksekutif dan yudikatif . Tetapi dengan tidak tuntasnya (tidak dituntaskannya) kasus pelanggaran HAM berat 1965-66, yang merupakan juga Kejahatan Kemanusiaan, meski sudah berlangsung  46 tahun, membuktikan bahwa di Indonesia prinsip tersebut  tidak berjalan. Maka rakyat Indonesia harus sadar dan bangkit untuk menyetop berlangsungnya terus rejim Neo-ORBA demi tegaknya kebenaran , keadilan,  demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia.

MD Kartaprawira

Nederland,  01 Oktober 2011
Sumber: Bullertin INFORMASI, Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Nederland

RAWAGEDE, PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB

Pendahuluan -------- Pada 14 September 2011, banyak kalangan di Indonesia dan di Belanda yang terkejut membaca atau mendengar berita mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Semuanya laki-laki di atas usia 15 tahun. Oleh karena itu pengadilan memutuskan, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang masih hidup dan kepada Sa’ih bin Sarkam, seorang korban yang selamat terakhir dari pembantaian tersebut. Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan terhadap warga Indonesia, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, oleh karena itu, sampai tahun 1949 bagi pemerintah Belanda, Indonesia tetap merupakan bagian dari Belanda. Dalam pertimbangan putusannya pengadilan sipil di Belanda menyebut sebagai “fakta”: 2. De feiten 2.1. IndonesiĆ« maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-IndiĆ« deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.) Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945. Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima (Aanvarding) proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, alias hanya de facto. Pernyataan ini seharusnya mengejutkan pemerintah dan rakyat Indonesia, karena pernyataan ini mengungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak eksis sama sekali, dan baru mulai tangal 16 agustus 2005, pemerintah Belanda “menerima eksistensi” Republik Indonesia. Dengan hanya diterima eksistensinya namun tidak diakui legalitasnya, maka pemerintah Belanda menganggap NKRI adalah “ANAK HARAM.”Berdirinya dan kegiatan-kegiatan KNPMBI dan KUKB.--------Bagi mereka yang mengikuti kegiatan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak 8 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak 5 Mei 2005, berita mengenai putusan pengadilan sipil di Belanda ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena ini adalah sebagian dari yang dituntut oleh KNPMBI dan kemudian oleh KUKB. Berbagai media di Belanda dan di Indonesia –terutama media cetak- telah sering memberitakan mengenai kegiatan KNPMBI dan KUKB, namun mungkin kurang mendapat perhatian, dan banyak yang tidak percaya, bahwa semua tuntutan tersebut akan direspons oleh pihak Belanda, apalagi pengadilan di Den Haag, Ibukota Belanda, akan memenangkan gugatan terhadap pemerintah Belanda. Seluruh kegiatan ini dirintis oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 8 Maret 2002 oleh 10 organisasi. Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), KNPMBI melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jl. Rasuna Said dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Hasilnya adalah, Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra mengusulkan untuk diselenggarakannya suatu seminar internasional, di mana akan dibahas dua sisi dari VOC. KNPMBI menyetujuinya.


Delegasi KNPMBI dipimpin oleh Batara R. Hutagalung, diterima oleh Wakil Dubes Belanda, Alfons Stoelinga.-------- Pada 3 dan 4 September 2002, bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, dilaksanakan penyelenggaraan seminar tersebut. Pembicara adalah 4 sejarawan dari Belanda, dan 6 sejarawan Indonesia.


Pada 3 April 2002 pengurus KNPMBI diterima oleh Dubes Baron Schelto van Heemstra.-------- Pada 8 Maret 2005, KNPMBI memperbarui tuntutan kepada pemerintah Belanda. Tuntutan tersebut dideklarasikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, pada 8 Maret 2005.


Deklarasi tuntutan KNPMBI. Ir. Agam Saifudin, Batara R. Hutagalung, Ketua Umum KNPMBI, dan Ir. Raswari, pendukung KNPMBI.-------- Tuntutan yang kemudian dimajukan oleh KNPMBI kepada pemerintah Belanda adalah agar pemerintah Belanda: 1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. --------Pada 9 Maret 2005, bekerjasama dengan Yayasan 19 September 1945, KNPMBI menyelenggarakan peringatan menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati. Karena lingkup kegiatan dari KNPMBI sangat luas, dan tidak terbatas pada Belanda saja, maka diputuskan untuk membentuk suatu komite, yang fokus kegiatannya adalah meninjau semua permasalahan yang ada antara Republik Indonesia dan Belanda, baik masalah pengakuan de jure kemerdekaan Republik Indonesia, maupun masalah kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM.


Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung memberikan kata sambutan di Kalijati, 9 Maret 2005.-----


Peserta peringatan di Kalijati. -------- Menurut para aktifis KNPMBI, masalah pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, adalah masalah harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Dengan tidak diakuinya proklamasi 17.8.1945 oleh Pemerintah Belanda, berarti Pemerintah Belanda sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Apabila membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka ini merupakan pengkhianatan terhadap PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945, yang merupakan PILAR UTAMA bangsa Indonesia, dan menyia-nyiakan pengorbanan ratusan ribu rakyat Indonesia yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Alasan pemerintah Belanda ketika melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang, guna memulihkan kembali “law and order.” Dengan membiarkan sikap pemerintah Belanda, maka berarti tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang dan pahlawan Indonesia adalah para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang. Maka pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung Joang ’45, para aktifis KNPMBI meresmikan wadah baru, yaitu KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA. Pengurusnya indentik dengan pengurus KNPMBI. Sebagian terbesar kegiatan KNPMBI dan KUKB diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang sejak akhir Agustus 1945 merupakan salahsatu pusat pergerakan pemuda. Pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan KNPMBI, KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk: 1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, 2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.-----Sementara itu, dilakukan penelitian mengenai berbagai kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada bulan Agustus 2005, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung ke Makassar dan bertemu dengan Hj. Oemi Hani, 83 tahun, seorang saksi mata pembantaian yang dilakukan oleh Westerling (Lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/pembantaian-westerling-i.html).----- KUKB juga melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947 tentara Belanda yang membantai 431 penduduk desa (lihathttp://batarahutagalung.blogspot.com/2006/08/pembantaian-di-rawagede-9-desember.html)----- Dari berbagai penelitian tersebut, ternyata masih banyak janda korban pembantaian yang masih hidup, juga beberapa orang korban yang selamat. Setelah melakukan berbagai penelitian mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, maka butir tuntutan kepada Pemerintah Belanda ditambah dengan: 3. Memberi kompensasi kepada keluarga korban agresi militer Belanda yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.-------- Tuntutan ini tidak hanya terbatas pada peristiwa pembantaian di Rawagede, melainkan untuk seluruh korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Pada 16 Agustus 2005, dalam sambutannya di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 secara politis dan moral. Artinya hanya de facto, namun tidak secara yuridis, de jure, karena menurut Menlu Ben Bot sebagaimana disampaikannya dalam wawancara di Metro TV pada 18.8.2005, pengakuan kemerdekaan telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan pengakuan hanya diberikan satu kali. Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, dalam sambutannya di Den Haag pada 15.8.2005, pada peringatan pembebasan para interniran orang Belanda yang diinternir oleh tentara Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945. Ben Bot dengan jelas menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda menerima de facto Proklamasi 17.8.1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pernyataan ini sebenarnya sangat mengejutkan, karena dengan demikian terungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi Pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, TIDAK EKSIS SAMASEKALI! Menjelang 17 Agustus 2005, pada 1 Agustus 2005, KUKB menyelenggarakan seminar dengan judul ’60 Tahun Kemerdekaan RI. Pemerintah Belanda Tidak Mengakui Kemerdekaan RI 17.8.1945.’ Pembicara adalah Drs. Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, pelaku sejarah dan moderator Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawati.


Dari kiri: Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Irna HN Hadi Soewito, Soekotjo Tjokroatmodjo.-------- Setelah data mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede lengkap, pada 15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc, menyampaikan masalah ini ke Tweedekamer (Parlemen Belanda), dan diterima oleh dua anggota Parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders (waktu itu sebagai juru bicara PvdA- Partai Buruh. Sejak November 2006 menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan), dan Angelien Eijsink, juga dari PvdA. (lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html). KUKB menyampaikan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab oleh Menlu Belanda, dan juga menyampaikan mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede, yang merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Di International Criminal Court (ICC) di Den Haag, ada empat jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu genocide (pembantaian etnis), war crimes (kejahatan perang), crimes against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan) dan crime of aggression (Kejahatan agresi). Bert Koenders berjanji akan membawa masalah ini ke Parlemen Belanda.


Batara R. Hutagalung bersama Bert Koenders dan Angelien Eijsink di Parlemen Belanda di Den Haag.-------- Pada bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa tuntutan KUKB ke Parlemen Belanda dan meminta Menlu Ben Bot memberikan jawaban. Jawaban tertulis Menlu Ben Bot diberikan pada 28 Juni 2006. Di Hilversum Batara R. Hutagalung dan Mulyo Wibisono bertemu dengan Ad van Liempt, Journalis senior dari media Andere Tijden. Ad van Liempt melakukan penelitian dan menerbitkan buku mengenai ‘Kereta Mayat Bondowoso’ (Lijken Trein van Bondowoso).


Dari Kiri: Sie Hok Tjwan, Batara R. Hutagalung, Ad van Liempt, Mulyo Wibisono, Charles Suryandi. -------- Ad van Liempt mengatakan, bahwa bagi pemerintah Belanda sangat dilematis, apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Apabila hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda, maka dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah, pemerintah Republik Indonesia dapat menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda, dan “ekses-ekses” yang dilakukan oleh tentara Belanda, sebagaimana disebut oleh pemerintah Belanda dalam laporannya tahun 1969 kepada parlemen Belanda dengan judul ‘De Excessennota’, adalah kejahatan perang. Juga dalam kunjungan ke Belanda pada bulan Desember 2005, pimpinan KUKB bertemu dengan Jan Maassen, seorang ‘indonesiĆ« weigeraar’, yaitu wajib militer yang menolak untuk dikirim sebagai tentara ke Indonesia antara tahun 1946 – 1949. Pada waktu itu sekitar 6000 pemuda Belanda yang menolak untuk ikut dalam –menurut mereka- perang kolonial.


Batara R. Hutagalung bersama Jan Maassen. ----- Dalam kunjungan ke Belanda ini, pada 18 Desember 2005 Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung meresmikan berdirinya KUKB Cabang Belanda, dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua dan Charles Suryandi sebagai sekretaris. Seluruh kegiatan KUKB selama di Belanda dapat dilihat di Weblog, dengan judul: KUKB di Kandang Macan:--- http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html ----- Mulai tahun 2006, setiap awal bulan Agustus KUKB menyelenggarakan seminar dengan tema yang sehubungan dengan tuntutan terhadap pemerintah Belanda, dan setiap tanggal 15 Agustus, KUKB mengadakan unjuk rasa di kedutaan Belanda di Jakarta. Tanggal 15 Agustus dipilih, karena di Belanda, setiap tanggal 15 Agustus dirayakan hari pembebasan para interniran dari kamp-kamp interniran Jepang dai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, orang-orang Belanda dan Eropa lain di internir oleh Jepang di berbagai kamp interniran.


Demo 15.8.2007. Diterima oleh Paul Ymkers, Sekretaris Bidang Politik. -----


Batara R. Hutagalung membuka seminar 11.8.2008. -----


Dari kiri, Dr. Saafroedin Bahar, alm. Ir. Nuli D. Siregar (moderator), Martin basiang, SH., Dr. Anhar Gonggong. ----- Pada bulan Oktober 2007, Ketua KUKB Batara Hutagalung dan Ketua Dewan Penasihat KUKB, Mulyo Wibisono berkunjung lagi ke Belanda dan bertemu dengan beberapa tokoh Belanda, dalam rangka pendekatan kepada mereka untuk mendukung tuntutan KUKB.


Bersama Prof. Henk Schulte-Nordholt.-----


Bersama Dr. Harry Poeze. ----- Di Belanda sendiri sudah banyak generasi muda Belanda, termasuk beberapa anggota parlemen Belanda, seperti Krista van velzen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/open-brief-aan-minister-bot-erken-datum.html) dan Harry van Bommel dari Partai Sosialis, yang tidak keberatan untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945 (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/oppositie-wil-erkenning-17-augustus.html). Demikian juga Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders, sebagaimana disampaikannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Den Haag pada 15 Desember 2005, ketika dia menjabat sebagai jurubicara Fraksi PvdA (Partai Buruh). Pada 22 April 2008, Ketua KUKB Batara Hutagalung berkunjung lagi ke Tweedekamer di Den Haag, dan bertemu dengan Krista van Velzen guna menggaris bawahi tuntutan KUKB). (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/05/kukb-gencar-lobi-parlemen-negeri-tulip.html) Korespondesi Batara R. Hutagalung dengan Krista van Velzen pada bulan Februari 2006 lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2007/02/letter-to-mrs-krista-van-velzen.html.


Batara R. Hutagalung bersama Krista van Velzen di Parlemen Belanda di Den Haag.----- Sejak bulan Juni 2006, peristiwa pembantaian di Rawagede telah lima kali dibahas di Parlemen Belanda. Pada 4 Januari 2008 Krista van Velzen mengajukan pertanyaan kepada Menlu Maxime Verhagen (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/kamervragen-krista-van-velzen-drs-mjm.htm, terjemahan dalam bahasa Indonesia lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/tanya-jawab-parlemen-kamervragen.html). Pada pertengahan tahun 2006, KUKB telah menugaskan kantor pengacara di Belanda untuk mewakili kepentingan 9 orang janda korban dan satu korban selamat yang terakhir dari pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, untuk secara resmi mengajukan tuntutan kompensasi kepada Pemerintah Belanda. Tuntutan resmi dimajukan kepada Pemerintah Belanda pada bulan September 2008. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/survivors-of-massacre-demand.html). -----


Demo, 15.8.2008, diterima oleh Paul Peters, Direktur Erasmus Huis.-------- Sebelum keberangkatan Harry van Bommel ke Jakarta, Harry van Bommel dan Krista van Velzen pada 10 Oktober 2008, menulis surat terbuka yang isinya mendesak Pemerintah Belanda memberikan kompensasi kepada para keluarga korban pembantaian di Rawagede. (lihathttp://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/harry-van-bommel-and-krista-van-velzen.html) Namun pada 24 November 2008, Pemerintah Belanda secara resmi menolak tuntutan tersebut dengan alasan, bahwa peristiwa tersebut telah lama berlalu (too old). Hal ini diberitakan oleh berbagai media internasional, yang mengutip berita dari Associated Press (AP) (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/11/associated-press-dutch-govt-lawyer-says.html). Dalam kunjungannya ke Indonesia pada bulan Oktober 2008, delegasi parlemen Belanda masih mengkritisi masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sebagaimana disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama ini, delegasi Belanda selalu mengunjungi Aceh, Maluku dan Papua barat, daerah-daerah yang letaknya ribuan kilometer dari Jakarta, yaitu daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian Belanda, sehungan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Ketua KUKB mendesak delegasi Belanda untuk juga berkunjung ke desa Rawagede, yang jaraknya tidak sampai 100 kilometer dari Jakarta, di mana telah terjadi pelanggaran HAM berat, bahkan kejahatan perang, yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945. Namun, sebagai hasil voting di antara delegasi Belanda, secara resmi mereka menolak untuk berkunjung ke Rawagede, dan bahkan juga menolak untuk bertemu dengan para janda korban pembantaian, yang akan berkunjung ke Hotel mereka di Jakarta. Dari 7 orang anggota Delegasi, semula hanya dua orang yang setuju untuk bertemu dengan 2 orang janda korban dan satu orang korban selamat dari pembantaian, yaitu Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Christen Unie. Namun kemudian Harm Evert Waalkens anggota parlemen Belanda dari PvdA (Partai Buruh) juga menghadiri pertemuan tersebut, yang diselenggarakan di Hotel JW Merriott Jakarta pada 19 Oktober 2008. Pertemuan ini juga diberitakan oleh hampir seluruh media di Belanda.


Batara R. Hutagalung dan dua janda serta Sa'ih, korban selamat terakhir, bertemu dengan tiga orang anggota Parlemen Belanda di Lounge Hotel JW Mariott. -------- Seluruh media di Belanda memberitakan mengenai hal ini, baik penolakan secara resmi dari delegasi parlemen, maupun kemudian pertemuan tiga orang anggota parlemen Belanda dengan para janda dan seorang korban selamat. Sepulangnya di Belanda, ketiga anggota parlemen Belanda tersebut segera menyampaikan masalah ini kepada Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen. Pada 18 November 2008, Harry van Bommel menyampaikan MOSI di parlemen Belanda, yang isinya mendesak Pemerintah Belanda untuk menugaskan Duta Besar Belanda hadir pada peringatan peristiwa pembantaian yang akan diadakan di Rawagede pada 9 Desmber 2008. Mayoritas anggota parlemen Belanda mendukung Mosi tersebut, dan Menteri LN Belanda menugaskan Dubes Belanda Nikolaos van Dam untuk menghadiri acara peringatan tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html). -----


Duta Besar Belanda bersama Batara R. Hutagalung di Monumen Rawagede, 9 Desember 2008. -------- Hadirnya Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam pada acara peringatan pada 9 Desember 2008 merupakan suatu peristiwa yang sangat bersejarah, karena ini untuk pertamakalinya pejabat tertinggi Belanda di Indonesia hadir dalam suatu acara peringatan kekejaman tentara Belanda di Indonesia. Pada 30 Desember 2008, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung mengirim surat terbuka kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/open-letter-to-minister-of-foreign.html). Pada 14 Januari 2009, Batara R. Hutagalung mengadakan pertemuan sekitar 1 jam dengan Dirjen Kementerian LN Belanda, Pieter de Gooijer, di mana Pieter de Gooijer menyampaikan tanggapan atas surat terbuka dari Ketua KUKB. Batara Hutagalung menyampaikan a.l., bahwa pada peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk laki-laki 15 tahun keatas dibunuh, maka tentara Belanda bukan hanya membuat desa Rawagede menjadi desa yang penuh janda dan anak yatim piatu, melainkan juga bagi suatu desa dengan dibunuhnya sebagian besar penduduk laki-laki usia produktif, maka hal ini menghancurkan perekonomian desa tersebut untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, terutama di Rawagede, Pemerintah Belanda benar-benar harus bertanggungjawab dan membantu pembangunan di Rawagede. Melalui Pieter de Gooijer, Batara Hutagalung menyampaikan pesan kepada Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders untuk mengingatkan janjinya yang pernah diucapkannya dalam pertemuan pada 15 Desember 2005, di mana dia menyatakan akan membantu menyelesaikan masalah Rawagede. Setelah pertemuan dengan Dirjen Pieter de Gooijer, Batara R. Hutagalung diundang untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. Menlu Belanda mengatakan, bahwa Dirjennya telah menyampaikan kepadanya butir-butir pembicaraan dengan KUKB, dan menyatakan akan menanggapi hal-hal tersebut secara sungguh-sungguh.


Batara R. Hutagalung bersama Pieter de Gooijer. --------


Batara R. Hutagalung bersama Menlu Drs. Maxime Verhagen. -------- Pada bulan Februari 2009, Menteri Kerjasama Belanda Bert Koenders menyatakan akan membantu pembangunan di desa Rawagede, walaupun alasan yang dikemukannya adalah, bahwa desa Rawagede adalah suatu desa yang miskin. Alasan ini nampaknya untuk menghindari kesan, bahwa pemberian bantuan ini merupakan pemenuhan tuntutan KUKB, dan juga agar tidak memberikan kesan bahwa langkah ini bertentangan dengan pernyataan Menlu Maxime Verhagen pada bulan November 2008, yang telah menolak tuntutan pengacara para janda dari Rawagede. Pemerintah Belanda telah mengucurkan dana sebesar 1,16 juta US $ untuk bantuan pembangunan di Rawagede. Yang kini perlu diawasi adalah penyaluran dana tersebut, yang dilakukan melalui Kementerian Dalam Negeri RI, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penyaluran dana tersebut. Proses di pengadilan sipil di Belanda berlangsung sejak tahun 2009, dan baru diputuskan pada 14 September 2011. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mendengar mengenai desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949. KUKB akan melanjutkan tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk memberi kompensasi kepada seluruh korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sedangkan ocus tuntutan dari KNPMBI sekarang adalah tuntutan kepada pemerintah Belanda, untuk mengakui de jure kemerdekaan RepubliK Indonesia adalah 17 Agustus 1945.-----*****Catatan: ----- Pada bulan Juni 2008, pengacara yang mewakili para korban Rawagede menemukan dokumen yang menyebutkan, bahwa komandan tentara belanda yang memimpin penyerangan tehadap desa Rawagede pada 9 Desember 1947, Mayor Alfons Wijnen, ternyata mendapat pengampunan (impunity) dari Pemerintah Belanda pada tahun 1948. Hal ini kembali menggemparkan masyarakat Belanda, karena mereka selama ini mengkritisi sikap Pemerintah Indonesia, yang dianggap memberikan pengampunan (impunity) kepada perwira-perwira TNI yang dianggap bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur. Pada 2 Juli 2009, Harry van Bommel dari Partai Sosialis, bersama Martijn van Dam dari Partai Buruh (PvdA) dan Marijko Peters dari Partai Hijau Kiri (Groenlinks) lagi mengajukan MOSI di Parlemen Belanda, yang isinya meminta Pemerintah belanda untuk meminta maaf atas pemberian pengampunan kepada Mayor Alfons Wijnen tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/motie-van-het-lid-van-bommel-cs.html) Namun Menlu Belanda Maxime Verhagen menolak Mosi ini dengan alasan, bahwa Pemerintah Belanda telah berulangkali menyatakan penyesalan atas terjadinya tindak kekerasan selama masa pengerahan militer Belanda di Indonesia. Masyarakat Belanda baru sekarang mengetahui, bahwa semua hal yang mereka tuduhkan kepada Indonesia, ternyata telah dilakukan oleh tentara dan Pemerintah Belanda di masa lalu, dan selama ini semua hal tersebut selalu ditutup-tutupi oleh Pemerintah Belanda. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mengenal desa Rawagede! Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949. Selain itu, peristiwa kudeta yang gagal yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elit Belanda KST (Korps Speciaale Troepen) pada 23 Januari 1950, setelah Pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” kepada Pemerintah RIS, di mana sekitar 90 orang TNI yang tidak bersesenjata tewas dibunuh di Bandung, adalah juga tanggungjawab Pemerintah Belanda, karena pimpinan tertinggi militer Belanda telah mengetahui rencana Westerling tersebut. Setelah kudetanya gagal, pimpinan tertinggi militer Belanda membantu Westerling meloloskan diri ke Singapura, dan di Belanda, dia tidak dihukum, bahkan sebaliknya, dia disambut oleh masyarakat Belanda sebagai pahlawan. Menurut informasi yang diperoleh KUKB baik dari Belanda maupun di Indonesia, Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan pengungkapan kejahatan perang yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elitnya, Depot Speciaale Troepen (DST) di Sulawesi Selatan antara tanggal 12 Desember 1946 – 7 Februari 1947, karena dampaknya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan pembantaian di Rawagede. Pengungkapan semua kejahatan perang dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara belanda di Indonesia, akan menjatuhkan pamor Belanda sebagai Negara tempat “pusat keadilan dunia”, dan akan memperkuat posisi tawar (Bargaining position) Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Pemerintah Belanda. Demikian juga di masa datang, apabila delegasi parlemen Belanda masih terus mempertanyakan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia serta tudingan pemberian pengampunan (impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, maka hal ini dapat dibalikkan kepada mereka, dengan mempertanyakan kasus-kasus kejahatan perang dan pemberian pengampunan kepada penjahat perang Belanda. Kegiatan KUKB juga mendapat dukungan dari banyak pihak di Belanda, terutama ketika mengumpulkan dana dari masyarakat Belanda yang telah mencapai lebih dari 100 juta rupiah untuk para janda korban pembantaian di Rawagede. Voting di parlemen Belanda pada 18 November 2008, di mana Mosi yang dimajukan oleh Harry van Bommel telah disetujui oleh mayoritas anggota parlemen Belanda menunjukkan, bahwa di parlemen Belanda telah berhasil dibentuk suatu pandangan baru sehubungan dengan Indonesia, di mana selama ini citra Indonesia di mata parlemen Belanda sangat negatif, dan selalu dikritik. Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh KUKB, dan sebelumnya oleh KNPMBI, terbukti sangat efektif. Menurut beberapa kalangan, baik di Belanda maupun di Indonesia, termasuk beberapa mantan diplomat Indonesia, KNPMBI dan KUKB telah menjalankan second track diplomacy, atau diplomasi jalur kedua, yaitu melakukan hal-hal yang secara resmi tidak dapat dilakukan oleh satu pemerintah guna menyelesaikan beberapa permasalahan internasional. Second track diplomacy -yang sebelumnya juga dilakukan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) terhadap Inggris- yang dijalankan oleh KNPMBI dan KUKB telah terbukti sangat effektf dan effisien, dan dapat merubah peta pro dan kontra di Belanda. Diakui atau tidak oleh Pemerintah Indonesia, kegiatan yang dilakukan oleh KNPMBI dan KUKB telah memperkuat posisi tawar Indonesia terhadap Belanda. Indonesia masih dapat memainkan “senjata pamungkas”, yaitu membuka semua lembaran hitam masa lalu Belanda di Indonesia antara tahun 1945 - 1950. *****
Posted bybatarahutagalungat9:30 AM

ORDE BARU TUTUPI SKANDAL PURWODADI


Sisi Kelam Sejarah II
Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi
Selasa, 22 November 2011 - 19:31:14 WIB
Dua bulan menjadi kontroversi di media massa, kasus pembunuhan massal di Purwodadi lenyap begitu saja.
SEJAK diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.

Sebagian aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda, mengutuk keras aksi kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara, kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di kediamannya di Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam gerakan menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat Indonesia yang ditindas oleh Suharto. “Saya mendengar berita tentang pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak kemanusiaan,” kata dia.

Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan sikap mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang redaktur majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk. Dalam kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus Purwodadi.

Dunia Barat, pascapergolakan politik 1965 dan transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, semakin gencar mendekati Indonesia. Ekonomi yang porak-poranda akibat situasi politik dalam negeri yang tidak stabil selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno menjadi alasan utama bagi pemerintah Soeharto untuk mengundang investasi luar negeri ke Indonesia. Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 diberlakukan untuk melempangkan jalan masuk modal asing. Tim ekonomi yang dipimpin oleh Menko Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono IX gencar melakukan lobi ke luar negeri.

Sebuah iklan di koran The New York Times edisi 17 Januari 1969, sebulan sebelum terungkapnya peristiwa Purwodadi, berbunyi: “5 Years From Now You Could Be Sorry You Didn’t Read This Ad”. Iklan yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mempromosikan Indonesia sebagai negeri yang terbuka terhadap investasi sekaligus menjamin investor Amerika Serikat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Untuk membuat investasi di negeri kami semakin bergairah, kami telah meloloskan sebuah undang-undang penanaman modal asing yang menawarkan beberapa insentif seperti pembebasan pajak perusahaan dan pajak atas deviden selama lima tahun,” demikian kata iklan itu. Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memanfaatkan Undang-Undang tersebut adalah Freeport yang beroperasi sejak 1967 di Papua.

Peristiwa Purwodadi menjadi batu sandungan pertama di kala pemerintah Soeharto berbenah, merias wajah Indonesia yang baru dan bebas dari komunisme. Berbagai cara dilakukan untuk meredam eskalasi berita pembantaian massal di Purwodadi. Tak lama setelah terungkapnya pembunuhan massal di Purwodadi, penguasa militer di Jawa Tengah bersikap reaktif dengan mengawasi setiap pendatang ke ibukota Kabupaten Grobogan itu. Setiap orang luar yang hendak memasuki kota harus mendapat izin dari tentara. Mengenai hal ini, Harian Sinar Harapan, edisi 9 Maret 1969 melaporkan: Ketika memasuki daerah itu para wartawan diwajibkan terlebih dahulu melapor ke Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Sesudah itu harus pula minta ijin pada Asisten I dan diberikan surat. Kemudian baru melaporkan diri pada Komandan Kodim setempat. Ketika para wartawan tersebut memasuki kota Purwodadi, kelihatannya masyarakat Purwodadi nampak suasana ketakutan.

Meningkatnya pengawasan membuat situasi kota Purwodadi makin mencekam. Masyarakat tak leluasa menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih pada malam hari. Mereka khawatir dituduh tentara sebagai anggota Gerilya Politik (Gerpol) PKI atau “PKI Malam”.

Panglima Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah terjadinya pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan berita tersebut tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian perang urat syaraf yang dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik menuding bahwa semua tuduhan itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu stabilitas keamanan yang sedang dibangun oleh pemerintah Orde Baru.

Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh wartawan baik luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers yang digelar pada 4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada pertemuan itu, dia membantah temuan Princen, bahkan menuduh Princen sebagai komunis (Kompas, 5 Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969). Dalam keterangan persnya Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang adalah tahun 1968. karena tahun 1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau orang itu ditembak berjejer itu tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi ada orang yang ditangkap, tapi kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan tapi tidak mengindahkan, mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret 1969).

Bantahan Munadi didukung oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy Williams dari New York Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya tanda-tanda telah terjadi pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan daerah sekitarnya. Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi, membuat Princen kian tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia seorang komunis.

Merasa dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan Poncke mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu orang-orang tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh Kopkamtib dengan tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum komunis, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan wartawan seusai interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya suatu penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang patriot. Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya justru dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi telah lebih menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)

Poncke juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada orang-orang yang menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman Nasakom” mereka itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis. Tidak jelas siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang menuduhnya sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut dirinya sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi.

Sementara itu beberapa tokoh yang memiliki kedekatan secara pribadi dengan Poncke berusaha membelanya dengan menjelaskan siapa Poncke sebenarnya. Wartawan Belanda Henk Kolb meyakini bahwa pembunuhan massal di Purwodadi itu memang benar, dan dia yakin keterangan Poncke tidak memuat kepentingan apa pun selain demi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan bahwa berita yang dimuat di korannya di Belanda bukanlah rekayasa. Selain Henk Kolb, Mayor Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur yang juga bekas atasan Princen, juga memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa Princen bukan komunis seperti yang dituduhkan Munadi (Indonesia Raya, 8 Maret 1969).

Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal M. Panggabean, seusai Rapat Komando Angkatan Darat pada 7 Maret 1969 mengatakan persoalan Purwodadi bisa diselesaikan “tanpa perlu rame-rame.” Dia juga menolak dengan tegas jika ada yang mengatakan kalau Angkatan Darat tukang bunuh orang. Jika memang ada jatuh korban, itu konsekuensi dari operasi militer yang sedang dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro (Sinar Harapan, 9 Maret 1969). Selanjutnya Panggabean menyatakan bahwa Kopkamtib sedang menyusun sebuah tim untuk menyelidiki kasus Purwodadi.
Sehubungan dengan rencana kunjungan Soeharto ke luar negeri pada medio 1969 dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan selama kunjungannya maka dia meminta Menteri Penerangan Budiardjo meninjau langsung ke Purwodadi. Soeharto mulai terusik dengan adanya berita-berita pembunuhan massal itu. Seperti laporan sebelumnya, Budiardjo pun melaporkan tidak ada bukti pembunuhan massal di Purwodadi.

Di tengah kesimpang-siuran berita yang tak menentu, para wartawan mendesak agar diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi. Desakan itu ditanggapi Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang beberapa wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, beberapa wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat melakukan liputan.

Tidak seperti yang sering tersiar bahwa operasi pembasmian komunis dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi beberapa guru Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang dipimpin oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh guru agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi, mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A, Harnold, B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno, Rusdiono, Bambang Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo mengirim sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan melalui wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui apa isi dokumen itu.

Pemerintah tak bertikad menuntaskan kasus pembunuhan Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke. Yang terjadi sejak akhir Februari sampai dengan akhir Maret 1969 hanya berhenti sebagai kontroversi tanpa pernah diketahui mana yang benar. Terhitung sejak tanggal 1 April 1969 atau bertepatan dengan dimulainya Repelita I, koran-koran tak lagi menurunkan berita tentang pembunuhan massal PKI di Purwodadi, menandai ditutupnya kasus tersebut. “Seperti biasa, kasusnya hilang begitu saja,” kata Goenawan Mohamad, yang pernah menulis kasus Purwodadi ketika bekerja di harian KAMI. [BONNIE TRIYANA]